• Login
  • Register
Jumat, 1 Desember 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Maskulinitas Laki-laki dalam Seteguk Alkohol

Alkohol, menurut Russell Lemle dan March E. Mishkind (1989), telah menjadi identitas maskulin bagi laki-laki dan simbol kejahatan.

Miftahul Huda Miftahul Huda
11/06/2021
in Personal
0
suami

suami

143
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Warung kopi tempat saya duduk semula terlihat sepi, bahkan bunyi orkestra tonggeret bersahut-sahutan di seberang tanah lapang terdengar nyaring. Tidak lama kemudian, satu per satu pengunjung mulai berdatangan dan memenuhi warung yang sebenarnya sempit.

Karena semakin ramai, dan saya sering dibuat gugup oleh keadaan semacam itu, saya mengeluarkan sebatang rokok dan meminjam korek api kepada barista. Belum sampai saya meraih korek api, seorang perempuan menyambarnya terlebih dahulu dan menawarkan: “Perlu bantuan, Mas?” Tanpa pikir panjang, saya sodorkan sebatang rokok di mulut ke arah korek di tangan perempuan itu.

Perempuan tadi duduk di belakang saya dan sedang menuturkan pesanan. Ia tidak sendiri, ada satu temannya yang berdiri karena kehabisan tempat duduk. Mengetahui hal itu, satu kursi yang saya tumpangi tas, saya tawarkan kepada perempuan yang berdiri. Sejak saya meluncurkan keramahan, kami mulai bertukar pembicaraan dan semakin akrab tanpa kesepakatan.

Keduanya merupakan mahasiswi di salah satu kampus di Jogja. Perempuan yang saya tawari tempat duduk berasal dari Banyuwangi, duduk di sebelah saya. Sedangkan satu sisanya mengenalkan diri sebagai suku Dayak, yang kemudian memilih duduk di depan saya. Sedangkan saya mengenalkan diri sebagai Andi, kebohongan yang lumrah saya praktekkan terhadap orang baru untuk berjaga-jaga.

Untuk memperlancar komunikasi, saya menawarkan rokok kepada keduanya. Ini juga biasa saya lakukan, karena pada dasarnya saya bukan penganut moralitas rigid yang menawarkan rokok dengan menyelidiki jenis kelamin terlebih dahulu. Namun keduanya menolak, dan salah satunya, sambil mengeluarkan bungkus rokok dari sakunya kemudian mencabut satu batang. Tanpa pikir panjang, saya membalas kesopanan perempuan Dayak tadi dengan memantikkan korek tanpa permisi.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Seni Hidup Berdampingan dengan Orang yang Menyebalkan
  • Bukan Hanya Perempuan, Laki-laki juga Rentan Menjadi Korban Kekerasan Seksual
  • Memperingati Hari Guru dan Peran Penting Masing-masing Individu dalam Memajukan Pendidikan
  • Pentingkah Laki-laki Terlibat dalam Penghapusan Kekerasan Seksual?

Baca Juga:

Seni Hidup Berdampingan dengan Orang yang Menyebalkan

Bukan Hanya Perempuan, Laki-laki juga Rentan Menjadi Korban Kekerasan Seksual

Memperingati Hari Guru dan Peran Penting Masing-masing Individu dalam Memajukan Pendidikan

Pentingkah Laki-laki Terlibat dalam Penghapusan Kekerasan Seksual?

Malam cukup cerah dengan bintik-bintik bintang yang mempertegas bahwa hujan tidak akan datang. Jelas tidak ada badai, tapi tiba-tiba saja kami membicarakan minuman beralkohol, yang bagi orang baru saling kenal termasuk langkah yang “radikal” dan nir-pertimbangan. Saya cukup yakin dua perempuan itu yang memilih tema ini.

Alkohol, menurut Russell Lemle dan March E. Mishkind (1989), telah menjadi identitas maskulin bagi laki-laki dan simbol kejahatan. Saya sendiri tidak memandang alkohol sebagai sesuatu yang mutlak negatif dan tidak ada manfaatnya sama sekali. Namun penyalahgunaan alkohollah yang membuatnya distigma oleh masyarakat. Di sisi lain, memang alkohol sering dijadikan sebagai alat pembuktian maskulinitas laki-laki, dan kekerasan yang menyertainya adalah puncak maskulinitas. Padahal, itu adalah bukti bahwa mereka sedang mempertunjukkan maskulinitas rapuh (fragile masculinity).

Dua perempuan yang berbincang dengan saya memaparkan buktinya. Keduanya mengatakan kalau alkohol sudah lama menjadi teman hidupnya dengan sambil menyebutkan berbagai merek, yang bahkan saya baru mengetahui ada merek-merek tersebut ketika keduanya sukarela mendiktekan satu per satu. Jelas bukan dakwaan moral yang meresahkan mereka, tapi laki-laki yang selalu memaksakan diri meminum lebih banyak alkohol sebagai pembuktian bahwa mereka lebih kuat.

Tidak cukup dengan banyak minum, tapi juga sebisa mungkin tidak mabuk. Jika kenyataannya laki-laki mengalami mabuk, sepandai mungkin harus menutupinya, seperti teman lelaki kedua perempuan tersebut. “Walaupun ditutup-tutupi, tetap saja kalau mabuk itu pasti ketahuan,” kata perempuan Dayak sambil memperagakan teman lelakinya yang mengangkat asbak ketika teleponnya berdering. “Ya, jelas dia mabuk. Tapi masih saja bilang tidak mabuk,” lanjutnya, kemudian saya menyumbang tawa.

