Mubadalah.id – Peringatan Hari Janda Internasional pada tanggal 23 Juni setiap tahunnya, adalah untuk mengatasi masalah yang dihadapi para janda dan anak-anak mereka di beberapa negara. Penetapan Peringatan tersebut oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengajak publik memfokuskan perhatian terhadap pengalaman para janda. Bagaimana ke depannya komunitas dapat memberikan dukungan penuh, dan menghilangkan stigma negatif janda
Di saat yang sama peringatan tersebut memberikan kesempatan pihak berwajib untuk selanjutnya mengambil tindakan lebih komprehensif dalam membantu janda-janda kurang mampu. Agar mereka mampu memenuhi hak dan pengakuan penuh. Seperti pembagian yang adil dalam harta warisan, tanah, sumber daya produktif, perlindungan sosial yang tidak berdasarkan pada status perkawinan, pekerjaan yang layak dan upah yang setara, kesempatan pelatihan, pendidikan, dll.
Menurut Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan dan Konvensi Hak Anak, penting untuk memastikan hak-hak janda seperti yang terabadikan dalam hukum internasional.
Memperingati hari ini juga merupakan cara menentang stigma negatif janda yang identik dengan penggoda, hingga perebut suami orang. Belum lagi ternyata beberapa kelompok perempuan pernah terlarang ikut andil dalam politik, sehingga kegiatan yang dapat kaum Hawa lakukan pun terbatas. Stigma negatif janda tadi berbanding terbalik dengan berbagai sosok perempuan hebat dalam sejarah Indonesia. Salah satunya adalah Keumalahayati, atau yang lebih dikenal sebagai Laksamana Malahayati dari Aceh.
Sejarah Laksamana Malahayati
Dalam catatan sejarah, Malahayati adalah laksamana laut pertama di dunia. Dia tergambarkan sebagai panglima perang Kesultanan Aceh yang mampu menaklukkan armada angkatan laut Belanda dan bangsa Portugis (Portugal) pada abad ke-16 Masehi. Melihat dari segi keturunan, Malahayati adalah putri dari Laksamana Mahmud Syah bin Laksamana Muhammad Said Syah. Sedangkan kakeknya merupakan putra Sultan Salahuddin Syah yang memimpin Aceh pada periode 1530-1539.
Lahir dan tumbuh besar di daerah pesisir dan memiliki keluarga yang punya pengalaman luar biasa di bidang kelautan. Tak heran bila kemudian Malahayati akrab dengan dunia angkatan laut. Untuk meningkatkan kapasitas, ia sempat mengenyam pendidikan akademi militer dan memperdalam ilmu kelautan di Baital Makdis atau Pusat Pendidikan Tentara Aceh. Di sana ia belajar banyak dari para pengajarnya yang merupakan para perwira dari Turki. Pada waktu itu Kasultanan Aceh Darussalam mendapatkan bantuan dari Kasultanan Turki Ustmani.
Pernikahan Laksamana Malahayati
Tak lama setelahnya, Malahayati bertemu dengan seorang perwira muda yang kemudian menjadi pendamping hidupnya, Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief. Usai menikah, pasangan ini tidak selalu menikmati kehidupan nan penuh kedamaian. Ujian mereka datang ketika keduanya harus terlibat dalam peristiwa perang di perairan Selat Malaka.
Pasukan kasultanan Aceh waktu itu dipimpin oleh Sultan Alauddin Riayat Syah Al-Mukammil yang terbantu dua orang laksamana, salah satunya suami Malahayati. Pertempuran yang berlangsung sengit tersebut dimenangkan oleh pasukan Kasultanan Aceh. Namun, suami Malahayati justru tewas dalam pertempuran ini.
Sepeninggal suaminya, Malahayati membentuk armada yang terdiri dari para janda yang suaminya gugur dalam pertempuran melawan bangsa Portugis. Armada pasukannya ia beri nama Inong Balee atau Armada Perempuan Janda. Pangkalannya berloksi di Teluk Lamreh, Krueng Raya. Di sana terdapat 100 kapal perang dengan kapasitas 400-500 orang. Tiap kapal perang juga lengkqp dengan meriam. Bahkan, kapal paling besar dilengkapi lima meriam.
Malahayati juga membangun benteng yang bernama Benteng Inong Balee bersama pasukannya. Karier militer Malahayati terus menanjak hingga ia menduduki jabatan tertinggi di Angkatan Laut Kerajaan Aceh kala itu. Sebagaimana layaknya para pemimpin zaman itu, Laksamana Malahayati ikut bertempur di garis depan melawan kekuatan Portugal dan Belanda yang hendak menguasai jalur laut Selat Malaka.
Laksamana Malahayati Runtuhkan Stigma Negatif Janda
Reputasi Malahayati sebagai penjaga pintu gerbang kerajaan membuat Inggris yang hendak masuk ke wilayah Aceh memilih untuk menempuh jalan damai. Surat dari Ratu Elizabeth I yang terbawa James Lancaster untuk Sultan Aceh membuka jalan bagi Inggris untuk menuju Jawa dan membuka pos dagang di Banten.
Setelah Inggris, Belanda kemudian datang. Cornelis de Houtman, orang Belanda pertama yang tiba di Indonesia, juga mencoba menggoyang kekuasaan Aceh pada 1599. Tapi, komplotan mereka pun tak berdaya di hadapan Malahayati. Pasukan tersebut berhasil pukul mundur oleh armada Inong Balee.
Cornelis de Houtman tewas di tangan Laksamana Malahayati pada 11 September 1599. Usai pimpinannya tiada. Upaya Belanda tak berhenti sampai di situ. Prins Maurits yang yang lalu mewakili Belanda, berupaya memperbaiki hubungan dengan Aceh. Keduanya menggelar perundingan awal hingga tercapai sejumlah persetujuan.
Dari catatan heroik Malahayati, kita bisa melihat bahwa stigma negatif janda yang kerap tersematkan oleh masyarakat kini tak satu pun lekat dengannya. Ia bahkan tak hanya mengurus kebutuhan domestik, tapi juga maju di garda terdepan dalam melawan pendudukan negara asing.
Atas keberaniannya, nama Malahayati saat ini menjadi nama jalan, pelabuhan, rumah sakit, perguruan tinggi hingga nama kapal perang, yakni KRI Malahayati. Bahkan lukisannya terabadikan di Museum Kapal Selam, Surabaya, Jawa Timur. Kontribusi Malahayati seakan memperlihatkan bahwa kehilangan pasangan bukan akhir dari segalanya. []