Mubadalah.id – Kemanusiaaan itu satu, bahwa martabat, kehormatan seorang manusia hanya dapat dipahami dalam martabat orang lain. Selama masih ada satu orang saja di muka bumi yang kehormatannya sebagai manusia dirisak, maka martabat saya, martabat anda dan martabat semua orang belum beres.
Tidak ada batasan martabat manusia karena ikatan primordial. Saya yang Jawa Islam Suni, belum dapat menggenapi kehormatan kemanusiaan saya ketika masih ada saudara-saudara di Papua, di Poso, di tempat-tempat pengungsian Ahmadiyah dan Syiah atau jauh di Afrika, India, di Palestina yang terluka kehormatannya sebagai manusia.
Tapi siapa kita, apalah kita ini?
Pagi ini sahabat saya Mba Wasingatu Zakiyah menuliskan di grup WA sebuah hikayat yang mungkin banyak diantara kita pernah mendengarya, ‘ Hikayat Burung Pipit dan Cicak’
Tersebutlah saat Nabi Ibrahim hendak dihukum oleh penguasa dengan dibakar, seekor burung pipit berkali-kali mondar-mandir mengangkut air dengan paruhnya yang mungil. Melihat apa yang dilakukan oleh burung pipit, si cicak tertawa mengejek.
“Setahun kamu lakukan itu tak bakal meredupkan api yang menyala-nyala “, ujar si cicak.
Tapi burung pipit itu tak terpengaruh. Ia tetap mengangkut dan mencipratkan air dari paruhnya. Lalu ujarnya, “Setidaknya aku tidak diam atas perlakukan raja durjana pada orang baik itu”.
Burung pipit itu memenangkan ‘nuraninya’, tentang prinsip nilainya, karena dengan itu dia menunjukkan keberpihakannya pada kehidupan
Di tengah polarisasi dan keterbelahan masyatakat kita karena pandangan-pandangan yang berbeda, prasangka dan cap-cap buruk antarkelompok sering kita lihat makin menggejala, semakin mengikis perasaan bahwa kita adalah bagian dari yang lain.
Bila kita layaknya burung pipit, apa yang dapat kita lakukan..
Kata-kata hikmah Bunda Theresa dari Kalkuta India, barangkali menarik disimak, “Jika engkau peduli pada perdamaian dunia, pulanglah ke rumah”.
Ya, mengembangkan sikap hidup damai sejak dari rumah. Saat ini banyak anak dan remaja butuh sahabat dan teman menghadapi gelisah. Hidup berubah sangat cepat dan penuh ketidakpastian. Bahkan para orang tua pun butuh jangkar saling mengasihi dalam rumah.
Rumah dan keluaraga-keluarga yang damai, tak akan menyebarkan kebencian dan permusuhan. Dari rumah-rumah seperti ini pula suara keberpihakan pada para korban akan jadi lantunan yang menggerakkan perubahan untuk keutuhan martabat manusia..
Sekali lagi, martabat kemanusiaan saya, martabat kemanusiaan anda dan semua hanya dapat dipahami dalam martabat manusia lain. []