Latar belakang mengonsumsi alkohol tidak tunggal: mencari kesenangan. Menurut Kenneth Mullen dkk. (2007), alkohol sering digunakan untuk pelarian dari tekanan pekerjaan yang kompetitif. Ini juga tidak terlepas dari peran gender laki-laki sebagai pencari nafkah utama dan merasa harus bertanggung jawab terhadap beban keluarga. Bagi laki-laki, dengan meminum alkohol mampu membuatnya lebih perkasa, tegas, dan membantu mereka menegosiasikan bahaya emosional.

Pada kenyataannya, negosiasi emosional hampir selalu gagal dan cenderung mencari pelampiasan emosional. Menurut dua perempuan tadi, teman lelakinya pernah memukul kekasihnya karena masalah hubungan. Dalam pengaruh alkohol atau tidak, tapi kecanduan alkohol (alkoholisme) dapat mengganggu relasi sosial dan kesehatan. 

Saya kembali mengingat dua tahun lalu dalam sebuah diskusi yang diadakan salah satu kafe di Jogja. Diskusi tentang perjuangan Zapatista dalam pendidikan, hak atas tanah, dan swaorganisasi, yang dipantik langsung oleh Victoria Alondra—seorang penyair dan aktivis dari Meksiko. Ia menyebutkan bahwa para perempuan Zapatista sering mengalami kekerasan setelah para lelakinya mabuk pasca-memperjuangkan hak.

Perjuangan revolusi pun akan menumbalkan perempuan jika tetap bersandar pada maskulinitas. Pada akhirnya, pada tahun 1983 perempuan Zapatista berhasil mengintervensi aturan di sana: dilarang mabuk dan melakukan tindak kekerasan. Sebab, bukan alkohol yang menjadi puncak pelampiasan lelahnya berjuang, tetapi perempuan, dan alkohol memperparahnya.

Langkah dua perempuan tadi sudah benar, mereka mengingatkan teman lelakinya untuk tidak memaksakan diri. Jika tidak kuat, tidak perlu menenggak habis satu botol wine. Lagipula, tidak ada cemoohan dari keduanya bagi lelaki yang hanya minum satu-dua sloki. Memang si lelaki mendapat cemoohan dari sesama laki-laki, dan alkohol adalah jalan mengkonter cemoohan itu. Dua perempuan itu menegaskan kalau hal-hal semacam itu tidak perlu diladeni, apalagi dengan alkohol, bisa merugikan diri sendiri dan orang di sekitarnya.

“Dia selalu mengeluarkan uang untuk mentraktir kita minum, padahal itu tidak perlu dan kami lebih suka iuran. Dia ingin membuktikan keloyalannya, tapi malah dimanfaatkan teman-temannya. Kasihan, apalagi masih SMA,” gerutu perempuan Dayak penuh sesal. Jelas saya menyepakatinya, itu pembuktian maskulinitas sia-sia. Dan boros, tentunya. []

Tags: AlkoholFeminitasgerakan perempuankekerasan terhadap perempuanlaki-lakimanusiamaskulinitas
Miftahul Huda

Miftahul Huda

Peneliti isu gender dan lingkungan.

Terkait Posts

Qiraah Mubadalah

Menilik Pendekatan Tafsir Ala Qiraah Mubadalah

30 November 2023
Orang yang Menyebalkan

Seni Hidup Berdampingan dengan Orang yang Menyebalkan

30 November 2023
Anxiety

Menyikapi Anxiety dengan Romanticizing Life ala Stoicisme

29 November 2023
Mental Healty

Pentingnya Mental Healty bagi Gen Z di Era Society 5.0

27 November 2023
Penggerak Moderasi

Ini Ceritaku Belajar Toleransi dari Pelatihan Penggerak Moderasi Beragama

24 November 2023
People Pleaser

People Pleaser Jangan, Allah Pleaser Harus

22 November 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Anxiety

    Menyikapi Anxiety dengan Romanticizing Life ala Stoicisme

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menilik Pendekatan Tafsir Ala Qiraah Mubadalah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Fadilah Munawwaroh: Ulama Perempuan Muda yang Aktif Menyuarakan Bahaya Perkawinan Anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hadapi Tantangan Abad ke-2: Lakpesdam Menyelenggarakan Muktamar Pemikiran NU

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Seni Hidup Berdampingan dengan Orang yang Menyebalkan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Ini 4 Tips Mencegah Kekerasan Seksual Terjadi di Kampus
  • Bu Nyai Azizah, Sosok Wanita Inspiratif dari Tanah Semarang
  • 7 Langkah agar Korban Kekerasan Seksual Segera Pulih
  • Feminisida: Pelenyapan Nyawa yang tidak Netral Gender
  • Hadapi Tantangan Abad ke-2: Lakpesdam Menyelenggarakan Muktamar Pemikiran NU

Komentar Terbaru

  • Ainulmuafa422 pada Simple Notes: Tak Se-sederhana Kata-kata
  • Muhammad Nasruddin pada Pesan-Tren Damai: Ajarkan Anak Muda Mencintai Keberagaman
  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist