Momen bebasnya pelaku kekerasan mampu menghadirkan kembali trauma pada korban. Maka setiap upacara pembebasan pelaku kekerasan merupakan suatu bentuk ketidak empati-an terhadap korban.
Mubadalah.id – Meskipun sudah selesai menjalani hukumannya di penjara, pelaku yang melakukan perayaan atas kebebasan dirinya dianggap tidak menunjukkan rasa penyesalan terhadap apa yang dilakukannya. Keluar penjara dengan wajah bahagia (baca: b-a-n-g-g-a). Berkalung rangkaian bunga seperti atlet olahraga nasional yang disambut pulang ke negaranya. Berdiri di atas mobil terbuka sembari berdiri melambaikan tangannya merupakan sebagian contohn perayaannya.
Terlebih apabila muncul narasi berita terkait pelaku yang menjadi sorotan media. Suatu tindakan yang tidak menunjukkan empati pada korban. Seolah pelaku ini tidak bersalah dan justru sebuah tindakan victim blaming, dampak dari profesi keartisannya.
Negara kita sepertinya dalam kondisi darurat kekerasan. Pelaku kekerasan seolah dibela perilakunya. Dibenarkan perbuatannya. Andai memahami bagaimana korban menghadapi traumanya, dan memiliki sedikit empati.
Angka kekerasan seksual pada laki-laki memang tidak sebanyak kasus yang menimpa terhadap perempuan. Terlebih tidak ada unit khusus dalam penanganannya seperti unit perlindungan anak dan perempuan. Bahkan melaporkan kasus kekerasan dianggap suatu hal yang tabu, dianggap kurang gentleman, bahwa laki-laki tidak bisa melindungi dirinya sendiri. Jadi para korban akan berpikir ulang untuk melaporkan kasusnya.
Toxic masculinity termasuk menjadi penyebab korban banyak yang tidak melaporkan kasusnya, menghadapi traumanya secara sembunyi dan sendirian. Di Korea, sekali tersandung skandal pada artis sebagai pelaku kekerasan, maka akan hancur kariernya. Di Indonesia, pelaku masih bisa muncul di acara televisi sebagai bintang tamu.
Dampak psikologis dari tindak kekerasan tidak sesederhana pemikiran masyarakat umum. Begitu psikologis korban terkena dampaknya, maka pola pikir korban perlahan-lahan berubah dan mempengaruhi ke berbagai hal. Mulai dari cara berpikir terhadap sesuatu menjadi negatif, emosi yang tidak stabil, hingga depresi.
Dampak tersebut dapat dikatakan sebagai suatu jenis trauma pasca kejadian. menyebabkan ketakutan dan kecemasan berlebihan sebagai akibat dari otak yang tanpa sengaja akan mengingat kekerasan yang pernah dialami.
Kemungkinan paling kecil dan paling ringan dari seorang yang depresi adalah tindakan selfharm atau menyakiti diri sendiri. Entah itu mengiris anggota tubuhnya dengan silet, pisau, gunting, dan lain sebagainya. Kemungkinan terburuk dari orang depresi adalah keputusan untuk mengakhiri hidup atau bunuh diri.
Upaya Penanggulangan Tindak Kekerasan Seksual harusnya bersifat preventif, yaitu melindungi terhadap sesama. Maka menanggulangi faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan kekerasan. Contoh melarang pelaku berprofesi artis untuk dilarang kembali muncul di televisi. Empati masyarakat terhadap korban pun dibuktikan dengan kesediaan ribuan masyarakat untuk mengisi petisi guna memboikot artis tersebut.
Membiarkan pelaku kekerasan kembali tampil di televisi merupakan suatu tindakan kekerasan secara tidak langsung. Karena korban akan lebih sulit menyembuhkan luka batinnya. Dimana pun dia bersembunyi, topik keberadaan pelaku terutama sebagai public figure, maka akan mudah menjadi gosip hangat untuk dibicarakan.
Petisi boikot tersebut juga sebagai upaya dalam rangka merawat nalar publik. Dengan tidak memberikan power atau kekuasaan kepada pelaku. Dalam konteks ini, saluran televisi milik frekuensi publik adalah sumber kekuatan tersebut.
Public figure tentu mendapatkan popularitas, uang dan pengikut. Seorang pelaku pelecehan seksual dipuja-puja dan diperlakukan bak pahlawan. Popularitas, uang dan pengikut tersebut yang membuat korban lainnya takut bersuara pada apa yang dialaminya jika terjadi peristiwa serupa atau berulang.
Sementara televisi mendapatkan laba dari iklan. Stasiun televisi membuat program acara talkshow untuk mendramatisasi kehidupan artis saat menjalani hukumannya di penjara. Drama tersebut yang mendatangkan laba berlimpah. Maka stasiun televisi tersebut memiliki peran dalam melanggengkan tradisi pelecehan seksual.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) harus turut andil melarang dengan tegas pelaku kekerasan memiliki program di televisi. Upaya secara komprehensif juga dapat direalisasikan dengan cara memberikan masyarakat tayangan yang sehat dan edukatif. Maka KPI selaku pihak yang berwenang dalam mengatur program siaran televisi harus memahami hal ini.
Idealnya, KPI-lah yang mengawali dalam memberikan patroli terkait program-program yang akan tayang di televisi. Memberikan program tayangan yang lebih berkualitas pada pemirsa pecinta televisi. []