• Login
  • Register
Minggu, 18 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Ketika Dokter Jadi Predator, Alarm Kekerasan Seksual di Layanan Kesehatan

Nama baik sejati justru lahir dari keberanian untuk mengakui kesalahan, mendengar suara korban, dan membenahi sistem dari akarnya.

Kamilia Hamidah Kamilia Hamidah
14/04/2025
in Publik, Rekomendasi
0
Kekerasan Seksual

Kekerasan Seksual

1.6k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Pada Agustus 2024, India terguncang oleh kasus tragis pemerkosaan dan pembunuhan Moumita Debnath, seorang dokter magang berusia 31 tahun di R.G. Kar Medical College and Hospital, Kolkata. Tersangka utama, Sanjoy Roy, seorang relawan sipil kepolisian, tertangkap berdasarkan rekaman CCTV yang menunjukkan aktivitas mencurigakan di sekitar waktu kejadian.

Insiden ini memicu kemarahan nasional, dengan lebih dari satu juta tenaga medis melakukan mogok kerja sebagai bentuk protes terhadap kurangnya keamanan di fasilitas kesehatan. (Kompas, 24/08/2024) Mahkamah Agung India merespons dengan membentuk Gugus Tugas Nasional untuk merumuskan protokol keselamatan bagi tenaga medis. Sementara masyarakat luas menuntut reformasi menyeluruh guna mencegah terulangnya tragedi serupa. (Tempo, 20/08/2024)

Sementara itu, pada minggu-minggu ini di negeri ini, kita menyaksikan kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh seorang dokter residen (PPDS) terhadap pasien di sebuah rumah sakit pendidikan di Bandung. Kasus ini bukan hanya mengusik rasa keadilan masyarakat, tetapi juga membuka borok dalam sistem pelayanan kesehatan kita. Di mana selama ini dianggap sebagai ruang aman dan profesional.

Peristiwa ini tidak semata-mata tentang seorang pelaku, tetapi mencerminkan kegagalan sistemik dalam memastikan keselamatan dan martabat pasien di ruang-ruang layanan medis. Ketika seorang dokter yang seharusnya menyembuhkan justru menjadi pelaku kekerasan seksual, maka yang terlukai bukan hanya tubuh korban, tetapi juga kepercayaan publik terhadap profesi medis.

Rapuhnya Perlindungan terhadap Pasien

Kedua peristiwa ini, meskipun terjadi di dua negara yang berbeda, menyuarakan kegentingan yang sama. Yakni tentang rapuhnya perlindungan terhadap pasien. Terutama perempuan, di lingkungan medis yang semestinya steril dari kekerasan dan pelecehan.

Baca Juga:

Tonic Immobility: Ketika Korban Kekerasan Seksual Dihakimi Karena Tidak Melawan

Budaya Seksisme: Akar Kekerasan Seksual yang Kerap Diabaikan

Penyalahgunaan Otoritas Agama dalam Film dan Drama

Guru Besar dan Penceramah Agama Ketika Relasi Kuasa Menjadi Alat Kekerasan Seksual

Baik di India maupun di Indonesia, kasus kekerasan seksual di rumah sakit bukan hanya persoalan individu pelaku, tetapi menjadi cermin dari lemahnya sistem pengawasan, absennya protokol perlindungan yang efektif, dan minimnya ruang aman bagi korban untuk bersuara.

Ketika tragedi serupa terulang lintas batas negara, kita dipaksa untuk melihat bahwa persoalan ini bukan insiden terpisah. Melainkan bagian dari pola yang lebih besar dan mendalam.

Beberapa waktu lalu, saya sempat menjalani tindakan operasi kecil yang memerlukan pembiusan lokal. Selama beberapa jam setelah prosedur itu, tubuh saya terasa mati rasa, tak berdaya. Bahkan untuk sekadar menggerakkan kaki pun tidak mampu.

Dalam kondisi itu, sempat terlintas di benak saya—pikiran buruk yang coba saya singkirkan—bagaimana kalau ada orang berniat jahat? Bukankah dalam keadaan seperti ini, saya tak mungkin melawan? Namun, saya buru-buru menenangkan diri. Toh, sepanjang proses transisi dari ruang operasi ke ruang perawatan, saya selalu didampingi perawat yang sigap dan profesional.

Tapi hari ini, pikiran buruk itu bukan lagi sekadar kekhawatiran liar. Ia menjelma jadi kenyataan pahit yang menimpa keluarga pasien perempuan di salah satu rumah sakit pendidikan di Bandung (berita terakhir korban bertambah dua orang).

Mencoreng Institusi Kesehatan

Seorang dokter residen menyalahgunakan kepercayaan dan wewenangnya, menggunakan obat bius untuk melumpuhkan korban, lalu melakukan kekerasan seksual. Emosi dan marah, itu yang saya rasakan. Sebab yang dulu saya bayangkan dengan cemas, kini benar-benar terjadi. Bukan pada saya, tapi pada seseorang yang mestinya justru terlindungi dalam sistem layanan kesehatan.

Pengalaman ini membuat saya merenung, bahwa rasa aman pasien bukan hanya soal hasil tindakan medis yang berhasil, tapi juga tentang memastikan mereka tidak menjadi sasaran empuk dari pelaku kejahatan yang bersembunyi di balik jas putih.

Kita semua mengetahui bahwa profesi tenaga kesehatan selama ini terbangun atas dasar kepercayaan, empati, dan dedikasi. Pasien datang dalam kondisi paling rentan baik secara fisik maupun psikologis dan menyerahkan tubuh serta rahasianya untuk tertangani.

Relasi ini seharusnya berlandaskan etika dan tanggung jawab tinggi. Tetapi pada kenyataannya kasus ini telah mencoreng institusi kesehatan, karena ketika jas putih dijadikan tameng untuk menyembunyikan kekerasan, maka rumah sakit kehilangan makna dasarnya sebagai tempat pemulihan. Yang lebih mengkhawatirkan, jangan-jangan kasus-kasus seperti ini bukan hanya terjadi sekali.

Bisa jadi kasus kekerasan seksual oleh tenaga kesehatan pernah muncul ke permukaan. Namun banyak pula yang terpendam dalam diam akibat minimnya sistem pelaporan, ketakutan korban, dan budaya institusional yang defensif.

Potensi Kekerasan Seksual di Rumah Sakit

Penting untuk kita catat bahwa potensi kekerasan seksual di rumah sakit tidak hanya datang dari tenaga medis terhadap pasien, tetapi juga bisa terjadi dari pasien kepada perawat atau dokter, maupun dari pengunjung terhadap staf rumah sakit.

Pelecehan ini dapat berbentuk verbal seperti komentar yang tidak pantas, fisik melalui sentuhan yang tidak diinginkan, hingga kekerasan seksual secara langsung. Namun, ketika pelakunya adalah tenaga medis, dimensi kekuasaannya menjadi sangat kompleks.

Bisa kita pastikan korban tidak berani bersuara karena takut tidak dipercaya, takut akan stigma, atau bahkan takut mengalami pembalasan dalam bentuk perawatan yang tidak optimal. Relasi kuasa yang timpang ini dapat menjadikan kasus pelecehan di lingkungan kesehatan tidak terdeteksi dan tidak tertangani secara adil.

Setidaknya ada sejumlah faktor risiko yang turut memperbesar kemungkinan terjadinya kekerasan seksual di layanan kesehatan. Pertama, kurangnya pengawasan dan sistem monitoring yang ketat, terutama di ruang-ruang tertutup seperti kamar rawat inap, ruang tindakan, atau ICU.

Kedua, rendahnya pemahaman tenaga kesehatan mengenai pelecehan seksual dan kurangnya pelatihan tentang kesadaran gender dan etika profesional. Ketiga, ketiadaan kebijakan internal yang tegas dan sistem pelaporan yang aman dan responsif.

Keempat, budaya hierarkis di institusi kesehatan yang membuat para junior merasa takut melaporkan kesalahan senior atau pengampu mereka. Dan kelima, normalisasi budaya patriarki dan candaan seksual yang sering dianggap wajar di lingkungan kerja, yang sejatinya adalah bentuk kekerasan yang dilegitimasi.

Momentum untuk Perubahan

Peristiwa pemerkosaan di RS Bandung harus menjadi momentum untuk perubahan. Dunia medis tidak bisa lagi berlindung di balik kalimat “hanya ulah oknum.” Ini saatnya untuk menghadirkan reformasi sistemik. Setiap fasilitas kesehatan, baik negeri maupun swasta, perlu memiliki kebijakan anti-pelecehan seksual yang jelas dan mengikat.

Pelatihan berkala tentang etika, komunikasi aman, dan kesadaran gender harus menjadi bagian wajib dari pelatihan tenaga medis, sejak masa pendidikan hingga praktik profesional. Selain itu, penting untuk menghadirkan sistem pelaporan yang efektif, aman, dan mendukung korban.

Rumah sakit juga perlu melakukan audit rutin untuk mengidentifikasi titik-titik rawan terjadinya kekerasan, serta membentuk unit independen yang mampu menangani laporan kekerasan seksual dengan profesional dan berpihak pada korban.

Kita harus memahami bahwa pemulihan korban tidak cukup hanya dengan menghukum pelaku. Institusi tempat kejadian juga harus bertanggung jawab secara moral dan struktural. Pembungkaman, penyangkalan, atau pembelaan terhadap pelaku dengan alasan menjaga nama baik institusi hanya akan melanggengkan budaya kekerasan.

Kejahatan Kemanusiaan

Nama baik sejati justru lahir dari keberanian untuk mengakui kesalahan, mendengar suara korban, dan membenahi sistem dari akarnya. Di sinilah organisasi profesi seperti IDI, PPNI, maupun AIPKI harus mengambil peran lebih aktif dalam pengawasan etik dan perlindungan terhadap pasien maupun tenaga kesehatan dari segala bentuk kekerasan seksual.

Kekerasan seksual di rumah sakit adalah bentuk kejahatan kemanusiaan yang tidak bisa kita toleransi. Ia bukan sekadar pelanggaran etika, melainkan pengkhianatan terhadap prinsip dasar pelayanan kesehatan: menyembuhkan, melindungi, dan memanusiakan. Saat seorang dokter menyentuh tubuh pasien, seharusnya ia menyentuh dengan kehormatan dan tanggung jawab, bukan dengan niat jahat.

Ketika prinsip ini terkhianati, maka yang rusak bukan hanya relasi antarindividu, tetapi juga pondasi moral seluruh sistem kesehatan. Kasus di RSHS Bandung adalah alarm yang harus membangunkan kita semua. Pertanyaannya: apakah kita akan kembali tertidur setelahnya, ataukah kita akan bergerak bersama menciptakan ruang pemulihan yang benar-benar aman dan manusiawi? []

 

Tags: Kekerasan seksualLayanan MedisPerlindungan KorbanPriguna Anugerah PratamaRumah Sakit Hasan SadikinTenaga Kesehatan
Kamilia Hamidah

Kamilia Hamidah

Bekerja di Ipmafa Pati - Institut Pesantren Mathali'ul Falah

Terkait Posts

Inses

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Inses

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

17 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Nakba Day

Nakba Day; Kiamat di Palestina

15 Mei 2025
Perempuan Fitnah

Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

15 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Nyai Ratu Junti

    Nyai Ratu Junti, Sufi Perempuan dari Indramayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Memperhatikan Gizi Ibu Hamil
  • Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua
  • Pola Relasi Suami-Istri Ideal Menurut Al-Qur’an
  • Nyai Ratu Junti, Sufi Perempuan dari Indramayu
  • Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version