• Login
  • Register
Selasa, 1 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Ketika Perempuan Menggugat Agraria Madura

Kesadaran kolektif kolegial sebagai perempuan Madura tentang pangan, sektor pertanian, serta kepemilikan lahan harus terus disemarakkan

Muallifah Muallifah
11/09/2021
in Publik
0
Perempuan

Perempuan

164
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Dulu waktu kecil, semasa di sekolah saya ingat betul salah satu materi yang masih terlintas sampai hari ini bahwa Indonesia adalah negara agraris. Artinya, sektor pertanian menjadi sektor yang cukup mayoritas dalam mata pencaharian masyarakat di Indonesia. ia menjadi lumbung pergerakan kehidupan masyarakat, sebab merupakan kebutuhan pokok. Beras sebagai makanan pokok masyarakat, menyebabkan sektor pertanian berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup manusia.

Kedudukan pertanian yang sangat penting ini telah lama disadari oleh tokoh pesantren Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari. Di dalam majalah Soeara Moeslimin Indonesia No. 2 Tahun ke-2, 19 Muharrom 1363 atau 14 Januari 1944, pendiri Nahdlatul Ulama ini menguraikan kepeduliannya terhadap dunia pertanian. Dalam tulisan berjudul Keoetamaan Bertjotjok Tanam dan Bertani, dengan mengutip tulisan Muntaha dari kitab Amalil Khutaba, kiai Hasyim menulis:

“Pendek kata, bapak tani adalah goedang kekajaan, dan dari padanja itoelah Negeri mengeloerkan belandja bagi sekalian keperloean. Pa’ Tani itoelah penolong Negeri apabila keperloean menghendakinja dan di waktoe orang pentjari-tjari pertolongan. Oentoek mengerdjakan sekalian keperloean Negeri, jaitoe di waktoenja orang berbalik poenggoeng (tak soedi menolong) pada Negeri; dan Pak Tani itoe djoega mendjadi sendi tempat Negeri disandarkan”.

Apa yang disampaikan oleh KH. Hasyim Asy’ari menjadi peringatan keras kepada bangsa Indonesia secara umum, bahwa menjaga kedaulatan pangan adalah tanggung jawab bersama untuk menjaga keberlangsungan kehidupan manusia.

“Tana Sangkol” adalah keramat bagi masyarakat Madura

Baca Juga:

Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

Fikih yang Berkeadilan: Mengafirmasi Seksualitas Perempuan

Jangan Tanya Lagi, Kapan Aku Menikah?

Wilayah Agraris ini tak terkecuali Madura. Pulau yang dikenal dengan populasi masyarakat dengan tingkat religiusitas tinggi serta kesopanan yang kental, juga memiliki filosofi yang kuat tentang agraria, khususnya kepemilikan lahan, tanah pada masyarakat Madura.

Sebut saja “tana sangkol” (red:tanah warisan). Dalam kasus ini, masyarakat Madura menganggap bahwa tanah sangkol tidak hanya sekedar warisan sebagai harta peninggalan. Lebih jauh, tanah ini sebagai kramat yang tidak dengan gampang bisa diperjualbelikan. Jika dimaknai lebih jauh, tanah sangkolan ini seperti memiliki nyawa, sebab dari hasil panen inilah nanti bisa dibuat untuk sedekah untuk orang tua yang sudah meninggal, atau dalam tradisi Madura disebut, “rebbe” dan berbagai ritual lainnya. “Tana Sangkol” ini memiliki keterikatan kuat dengan para leluhur. Ikatan tersebut terjalin, menjadikan tanah tersebut tidak gampang untuk dipindah ke tangan orang lain.

Perempuan Madura dan gerakan yang harus dibangun

Dalam konteks ini perempuan Madura berperan penting terhadap keberlangsungan proses pertanian masyarakat Madura. Sebagai perempan yang lahir di Madura, ingatan saya masih cukup apik, ketika saya dan ibu bersiap-siap sejak pagi. Saya pergi ke sekolah pukul 06.00 pagi, menempuh jarak yang cukup jauh dari rumah ke sekolah, sedangkan ibu juga berangkat ke sawah bersama para perempuan lainnya untuk menanam padi, atau bekerja mencabut rumput-rumput benalu yang dapat menganggu pertumbuhan padi.

