• Login
  • Register
Senin, 19 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Makna Kesalingan dalam Inisiasi Perasaan Cinta: Jika Laki-laki Bisa Mengapa Perempuan Tidak?

“In all things, it’s better to hope than to despair.” Dalam hal apapun lebih baik berharap (diterima), daripada harus menyesal (karena tidak mencoba)

Moh. Nailul Muna Moh. Nailul Muna
28/05/2024
in Personal, Rekomendasi
0
Perasaan Cinta

Perasaan Cinta

1.1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Ide tulisan ini berasal dari pertanyaan teman saya beberapa hari lalu, ia menanyakan bagaimana sudut pandang ‘kesalingan’ dalam memaknai perempuan yang mengungkapkan perasaannya kepada laki-laki? dan apakah hal itu lumrah jika dilakukan oleh seorang perempuan?

Selayaknya problem akademik dalam karya tulis ilmiah, dua pertanyaan tersebut akan menjadi masalah yang akan penulis paparkan melalui skema tulisan yang ringan namun dengan tawaran jawaban yang logis.

Setelah penulis menelusuri beberapa forum diskusi global yang membahas tentang pengungkapan perasaan cinta perempuan kepada laki-laki, mereka kebanyakan lebih sepakat bahwa perempuan seharusnya diam dan membiarkan laki-laki yang berinisiasi untuk mendekati mereka. Secara logika, bukankah hal tersebut tidak mengenakkan?

Sebagai analogi, saat kita sangat menginginkan rujak dan kebetulan di depan rumah lewat penjual rujak, apakah kita hanya diam meski kita punya uang? Dan apakah diam itu terasa nyaman? Hemat penulis tidak.

Dalam forum-forum tersebut, penulis juga masih menemukan beberapa perempuan pemberani yang menyuarakan perasaannya kepada laki-laki. Mereka berargumentasi bahwa lebih baik gagal daripada tidak mencoba sama sekali. Hal tersebut sebagaimana kita ingin rujak, ya kita membelinya, daripada hanya ingin tapi tidak membeli.

Baca Juga:

Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial

Ketika Sejarah Membuktikan Kepemimpinan Perempuan

Qiyas Sering Dijadikan Dasar Pelarangan Perempuan Menjadi Pemimpin

Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

Rasa Malu Perempuan: Sebuah Budaya Global

Hemat penulis, faktor penghalang kesetaraan dalam inisiasi ungkapan perasaan cinta penyebabnya karena kecenderungan watak pemalu milik perempuan. Hal ini bukanlah kodrati, karena kita juga sering menemukan laki-laki yang sangat pemalu saat membicarakan perasaan. Pun sebaliknya, banyak juga kita temukan perempuan-perempuan yang berwatak pemberani.

Selain itu, budaya patriarki adalah faktor selanjutnya di mana pengalaman bahwa perempuan harus ‘manut’, ‘tidak berdaya’ dan ‘lemah’ menambah beban pikiran perempuan untuk melakukan inisiasi perasaan. Hal ini akan berbanding terbalik dengan apa yang laki-laki hadapi. Faktor-faktor tersebut yang menimbulkan narasi inisisasi perasaan perempuan menjadi tidak lumrah.

Adapun dalam konteks Indonesia, inisisasi perasaan cinta perempuan terbentuk dengan kombinasi antara tradisi patriarki dengan narasi-narasi agamis. Sebagaimana ungkapan berikut:

الحياء زينة المراة المسلمة

“Rasa malu adalah perhiasan bagi perempuan Muslimah”

Kalaupun kita telusuri lebih dalam, terdapat juga beberapa kitab yang khusus membahas tentang rasa malu bagi perempuan seperti

حياء المرأة عصمة وأنوثة وزينة karya dari Muhammad bin Musa as-Syarif. Untuk memperjelas hal ini akan saya arahkan kepada studi kasus pada masa Rasulullah.

Realitas Inisiasi Perasaan di Masa Rasulullah

Dalam sudut pandangan agama, tidak ada larangan tertulis yang mengatakan perempuan terlarang untuk menginisiasi perasaannya kepada lawan jenis. Melalui tulisan dari Muhammad Iqbal Syauqi bahwa pada zaman Islam awal sudah terdapat perempuan yang meminta Rasulullah saw. menikahinya.

Meski sempat mendapatkan cibiran namun ia dibela oleh Sahabat Anas bin Malik dengan mengatakan ‘ia tidak lebih baik darimu, karena ia mencintai sosok Rasulullah. Kemudian mengungkapkan dengan jujur bahwa meminta kesediaan beliau agar menikahinya.”

