Mubadalah.id – Nabi Muhammad Saw telah memberikan banyak teladan kepada kita seluruh umat Islam, termasuk larangan memukul anak-anak.
Larangan memukul anak-anak itu merupakan salah satu peringatan yang pernah diperintahkan oleh Nabi Muhammad Saw.
Perintah bahwa larangan memukul anak-anak itu merujuk pada salah satu hadis dari Sunan Abu Dawud.
Isi hadis larangan memukul anak-anak tersebut sebagai berikut, dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Ajari anak-anak kalian tentang shalat mulai usia tujuh tahun, didiklah mereka tentangnya pada saat usia sepuluh tahun, dan pisahkan ranjang mereka (pada saat usia sepuluh tersebut)”.
Kemudian hadis lain, dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Perintahkan anak-anak kalian untuk shalat pada saat berusia tujuh tahun, pukullah mereka karenanya pada saat sudah berusia sepuluh tahun, juga pisahkan ranjang mereka (pada usia sepuluh tersebut)” (Sunan Abu Dawud, 495).
Penafsiran terhadap Hadits Memukul Anak-anak
Teks yang sementara dipahami sebagai dalil kebolehan memukul anak ini, menurut Faqihuddin Abdul Kodir, secara literal tidak menyertakan kualifikasi dan syarat-syarat yang jelas tentang memukul anak.
Namun dalam fiqh, kata Kang Faqih, ia dijelaskan dalam syarat berjenjang, kualifikasi terukur, dan tanggung-jawab dari orang tua dan wali ketika mempraktikkan hal tersebut.
“Kalangan ulama kontemporer, yang menjelaskan teks hadits tentang memukul anak-anak ini, memberikan nuansa yang lebih ketat tentang syarat-syarat ini. Intinya, memukul anak-anak memang menjadi salah satu metode mendidik harus dipraktikkan dalam konteks mendidik dan pada saat tidak ada lagi motede lain yang efektif. Selama masih ada metode lain, memukul tidak boleh dipilih orang tua maupun wali,” tulisnya.
“Pemukulan yang dimaksud hadits adalah yang ringan, tidak menyakiti, tidak di muka, dan tidak menyebabkan luka fisik maupun psikis.” tambahnya.
Terlebih, Kang Faqih menyampaikan, teks ini hadir dalam konteks mendidik dan membiasakan anak berbuat kebaikan, ia sama sekali tidak boleh digunakan untuk meligitimasi kekerasan terhadap anak.
“Kekerasan domestik terhadap anak, yang tidak terkait dengan konteks mendidik, apalagi semena-mena, adalah diharamkan Islam,” jelasnya.
Lebih lanjut, Kang Faqih mengingatkan, dalam masa ini, kemaslahatan anak menjadi prioritas, karena itu perspektif kasih sayang menjadi landasan utama dalam semua fase pendidikan anak yang tumbuh kembang menjadi dewasa.
“Kemaslahatan anak ini bisa diwujudkan dengan kerangka Maqashid Syariah. Yaitu, untuk melindungi nyawa dan jiwa anak (hifz an-nafs), melindungi akal dan pengetahuannya (hifz al-‘aql), melindungi harta dan sumber daya ekonominya (hifz al-mal), melindungi fungsi reproduksinya (hifz an-nasl), dan melindungi nalar spiritualnya (hifz ad-din),” tukasnya. (Rul)