• Login
  • Register
Rabu, 21 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Maskulinitas Laki-laki dalam Seteguk Alkohol

Alkohol, menurut Russell Lemle dan March E. Mishkind (1989), telah menjadi identitas maskulin bagi laki-laki dan simbol kejahatan.

Miftahul Huda Miftahul Huda
11/06/2021
in Personal
0
suami

suami

155
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Warung kopi tempat saya duduk semula terlihat sepi, bahkan bunyi orkestra tonggeret bersahut-sahutan di seberang tanah lapang terdengar nyaring. Tidak lama kemudian, satu per satu pengunjung mulai berdatangan dan memenuhi warung yang sebenarnya sempit.

Karena semakin ramai, dan saya sering dibuat gugup oleh keadaan semacam itu, saya mengeluarkan sebatang rokok dan meminjam korek api kepada barista. Belum sampai saya meraih korek api, seorang perempuan menyambarnya terlebih dahulu dan menawarkan: “Perlu bantuan, Mas?” Tanpa pikir panjang, saya sodorkan sebatang rokok di mulut ke arah korek di tangan perempuan itu.

Perempuan tadi duduk di belakang saya dan sedang menuturkan pesanan. Ia tidak sendiri, ada satu temannya yang berdiri karena kehabisan tempat duduk. Mengetahui hal itu, satu kursi yang saya tumpangi tas, saya tawarkan kepada perempuan yang berdiri. Sejak saya meluncurkan keramahan, kami mulai bertukar pembicaraan dan semakin akrab tanpa kesepakatan.

Keduanya merupakan mahasiswi di salah satu kampus di Jogja. Perempuan yang saya tawari tempat duduk berasal dari Banyuwangi, duduk di sebelah saya. Sedangkan satu sisanya mengenalkan diri sebagai suku Dayak, yang kemudian memilih duduk di depan saya. Sedangkan saya mengenalkan diri sebagai Andi, kebohongan yang lumrah saya praktekkan terhadap orang baru untuk berjaga-jaga.

Untuk memperlancar komunikasi, saya menawarkan rokok kepada keduanya. Ini juga biasa saya lakukan, karena pada dasarnya saya bukan penganut moralitas rigid yang menawarkan rokok dengan menyelidiki jenis kelamin terlebih dahulu. Namun keduanya menolak, dan salah satunya, sambil mengeluarkan bungkus rokok dari sakunya kemudian mencabut satu batang. Tanpa pikir panjang, saya membalas kesopanan perempuan Dayak tadi dengan memantikkan korek tanpa permisi.

Baca Juga:

Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

Mengapa Waktu Berlalu Cepat dan Bagaimana Mengendalikannya?

Al-Qur’an Tidak Membedakan Kesaksian Perempuan dan Laki-laki

Hal-hal yang Tak Kita Hargai, Sampai Hidup Mengajarkan dengan Cara yang Menyakitkan

Malam cukup cerah dengan bintik-bintik bintang yang mempertegas bahwa hujan tidak akan datang. Jelas tidak ada badai, tapi tiba-tiba saja kami membicarakan minuman beralkohol, yang bagi orang baru saling kenal termasuk langkah yang “radikal” dan nir-pertimbangan. Saya cukup yakin dua perempuan itu yang memilih tema ini.

Alkohol, menurut Russell Lemle dan March E. Mishkind (1989), telah menjadi identitas maskulin bagi laki-laki dan simbol kejahatan. Saya sendiri tidak memandang alkohol sebagai sesuatu yang mutlak negatif dan tidak ada manfaatnya sama sekali. Namun penyalahgunaan alkohollah yang membuatnya distigma oleh masyarakat. Di sisi lain, memang alkohol sering dijadikan sebagai alat pembuktian maskulinitas laki-laki, dan kekerasan yang menyertainya adalah puncak maskulinitas. Padahal, itu adalah bukti bahwa mereka sedang mempertunjukkan maskulinitas rapuh (fragile masculinity).

Dua perempuan yang berbincang dengan saya memaparkan buktinya. Keduanya mengatakan kalau alkohol sudah lama menjadi teman hidupnya dengan sambil menyebutkan berbagai merek, yang bahkan saya baru mengetahui ada merek-merek tersebut ketika keduanya sukarela mendiktekan satu per satu. Jelas bukan dakwaan moral yang meresahkan mereka, tapi laki-laki yang selalu memaksakan diri meminum lebih banyak alkohol sebagai pembuktian bahwa mereka lebih kuat.

Tidak cukup dengan banyak minum, tapi juga sebisa mungkin tidak mabuk. Jika kenyataannya laki-laki mengalami mabuk, sepandai mungkin harus menutupinya, seperti teman lelaki kedua perempuan tersebut. “Walaupun ditutup-tutupi, tetap saja kalau mabuk itu pasti ketahuan,” kata perempuan Dayak sambil memperagakan teman lelakinya yang mengangkat asbak ketika teleponnya berdering. “Ya, jelas dia mabuk. Tapi masih saja bilang tidak mabuk,” lanjutnya, kemudian saya menyumbang tawa.

Latar belakang mengonsumsi alkohol tidak tunggal: mencari kesenangan. Menurut Kenneth Mullen dkk. (2007), alkohol sering digunakan untuk pelarian dari tekanan pekerjaan yang kompetitif. Ini juga tidak terlepas dari peran gender laki-laki sebagai pencari nafkah utama dan merasa harus bertanggung jawab terhadap beban keluarga. Bagi laki-laki, dengan meminum alkohol mampu membuatnya lebih perkasa, tegas, dan membantu mereka menegosiasikan bahaya emosional.

Pada kenyataannya, negosiasi emosional hampir selalu gagal dan cenderung mencari pelampiasan emosional. Menurut dua perempuan tadi, teman lelakinya pernah memukul kekasihnya karena masalah hubungan. Dalam pengaruh alkohol atau tidak, tapi kecanduan alkohol (alkoholisme) dapat mengganggu relasi sosial dan kesehatan. 

Saya kembali mengingat dua tahun lalu dalam sebuah diskusi yang diadakan salah satu kafe di Jogja. Diskusi tentang perjuangan Zapatista dalam pendidikan, hak atas tanah, dan swaorganisasi, yang dipantik langsung oleh Victoria Alondra—seorang penyair dan aktivis dari Meksiko. Ia menyebutkan bahwa para perempuan Zapatista sering mengalami kekerasan setelah para lelakinya mabuk pasca-memperjuangkan hak.

Perjuangan revolusi pun akan menumbalkan perempuan jika tetap bersandar pada maskulinitas. Pada akhirnya, pada tahun 1983 perempuan Zapatista berhasil mengintervensi aturan di sana: dilarang mabuk dan melakukan tindak kekerasan. Sebab, bukan alkohol yang menjadi puncak pelampiasan lelahnya berjuang, tetapi perempuan, dan alkohol memperparahnya.

Langkah dua perempuan tadi sudah benar, mereka mengingatkan teman lelakinya untuk tidak memaksakan diri. Jika tidak kuat, tidak perlu menenggak habis satu botol wine. Lagipula, tidak ada cemoohan dari keduanya bagi lelaki yang hanya minum satu-dua sloki. Memang si lelaki mendapat cemoohan dari sesama laki-laki, dan alkohol adalah jalan mengkonter cemoohan itu. Dua perempuan itu menegaskan kalau hal-hal semacam itu tidak perlu diladeni, apalagi dengan alkohol, bisa merugikan diri sendiri dan orang di sekitarnya.

“Dia selalu mengeluarkan uang untuk mentraktir kita minum, padahal itu tidak perlu dan kami lebih suka iuran. Dia ingin membuktikan keloyalannya, tapi malah dimanfaatkan teman-temannya. Kasihan, apalagi masih SMA,” gerutu perempuan Dayak penuh sesal. Jelas saya menyepakatinya, itu pembuktian maskulinitas sia-sia. Dan boros, tentunya. []

Tags: AlkoholFeminitasgerakan perempuankekerasan terhadap perempuanlaki-lakimanusiamaskulinitas
Miftahul Huda

Miftahul Huda

Peneliti isu gender dan lingkungan.

Terkait Posts

Bangga Punya Ulama Perempuan

Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

20 Mei 2025
Aeshnina Azzahra Aqila

Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan

20 Mei 2025
Inspirational Porn

Stop Inspirational Porn kepada Disabilitas!

19 Mei 2025
Kehamilan Tak Diinginkan

Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial

18 Mei 2025
Noble Silence

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

17 Mei 2025
Suami Pengangguran

Suami Pengangguran, Istri dan 11 Anak Jadi Korban

16 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Bangga Punya Ulama Perempuan

    Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB dalam Pandangan Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan
  • KB dalam Pandangan Riffat Hassan
  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman
  • Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version