Mubadalah.id – Ada beberapa teman yang bertanya kepada saya tentang perjuangan kesetaraan gender di Indonesia. Dengan mimik wajah yang cukup serius dan penasaran – saya tahu bahwa mereka tak hanya sekedar basa-basi – mereka bertanya “Memangnya kesetaraan gender masih harus diperjuangkan ya? Saat ini kan akses yang ada sudah diberikan dengan setara, perempuan sudah bisa berkarir dan berpendidikan. Apalagi yang mesti diperjuangkan?”
Dalam sebuah kegiatan webinar, di mana saya kebetulan menjadi seorang narasumbernya, ada satu audiens yang juga bertanya mengenai hal demikian. Kalimatnya kira-kira seperti ini “Kak, memangnya kesetaraan gender itu masih perlu diperjuangkan ya? Kan sekarang kalau dilihat kita sudah setara”, ada juga yang bertanya seperti ini “Kak, bagaimana tanggapan kakak mengenai pendapat yang menganggap kita (perempuan) itu berlebihan, pinginnya diistimewakan?”
Saat ini memang sudah banyak peluang kesempatan yang bisa diambil, baik oleh laki-laki maupun perempuan. Kita bisa melihat tokoh-tokoh perempuan yang berkiprah di ruang publik, seperti beberapa menteri yang ada pada pemerintahan saat ini yaitu Ibu Sri Mulyani (Menteri Keuangan), Ibu Retno Marsudi (Menteri Luar Negeri), dan Ibu Trismaharini (Menteri Sosial). Kemudian, kita bisa melihat perempuan hebat yang berkiprah di dunia literasi seperti Najwa Shihab.
Dalam dunia pendidikan pun kita bisa melihat perempuan-perempuan yang menginspirasi seperti Maudy Ayunda, Cinta Laura Kiehl, dan Tasya Kamila. Namun, beberapa perempuan yang telah saya sebutkan sebelumnya dapat dikatakan sebagai perempuan “papan atas”. Mereka, dengan segala kapasitas yang memadai dan support system yang mendukung, dapat memanfaatkan segala peluang yang ada.
Tentunya bukan perkara mudah, tapi tak sesulit perempuan-perempuan yang memiliki banyak keterbatasan karena berbagai faktor. Kiranya, kehidupan perempuan tak dapat diukur melalui hal-hal yang terlihat cukup jauh dari realita kehidupan masyarakat di akar-rumput.
Memang tak ada yang mengatakan secara terang-terangan, atau ada peraturan hukum yang mengatakan bahwa perempuan tak boleh berpendidikan, perempuan tak boleh bekerja, atau pun hal-hal yang lainnya. Namun, nilai-nilai kehidupan masyarakat itu sendirilah yang seringnya membatasi perempuan untuk dapat memanfaatkan setiap peluang yang ada. Karena itulah, perjuangan mencapai kesetaraan gender masih perlu diperjuangkan.
Salah satu isu ketidakadilan gender yang menandakan bahwa upaya perjuangan kesetaraan gender perlu terus dilakukan yaitu terkait isu kekerasan seksual. Kekerasan seksual merupakan kekerasan berbasis gender dan relasi kuasa yang mesti disuarakan.
Jika kamu belum meyakini bahwa isu ini masih relevan untuk diperjuangkan, coba tanya perempuan yang ada di sekitarmu apakah mereka pernah mengalami kasus kekerasan seksual, entah itu pelecehan seksual seperti cat calling dan bullying, atau pemerkosaan. Lalu jumlahkan, mana yang lebih banyak; mereka yang mengalami atau tidak.
Komnas Perempuan menyampaikan dalam Catatan Akhir Tahun 2021 (CATAHU 2021), meskipun kasus yang dilaporkan pada tahun 2020 menurun sebesar 31%, data tersebut tak dapat melegitimasi bahwa kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang terjadi memang menurun.
Berdasarkan hasil survey Komnas Perempuan tentang dinamika kekerasan terhadap perempuan di masa pandemi, penurunan jumlah kasus disebabakan oleh beberapa faktor yaitu korban tidak berani melapor, karena dekat dengan pelaku selama masa pandemi (PSBB), dan korban cenderung mengadu kepada keluarga atau diam, persoalan literasi teknologi, dan model layanan pengaduan yang belum siap dengan kondisi pandemi.
Selain tentang kekerasan seksual, isu lain yang juga menandakan perjuangan kesetaraan gender perlu dilakukan yaitu belum terpenuhinya hak-hak pekerja perempuan. Jika perempuan dianggap ingin diistimewakan karena para aktivis perempuan kerap kali menuntut hak-hak pekerja perempuan seperti cuti haid dan melahirkan yang tertuang dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang harus diberikan kepada perempuan, itu adalah sebuah sikap yang buruk.
Pemberian hak-hak tersebut bukan karena perempuan ingin diistimewakan dan dinomor-satukan, tetapi hak tersebut harus diberikan karena keadaan biologis perempuan. Perempuan memiliki pengalaman khas biologis yang tak bisa dialami oleh laki-laki yaitu menstruasi, mengandung, melahirkan, dan menyusui.
Kemudian, upah untuk pekerja perempuan juga belum sebanding dengan beban kerja dan cenderung dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Upah perempuan lebih rendah dari laki-laki karena perempuan dianggap sebagai second-person; pekerja tambahan. Berdasarkan data BPS, tentang hasil Sakernas 2018 rata-rata upah perempuan berada di bawah upah laki-laki. Rerata laki-laki sebesar 3,06 juta rupiah, sedangkan perempuan hanya sebesar 2,4 juta rupiah.
ILO yang merupakan organisasi buruh internasional menyampaikan bahwa perempuan sulit mendapatkan pekerjaan. Sri Mulyani yang merupakan Menteri Keuangan pun menyampaikan hal demikian. Menurutnya, sejumlah pekerjaan masih diidentikkan dengan pekerjaan laki-laki dan perempuan masih mengalami banyak stigma yang melekat di masyarakat.
Perempuan dianggap tenaga kerja sekunder, peran perempuan sebagai Ibu menyebabkan perempuan memiliki tanggungjawab penuh terhadap tugas rumah tangga, karena begitulah budaya yang mengakar di masyarakat, akhirnya terjadi multi beban terhadap perempuan.
Terakhir adalah isu perkawinan anak perempuan yang jumlahnya terus meningkat, yang juga menandakan bahwa kesetaraan gender harus diperjuangkan. Dalam CATAHU 2021, kasus perkawinan anak meningkat 3 kali lipat. Pada tahun 2019 ada sebanyak 23.126 kasus, naik pada tahun 2020 menjadi 64.211 kasus.
Perkawinan anak perempuan tentunya disebabkan oleh beragam faktor. Namun, yang perlu diperhatikan adalah perkawinan anak perempuan mengakibatkan terkuranginya pemenuhan hak-hak anak sebagai manusia, salah satunya adalah menempuh pendidikan.
Terhambatnya pemenuhan hak-hak bagi anak perempuan akan menimbulkan efek bola salju. Akan ada banyak permasalahan-permasalahan baru yang muncul seperti kekerasan dalam rumah tangga, kemiskinan, perceraian, dsb.
Masih ada banyak isu yang bisa menjadi dasar bahwa upaya perjuangan kesetaraan gender masih perlu dilakukan, bahkan di tengah terbukanya peluang kesempatan bagi perempuan. Pertanyaan tentang “Apakah perjuangan mencapai kesetaraan gender masih harus dilakukan?” kiranya perlu untuk terus diajukan sebagai refleksi bersama-sama. Isu-isu ini juga perlu disebarluaskan dan disosialisasikan terus-menerus agar semakin banyak yang sadar bahwa kesetaraan gender perlu dicapai dan masih harus diperjuangkan. []