• Login
  • Register
Sabtu, 12 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Laki-laki yang Semakin Ditekan Patriarki di Masa Pandemi

Patriarki bukan saja merugikan kaum perempuan, tapi juga laki-laki. Jika perempuan disorot dari segi fisiknya, laki-laki akan dihargai dari materi yang ia punya.

Hasna Azmi Fadhilah Hasna Azmi Fadhilah
03/04/2021
in Keluarga, Rekomendasi
0
Laki-laki

Laki-laki

118
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Dalam suatu kesempatan beberapa waktu lalu, seorang pejabat teras ditanyai pendapatnya mengenai tingginya kasus perceraian di kala pandemi. Secara ringkas, ia menjawab begini, “fenomena gugat cerai, perempuan yang menggugat cerai laki-laki, sebenarnya mulai naik sekitar 1975. Hal ini terkait dengan pemberdayaan perempuan, dan kemunculan setidaknya tujuh undang-undang di awal masa Orde Baru. Salah satu tonggaknya adalah UU No 1 Tahun 1974 yang memperkuat posisi perempuan.”

Saya menghela napas panjang mendengar penjelasannya yang terkesan misoginis. Apakah pemberdayaan perempuan semata-mata menjadi faktor utama penyebab maraknya perceraian? Sedangkan latar belakang perpisahan keluarga sendiri sebenarnya beragam, dari KDRT, perbedaan prinsip, hingga persoalan finansial.

Dan bahkan alasan terakhir, kerap disebut-sebut menjadi biang kerok retaknya bahterai rumah tangga terlebih di masa pandemi seperti sekarang. Apalagi dengan angka pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melonjak tajam akibat corona, banyak penghasilan laki-laki sebagai kepala keluarga yang biasanya diandalkan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga harus hilang seketika.

Tak pelak, banyak laki-laki yang kemudian mengalami post power syndrome yang membuat mereka terkadang melampiaskannya melalui tindak kekerasan kepada anggota keluarga, tapi tak jarang pula yang akhirnya memendam sendiri dan berujung pada bunuh diri.

Post power syndrome sendiri memang bukan gangguan jiwa akut. Namun, masalah psikologis ini sebenarnya kerap terjadi di lingkungan masyarakat. Umumnya, sindrom ini diderita oleh orang yang baru saja pensiun, lepas dari jabatan, dan terkena PHK. Gejalanya pun beragam, dan meliputi aspek fisik, psikologis, dan perilaku sekaligus. Dari merasa kecewa berlebihan, bingung, hingga sakit kepala dan perut, hal yang juga ditemukan pada pasien depresi.

Baca Juga:

Laki-laki dan Perempuan adalah Manusia yang Setara

Menakar Kualitas Cinta Pasangan Saat Berhaji

Sudah Saatnya Menghentikan Stigma Perempuan Sebagai Fitnah

Film Horor, Hantu Perempuan dan Mitos-mitos yang Mengikutinya

Tetapi, dalam banyak kasus, penderita seringkali tidak menyadari bahwa ia mengalami sindrom tersebut. Sehingga perasaan tadi semakin bergejolak dengan anggapan bahwa kini harga dirinya menurun, dan merasa tidak dihormati lagi. Efeknya, seorang laki-laki yang tidak mudah mampu mengendalikan gejala-gejala tersebut akan semakin mudah emosi.

Bagi banyak perempuan yang tidak memahami kondisi pasangannya, gejala tersebut bisa memicu konflik berkepanjangan. Alih-alih membuka komunikasi dengan terbuka, biasanya yang terjadi kemudian adalah pasangan suami istri malah terbawa pengaruh sosial, termasuk keluarga yang semakin menyudutkan posisi laki-laki karena dianggap tidak lagi menghasilkan dan tidak becus menafkahi.

Sebab, gambaran suami idaman seringkali dilekatkan dengan kriteria materi semata: mampu menafkahi perempuan lahir batin, sehingga istri tidak perlu repot-repot bekerja. Bahkan penyerahan pihak perempuan ke laki-laki dianggap sebagai pelepasan beban finansial orangtua ke pihak suami dengan ekspektasi bahwa seluruh kebutuhannya akan dicukupi.

Padahal seringkali realitas kehidupan tak berjalan sesuai teori. Yang akhirnya membuat kaum perempuan harus mencari nafkah untuk menambal kebutuhan sehari-hari. Sayangnya, kini justru marak propaganda domestifikasi perempuan yang melarang bekerja di luar rumah. Bahkan tak sedikit yang menganggap perempuan pencari nafkah utama dan bapak rumah tangga sebagai aib yang perlu dipersoalkan.