Imam al Qasthalani berkomentar:

فيه جواز عرض المرأة نفسها على الرجل الصالح وأنه لا عار عليها في ذلك بل فيه دلالة على فضيلتها نعم إن كان لغرض دنيوي فقبيح

“Dibolehkan bagi perempuan untuk menyerahkan dirinya kepada orang saleh. Hal itu tidak tercela, malah menjadi dalil terkait keistimewaan sifatnya. Namun jika tujuannya adalah perkara dunia semata, maka itu tercela.”

Sebagai perbandingan, Rasulullah pun pernah tertolak cintanya oleh seorang perempuan. Yakni Ummu Hani, putri Abu Thalib, bahkan beliau sempat ditolak sampai dua kali.

Setidaknya, cerita tersebut memiliki beberapa pelajaran, yakni ditolak bukanlah aib. Penolakan juga harus kita sertai dengan alasan yang logis dan sopan. Sebab, Ummu Hanni saat menolak Rasulullah lantaran ia takut tidak bisa merawat Rasulullah dengan baik karena ia sudah tua dan tersibukkan dengan mengurus anak-anaknya.

Melalui cerita tersbut, juga bisa ditarik mafhum muwafaqah, yakni jika Rasulullah sebagai sosok yang paling mulia di alam saja pernah tertolak maka apalagi yang perlu manusia Gen-Z risaukan.

Pembacaan Egaliter atas Masalah

Secara egaliter, perempuan tentu mempunyai hak untuk melakukan inisiasi perasaan layaknya laki-laki. Karena hal ini tidak berkenaan dengan masalah kodrati dan tidak juga melanggar norma-norma agama. Sebagai catatan, hal ini harus dilakukan secara etis, semisal tidak berpotensi mengganggu hubungan orang lain, tidak terlalu berlebihan menganggu dan tidak melanggar norma-norma agama.

Secara aplikatif, kalaupun dikaitkan dengan norma agama maka selayaknya inisiasi ini perlu dilakukan dengan  melalui perantara dan memastikan kekosongan hubungan dari orang yang kita sukai.

Sebagai penutup, abad ke-21 bukanlah masa Sitti Nurbaya, maknanya perempuan juga berhak menentukan pilihannya, yakni dengan lebih berani berinisiasi dalam urusan perasaan sebagaimana laki-laki. Jika ada yang mengatakan perempuan cantik milik lelaki pemberani maka narasi kebalikannya juga juga bisa kita gunakan, bukan?

Penolakan tidak akan membuat kita mati, malah harapan akan kebaikan-kebaikan yang lainnya akan muncul. Untuk meyakinkan pembaca atas ungkapan tersebut, penulis mengutip sebuah ungkapan dari Van Goethe yakni “In all things, it’s better to hope than to despair.” Dalam hal apapun lebih baik berharap (diterima) daripada harus menyesal (karena tidak mencoba). []

Tags: kodratmaluPerasaan Cintaperempuanstigma
Moh. Nailul Muna

Moh. Nailul Muna

Penulis berasal dari Lamongan. Ia merupakan alumni PBSB S1 UIN Sunan Kalijaga dan LPDP S2 UIN Syarif Hidayatullah dengan jurusan IAT. Latar belakang pendidikan non-formalnya yakni: PP. Matholi’ul Anwar, LSQ Ar-Rahmah, Sirojut Ta'limil Quran, Al-Munawwir, PPA. Nur Medina, dll. Beberapa kajian yang pernah digeluti penulis antara lain, kepesantrenan, Tafsir, Hadis, dan gender yang menjadi tema tesis. Pada saat ini penulis sedang mengabdi di UIN Saizu, UNU Purwokerto dan PESMA An Najah.

Terkait Posts

Nyai A’izzah Amin Sholeh

Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

18 Mei 2025
Kehamilan Tak Diinginkan

Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial

18 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Noble Silence

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

17 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Suami Pengangguran

Suami Pengangguran, Istri dan 11 Anak Jadi Korban

16 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kehamilan Tak Diinginkan

    Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menghindari Pemukulan saat Nusyuz

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Ratu Junti, Sufi Perempuan dari Indramayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memperhatikan Gizi Ibu Hamil

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menghindari Pemukulan saat Nusyuz
  • Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami
  • Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial
  • Memperhatikan Gizi Ibu Hamil
  • Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version