Mubadalah.id – Seorang Yahudi buta dan miskin setiap hari duduk di sebuah sudut Kota Madinah. Setiap mendengar orang lewat di hadapannya, dia mencaci maki Nabi dengan suaranya yang keras:
“Hai, awas kalian, jangan dekati Muhammad. Dia orang gila, penyihir, dan pembohong besar. Bila kalian dekati dia, kalian pasti terpikat. Kata-katanya amat manis.”
Meski Nabi tahu dan mendengar sendiri pengemis buta Yahudi itu membencinya setengah mati, tetapi beliau tiap pagimendatanginya sambil membawa makanan untuknya. Tanpa bicara apaapa atau mengenalkan dirinya. Nabi menyuapinya dengan amat sabar dan penuh kasih.
Nabi kemudian wafat. Si Yahudi miskin yang buta tersebut tertawa terbahak-bahak, bukan kepalang senangnya. Tetapi keesokan harinya dia merasa sepi dan kelaparan. Dia menunggu orang yang biasa datang memberinya makan dengan penuh kasih itu, sampai sore, tetapi ia tak juga kunjung datang.
Beberapa hari berikutnya, Abu Bakar datang menemui anaknya, Aisyah. Ia menanyakan apakah ada kebiasaan Nabi yang belum diikutinya. Istri Nabi itu menjawab, “Ayah sudah melakukan segalanya, kecuali satu hal. Lalu Aisyah menceritakan kebiasaan Nabi memberi makan Yahudi buta tadi.”
Menipis Tangan Abu Bakar
Mendengar penuturan anaknya itu Abu Bakar segera menemui dan membawa makan untuknya. Si Yahudi merasakan pegangan tangannya, tetapi tangan itu bukan tangan orang yang dulu. Ia menepis tangan itu sambil mencari-cari dan meraba-raba tangan yang lembut dulu itu.
Abu Bakar mengenalkan dirinya dan memberitahukan, “Tangan lembut yang dulu tiap hari menyuapimu dengan penuh kasih itu adalah sahabatku, Muhammad, Rasulullah, dan dia sudah wafat beberapa hari lalu.”
Mendengar kabar seperti itu, seketika pengemis Yahudi itu menjerit dengan suara yang amat memilukan hati. Dadanya berdegup-degup kencang. Air mata bercucuran membasahi pipinya.
Kemudian, dia amat menyesal dan mengutuki dirinya telah mencaci, membenci, dan menuduh hal-hal yang tak pernah dilakukan Muhammad. Mulutnya kemudian mengakui kemuliaan Muhammad.
“Oh, Muhammad, engkau orang yang mulia, orang yang berhati mulia.”
Hati Abu Bakar mengharubiru dan tersedu-sedan, mengenang kekasihnya yang telah pergi tak akan kembali. Yahudi itu kemudiari masuk Islam.
Kisah ini cukup populer. Ia sering menjadi bahan untuk ceramah agama di berbagai tempat pengajian, meski sulit kita lacak sumbernya. Tetapi Sikap Nabi seperti yang diceritakan di atas sejalan dengan karakter dan sifat Nabi. []