Ketika berbicara tentang bencana, tentu tak luput dari pengalaman khas yang dialami perempuan dalam menghadapi bencana hingga bangkit dari keterpurukan pasca bencana. Karena posisi Indonesia di Cincin Api Pasifik (ring of fire), Indonesia akrab dengan bencana alam yang seringkali terjadi dengan berbagai macam bentuk. Belum lagi man made disaster.
Kemudian saya mengenang kembali tentang topik penelitian saya tentang resiliensi penyintas tanah longsor di Desa Banaran. Ponorogo. Saya ingin berbagi tentang ketangguhan tiga perempuan dewasa (IA, MN dan MU) dalam penelitian saya.
Resiliensi secara etimologis dalam bahasa Inggris (resilience) yaitu kemampuan untuk secara cepat dapat kembali pada kondisi semula. Sederhananya resiliensi adalah kemampuan untuk bangkit dari keterpurukan. Penyintas adalah korban selamat dalam bencana.
Bencana tanah longsor ini pertama kali terjadi di Desa Banaran sehingga membuat semua pihak menjadi sangat terkejut. Dengan 28 korban meninggal dan hilang, puluhan rumah hancur dan hilang, juga ladang dan kebun yang menyatu dengan longsor.
Hasil penelitian saya menunjukkan bahwa resiliensi pasca bencana tanah longsor pada subjek penelitian dipengaruhi oleh emotion regulation, impulse control, optimism, causal analysis, empathy, self-efficacy, dan reaching out. Ketujuh faktor ini adalah faktor-faktor resiliensi oleh Reivich dan Shatte (2002) dari buku The Resilience Factor: 7 Keys to Finding Your Inner Strength and Overcoming Life’s Hurdles.
Resiliensi pada penyintas bencana tanah longsor memiliki perbedaan dan kekhasan. Tidak semua faktor-faktor resiliensi memengaruhi proses resiliensi mereka. Para penyintas ini resilien namun memiliki waktu dan proses yang berbeda dalam resiliensi. Mereka harus menghadapi trauma pasca bencana atau PTSD (post-traumatic stress disorder).
Proses penerimaan dan resiliensi selama 2-8 bulan pasca bencana mengharuskan mereka kembali pada peran sebelumnya, kembali bekerja dan melakukan aktivitas lainnya seperti sebelum terjadinya bencana. Semua peran ini dilakukan sejak dalam posko pengungsian hingga ke rumah hunian tetap sebagai ganti rumah mereka yang hancur/hilang atau kembali ke rumah yang masih utuh.
Waktu bencana saya sempat menjadi relawan di posko Dapur Umum dan memberikan Dukungan Sosial pada keluarga korban. Saya melihat bagaimana tanah longsor meluluh lantahkan semuanya dan rata dengan tanah. Saya membayangkan bagaimana jika saya sendiri yang selamat sedangkan semua keluarga, rumah, harta benda dan kebun, rata dengan tanah, tak tersisa.
Sungguh mengerikan dan membuat patah hati. Ketika saya wawancara satu tahun pasca bencana pun, mereka masih mengingat jelas getir, sedih, dan trauma yang menyertai perjalanan mereka.
Perempuan-perempuan tangguh ini berkubang dalam kesedihan dan kehilangan yang intens pada bulan-bulan awal pasca bencana. Dan satu tahun setelah bencana, life event ini telah mengubah hidup mereka secara signifikan. Mereka cenderung tidak mampu menjaga kestabilan emosinya saat bersinggungan dengan pengalamannya seputar bencana atau isu bencana yang ada.
Mereka mudah ter-trigger atau menjadi sangat sensitif ketika mendengar kembali tentang kejadian traumatis saat bencana hingga hal-hal personal yang mengingatkan mereka pada anak, saudara, rumah, dan segala kenangannya. Juga suara hujan dan suara ledakan membuat mereka ketakutan.
IA bahkan sempat hamil dan keguguran saat berada di posko pengungsian. Satu anaknya tinggal bersama mantan suaminya, dan satu anaknya hilang saat longsor dan itu membuatnya semakin terpuruk.
Lalu bagaimana mereka bangkit dari masa-masa berat itu?
Mereka secara perlahan mampu mengubah sudut pandang, melihat masalah secara positif dan mampu mengambil hikmah dari kejadian negatif yang telah dan sedang dihadapinya. Mereka berusaha melihat bahwa masa depannya akan cerah dan memiliki harapan-harapan di masa depan yang membuatnya semangat untuk bekerja.
Hal ini juga diikuti oleh kecemasan akan masa depannya tentang hal-hal yang mampu dicapai dan tidak. Kadang mereka dapat positif memandang masa depan, kadang juga cemas membayangkan ketidakpastian yang dihadapi.
Saat menghadapi masalah, mereka berusaha mengidentifikasi masalah dan mengevaluasi dirinya sehingga mampu menghindarkan mereka dari masalah yang lebih besar. Dukungan dari keluarga dan lingkungan sekitar membuat mereka menjadi lebih kuat dan lebih mudah untuk bangkit dan kembali aktif menjalankan peran-peran mereka.
Mereka adalah perempuan-perempuan yang memiliki multiperan. Semangat hidup mereka kembali menguat karena melihat orangtua, suami, anak-anak, saudara, dan orang di sekitarnya membutuhkan mereka. Mereka juga terbiasa bekerja dan aktif, jadi mereka menyibukkan diri dengan bekerja agar tidak terus bersedih.
Semangat dan harapan akan masa depan membuat mereka menjadi lebih aktif dalam mengembangkan diri dengan mengikuti kegiatan-kegiatan positif seperti mengikuti pengajian rutin di Banaran setiap minggu. Selain itu juga mereka mengembangkan diri dengan belajar melakukan bisnis rumahan bersama kelompok dan menambah pendapatan mereka selain menjadi petani.
Orang yang resilien adalah mereka yang optimis. Optimisme adalah anugerah jika berhubungan langsung dengan self-efficacy sehingga optimisme memotivasi seseorang untuk mencari solusi-solusi dan mempertahankan kerja keras untuk memperbaiki kondisi (Reivich dan Shatte, 2002).
Para penyintas ini memiliki empati yang tinggi sehingga bisa peka terhadap emosi orang lain, memahami penyebab emosi dan permasalahan yang sedang dihadapi orang lain. Empati ini yang membuat mereka mampu menjadi support system bagi keluarga dan lingkungannya, sekalipun mereka juga memiliki masalah.
Dari ketiga penyitas ini saya belajar ketangguhan dalam menghadapi masalah, sekalipun merenggut banyak sekali hal yang berharga. Kata Najeela Shihab, “Kebingungan utama dalam hidup memang seringkali terjadi saat kita merasa kehilangan diri sendiri, tetapi tidak punya keberanian untuk menemukannya kembali.”
Sekalipun bencana alam tersebut sangat mengguncang psikis mereka dan memengaruhi kesehatan fisik mereka, mereka tetap berusaha perlahan bangkit dengan segala keterbatasan dan perbedaan. Berusaha optimis dan tetap aktif, 2-8 bulan bangkit kembali adalah suatu ketangguhan yang mengesankan.
Akhirnya, mereka dapat berbesar hati menerima masa lalu dan mengusahakan masa depan yang lebih baik. Sampai sekarang kami masih sempat ngobrol, mereka bercerita tentang keadaan desa dan hasil panennya. Saya ikut senang dan belajar banyak dari kehidupan mereka. []