Padahal di zaman Rasul dulu kasus perempuan breadwinner atau tulang punggung keluarga tidak dipermasalahkan. Bahkan perempuan sahabat Nabi yang bernama Rithah tersebut justru didukung oleh Rasul atas usahanya mencukupi kebutuhan keluarga, “kamu memperoleh pahala dari apa yang kamu nafkahkan pada mereka.”

Cara Rasul menyikapi apa yang dilakukan istri Abdullah bin Mas’ud justru berbanding terbalik dengan tanggapan beberapa ustadz populer yang mengharamkan perempuan bekerja karena dianggap sebagai fitnah keluarga. Padahal tidak semua keluarga bisa mengandalkan pendapatan pihak laki-laki saja. Bahkan terkadang, ketika dua-duanya telah bekerja pun, kesulitan ekonomi masih saja menghampiri.

Oleh karenanya indikator pasangan islami harusnya tidak sebatas pada pemenuhan materi, tetapi merujuk pada konsep kesalingan yang berlandaskan pada usaha bersama untuk saling memenuhi kebutuhan fisik, intelektual, dan spiritual dengan menggunakan pertimbangan akal budi dan nilai-nilai agama dalam bertindak.

Namun fakta memperlihatkan bahwa membuka diskusi antara pasangan suami istri sendiri nyatanya tak semudah membalikkan telapak tangan. Ekspektasi tinggi di pundak laki-laki acap kali membuat laki-laki tak mau membuka diri ketika dilanda masalah. Berbeda dengan perempuan yang lebih mudah bercerita ke kolega atau saudara, kaum adam cenderung tertutup ketika dihadapkan banyak problematika.

Belum lagi stigma “big boys don’t cry” yang mengakibatkan laki-laki dipaksa harus berpura-pura kuat dan menahan tangis meski ia memiliki masalah yang sangat kompleks sebab mereka takut dianggap lemah dan tidak jantan. Makanya, ketika sakit, tersakiti, atau menanggung beban personal yang berat, mereka berusaha sekuat mungkin untuk tidak menampakkannya. Sebagai peredamnya, mereka jauh lebih memilih untuk menyembuhkan diri dengan zat-zat adiktif yang diasumsikan akan meredam stress meski itu hanya bersifat sementara, seperti rokok, minuman beralkohol, dan sebagainya.

Dari sini, terlihat jelas bahwa patriarki mendorong tekanan dan standar yang tak sepenuhnya realistis untuk dituruti kaum perempuan, tapi juga laki-laki. Akibatnya, dalam dunia kaum adam, bisa diibaratkan: “ketika ada uang, abang disayang. Tapi ketika tak ada uang, abang ditendang.” []

Tags: istriKDRTkeluargalaki-lakiperceraianperempuanperkawinanRelasi Kesalingansuami
Hasna Azmi Fadhilah

Hasna Azmi Fadhilah

Belajar dan mengajar tentang politik dan isu-isu perempuan

Terkait Posts

Isu Disabilitas

Tidak Ada yang Sia-sia Dalam Kebaikan, Termasuk Menyuarakan Isu Disabilitas

12 Juli 2025
Ikrar KUPI

Ikrar KUPI, Sejarah Ulama Perempuan dan Kesadaran Kolektif Gerakan

11 Juli 2025
Kopi yang Terlambat

Jalanan Jogja, Kopi yang Terlambat, dan Kisah Perempuan yang Tersisih

10 Juli 2025
Relasi Imam-Makmum

Relasi Imam-Makmum Keluarga dalam Mubadalah

9 Juli 2025
Perempuan Lebih Religius

Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

9 Juli 2025
Jiwa Inklusif

Menanamkan Jiwa Inklusif Pada Anak-anak

8 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Negara Inklusi

    Negara Inklusi Bukan Cuma Wacana: Kementerian Agama Buktikan Lewat Tindakan Nyata

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Peran Perempuan dan Perjuangannya dalam Film Sultan Agung

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam dan Persoalan Gender

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tauhid: Kunci Membongkar Ketimpangan Gender dalam Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tauhid: Fondasi Pembebasan dan Keadilan dalam Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Perempuan dan Pembangunan; Keadilan yang Terlupakan
  • Tidak Ada yang Sia-sia Dalam Kebaikan, Termasuk Menyuarakan Isu Disabilitas
  • Laki-laki dan Perempuan adalah Manusia yang Setara
  • Kegagalan dalam Perspektif Islam: Antara Harapan Orang Tua dan Takdir Allah
  • Islam dan Persoalan Gender

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID