• Login
  • Register
Rabu, 21 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Meminimalisir Diskriminasi Dalam Penyelesaian Sengketa Hak Asuh Anak

Selain tingginya angka perceraian, yang juga marak terjadi adalah penyelesaian sengketa hak asuh anak yang diskriminatif

Misbahul Huda Misbahul Huda
12/10/2023
in Keluarga
0
Hak Asuh Anak

Hak Asuh Anak

1.1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Beberapa bulan yang lalu saya menjadi penguji skripsi seorang mahasiswi STAI Al-Hikmah 2 Brebes. Skripsinya menarik. Salah satu data penelitian yang ia temukan misalnya. Dari 24 pasangan yang bercerai di tiga Desa di Kecamatan Sirampog Brebes, hanya dua pasangan yang sesekali memberikan nafkah kepada anaknya.

Mengapa hal demikian bisa terjadi? tentu salah satunya karena  putusan hakim tidak mencantumkan klausul kewajiban mantan suami tentang nafkah anak pasca cerai. Putusan semacam ini diskriminatif karena mengakibatkan kerugian bagi istri. Istri harus menanggung sepenuhnya biaya pendidikan anak dan kebutuhan hidup lainnya, sementara suami tidak.

Berdasar data Laporan Statistik Indonesia, tercatat sebanyak 516.334 perkara perceraian terjadi di Indonesia pada tahun 2022. Terjadi peningkatan sebanyak 15,31% dari tahun sebelumnya, di mana pada tahun 2021 terdapat 447.743 kasus perceraian. Bahkan, jumlah perceraian di Indonesia pada tahun 2022 mencapai puncak tertinggi dalam enam tahun terakhir.

Tetapi selain tingginya angka perceraian, yang juga marak terjadi adalah penyelesaian sengketa hak asuh anak yang diskriminatif. Karena itu, usaha untuk menghilangkan praktik penyelesaian sengketa hak asuh anak yang diskriminatif, atau setidaknya meminimalisir praktik diskriminatif menjadi penting juga.

Pentingnya Memahami Substansi Hukum

Agar tidak diskriminatif, maka dalam memutus perkara perceraian, penting bagi penegak hukum (hakim dan pengacara) untuk mempertimbangkan dengan cermat substansi hukum perkawinan (legal substancy) yang terkait dengan hak dan kewajiban pasca cerai. Substansi hukum mencakup materi hukum yang ada dalam undang-undang seputar perkawinan.

Baca Juga:

Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

Penegak hukum idealnya memahami dan mempertimbangkan substansi hukum terkait hak anak pasca cerai terutama Pasal 41 huruf (a dan b) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 24 ayat 2 PP No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974. Dan Pasal 78 UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Selain itu, Pasal 156 KHI Inpres No. 1 Tahun 1991. Dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Penegakan Hukum terhadap Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.

Berbeda dengan Indonesia, beberapa negara muslim misalnya mengatur masalah hak asuh anak secara terperinci. Dan memberikan penjelasan  mengenai orang tua siapa (ayah atau ibu) yang lebih berhak mendapat hak asuh.

Hukum Indonesia mengaturnya dengan terlalu ringkas dan umum, sehingga meninggalkan kelonggaran besar untuk interpretasi yudisial dan pengenaan seleksi subyektif dari doktrin hukum Islam klasik. Sehingga pada banyak kasus perempuan lebih sering dirugikan.

Maka mempertimbangkan Maqasid ash-Syariah adalah juga sebuah keniscayaan. Salah satu Maqasid ash-Syariah perceraian misalnya untuk mencegah terjadinya mafsadat yang lebih besar. Bertujuan untuk melindungi hak-hak suami dan istri.

Juga mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak (Hifdz an-Nasl), dalam arti hak asuh anak akan jatuh kepada siapa, sangat tergantung apakah itu merupakan keputusan terbaik bagi anak atau tidak.

Pertimbangan Kemampuan Finansial Suami Istri

Memeriksa pendidikan, pekerjaan, dan kemampuan finansial suami dan istri juga membantu hakim dalam membuat keputusan yang lebih adil berdasarkan fakta dan data yang relevan. Pemeriksaan tersebut juga memiliki dampak yang signifikan terhadap pertimbangan nafkah, dan hak-hak lainnya.

Pemeriksaan ini membantu memastikan adanya keadilan, kesetaraan, dan perlindungan terhadap hak-hak istri. Dalam Islam, suami memiliki tanggung jawab memberikan nafkah kepada istri dan keluarganya. Oleh karena itu, pemeriksaan ini juga mengakui pentingnya tanggung jawab suami dalam memberikan nafkah kepada istri dan anaknya setelah perceraian.

Euis Nurlaelawati (2016) dalam “The Legal Fate of Indonesian Muslim Women in Court Divorce and Child Custody” mengungkap, bahwa banyak putusan mengenai hak asuh anak dari pengadilan yang seringkali tidak dieksekusi, karena ketiadaan kekuatan finansial istri atau persuasif yang lebih besar dari pihak suami.

Salah satu jalan keluarnya kemudian pihak istri mengajukan eksekusi kepada pengadilan. Tetapi kemudian pengadilan juga mengatakan bahwa sulit untuk mengeksekusi putusan, karena anak tidak seperti barang yang bisa diambil begitu saja secara paksa.

Pengasuhan anak adalah hal penting dalam kasus perceraian. Kemampuan keuangan suami dan istri dapat mempengaruhi keputusan mengenai siapa pemegang hak asuh anak. Demi kepentingan terbaik bagi anak, hakim perlu memutuskan pengasuhan anak berdasar kondisi keuangan suami dan istri, terutama ketika suami adalah pencari nafkah utama.

Bahasa yang Ramah Gender dan Ramah Anak

Semua pihak yang terlibat dalam persidangan sebaiknya menggunakan bahasa yang ramah gender dan ramah anak. Hakim tidak boleh memberikan stereotip gender tertentu, serta menghindari pernyataan yang merendahkan atau mempersempit peran seseorang berdasarkan jenis kelamin.

Saat anak-anak terlibat dalam proses peradilan, baik sebagai saksi, korban, atau pihak terlibat. Penting juga untuk menghadirkan lingkungan yang aman dan mendukung. Hakim dapat menunjukkan perhatian, empati, dan sensitivitas terhadap perasaan anak. Tidak boleh ada tekanan dan intimidasi pada anak yang dapat mempengaruhi kejujuran atau kebenaran kesaksian mereka untuk menghindari viktimisasi atau reviktimisasi.

Menggunakan bahasa yang ramah gender dan ramah anak merupakan komitmen untuk menciptakan lingkungan peradilan yang setara dan manusiawi. Bahasa memiliki kekuatan untuk membentuk persepsi dan pengalaman individu dalam proses hukum.

Perspektif gender hakim dapat mempengaruhi pemilihan bahasa yang bisa menjadi diskriminatif atau adil tanpa memandang jenis kelamin atau usia, akan merasa dihormati, didengarkan, dan diperlakukan dengan adil.

Penetapan Hak Asuh Anak Tanpa Diskriminasi

Ada banyak solusi untuk menyelesaikan perebutan hak asuh anak, seperti melalui arbitrasi, mediasi, atau bahkan konsiliasi. Penyelesaian sengketa hak asuh anak lewat pengadilan bukan satu-satunya solusi. Pergi ke pengadilan untuk memperebutkan hak asuh anak dapat secara terpaksa dilakukan jika semua solusi telah ditempuh namun ternyata tidak menyelesaikan sengketa.

Maka dalam hal ini, melibatkan banyak pendekatan solusi di luar hukum adalah keniscayaan. Tidak melulu menggunakan pendekatan hukum dengan menyelesaikan sengketa lewat pengadilan. Dengan hanya menempuh solusi lewat pengadilan, alih-alih tujuan semula adalah mencegah kemafsadatan yang lebih besar, melindungi hak suami istri, dan kepentingan terbaik untuk anak. Yang terjadi justru masalah menjadi besar dan berlarut-larut.

Tetapi ketika penyelesaian sengketa hak asuh benar-benar hanya dapat diselesaikan lewat pengadilan. Maka semua pihak, terutama penegak hukum, harus memastikan agar penyelesaian sengketa terjadi tanpa ada diskriminasi.

Salah satunya dengan mempertimbangkan aspek keadilan (dengan memahami substansi hukum), sensitivitas atau kesetaraan gender (melalui perspektif dan bahasa yang ramah gender), perlindungan dalam proses hukum (dalam bentuk pertimbangan terhadap kondisi keuangan suami istri), dan kepentingan terbaik bagi anak. []

 

Tags: Hak anakHak asuh anakkeluargapengasuhanperceraianperkawinan
Misbahul Huda

Misbahul Huda

Misbahul Huda, Dosen STAI Al Hikmah 2 Brebes

Terkait Posts

Kekerasan Seksual Sedarah

Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

19 Mei 2025
Keberhasilan Anak

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

17 Mei 2025
Pendidikan Seks

Pendidikan Seks bagi Remaja adalah Niscaya, Bagaimana Mubadalah Bicara?

14 Mei 2025
Mengirim Anak ke Barak Militer

Mengirim Anak ke Barak Militer, Efektifkah?

10 Mei 2025
Menjaga Kehamilan

Menguatkan Peran Suami dalam Menjaga Kesehatan Kehamilan Istri

8 Mei 2025
Ibu Hamil

Perhatian Islam kepada Ibu Hamil dan Menyusui

2 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Bangga Punya Ulama Perempuan

    Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB dalam Pandangan Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menyusui Anak dalam Pandangan Islam
  • Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan
  • KB dalam Pandangan Riffat Hassan
  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version