Pekerjaan tersebut tentu mendapat bayaran dari pemilik lahan, bekerja sejak pukul 06-00 pagi hari sampai pukul 12.00 dibayar 30 ribu rupiah, itu terkadang juga ditambah dengan makan pagi, dan makanan ringan ketika siang. Uang tersebut tidak seberapa jika dibandingkan dengan kebutuhan yang harus dipenuhi oleh keluarga Madura. Akan tetapi, sejauh ini pekerjaan tersebut menjadi saksi keterlibatan perempuan Madura secara aktif dalam memenuhi kebutuhan keluarga.

Tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran perempuan di Madura memiliki peran penting terhadap keberlangsungan pertanian di Madura. Pekerjaan sebagai petani yang dimiliki oleh seorang suami, nyatanya belum cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga Madura. Sehingga perempuan Madura berperan untuk membantu perekonomian keluarga, salah satunya dalam sektor pertanian.

Masalah-masalah agraria kemudian semakin kompleks ketika para pemodal datang untuk membangun usaha (industri) yang diming-imingi dengan pekerjaan melimpah, serta berbagai janji manis lainnya. Kenyataan terekam secara nyata dalam buku, “Rebutan Lahan di Pesisir Pantai Sumenep (Refleksi dan Kritik)”, (A. Dardiri, dkk:2021).

Tidak hanya itu, wacana naik haji juga menjadi masalah pemindahan tanah kepada para pemilik modal. Akibat religiusitas yang dimiliki oleh masyarakat Madura, kerapkali masyarakat Madura merelakan tanah miliknya untuk menutupi kekurangan dana yang dibutuhkan untuk menunaikan ibadah haji. Sehingga sakralitas “tanah sangkol” kian bergeser. Sikap hedon di tengah budaya kapitalisme mengikis kesadaran masyarakat Madura tentang kedaulatan pangan.

Berdasarkan fenomena di atas, tidak bisa dinafikkan bahwa hal tersebut berpengaruh terhadap perempuan Madura. Pelibatan perempuan dalam sektor pertanian, sebagai pelaku aktif dalam proses pertanian, selama ini perlu diberikan wadah untuk terus bersuara dan membangun kesadaran sejak dini agar tidak secara bebas menjual dan memberikan alih kepada orang lain tentang kepemilikan tanah, sawah ataupun lahan.

Kesadaran kolektif kolegial sebagai perempuan Madura tentang pangan, sektor pertanian, serta kepemilikan lahan harus terus disemarakkan. Generasi perempuan Madura  harus dilibatkan untuk persoalan ini. Gerakan ekofeminisme perlu menjadi gebrakan utuh perempuan Madura untuk menyelamatkan nilai, dan kedudukan pangan bagi masa depan anak cucu Madura.

Seperti kita ketahui, bahwa perempuan cukup dekat dengan pangan, bukankah sudah seyogyanya perlu melibatkan perempuan pada persoalan urgen dalam negara demokrasi? Wallahu a’lam. []

 

Tags: EkofeminismeMadurapanganperempuanPertanian
Muallifah

Muallifah

Penulis asal Sampang, sedang menyelesaikan studi di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Tinggal di Yogyakarta

Terkait Posts

Pacaran

Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

30 Juni 2025
Pisangan Ciputat

Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

30 Juni 2025
Kesetaraan Disabilitas

Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

30 Juni 2025
Feminisme di Indonesia

Benarkah Feminisme di Indonesia Berasal dari Barat dan Bertentangan dengan Islam?

28 Juni 2025
Wahabi Lingkungan

Wahabi Lingkungan, Kontroversi yang Mengubah Wajah Perlindungan Alam di Indonesia?

28 Juni 2025
Patung Molly Malone

Ketika Patung Molly Malone Pun Jadi Korban Pelecehan

27 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Toxic Positivity

    Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!
  • Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID