• Login
  • Register
Selasa, 10 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Mendiskusikan Kembali Perempuan sebagai Madrasah Pertama Bagi Anak

Tentunya dengan berprinsip pada relasi kesalingan yang tidak saling mendiskreditkan satu sama lain, pola asuh anak hendaknya dapat dikomunikasikan bersama-sama.

Muhammad Nasruddin Muhammad Nasruddin
26/06/2023
in Keluarga
0
Perempuan sebagai Madrasah Pertama bagi anak

Perempuan sebagai Madrasah Pertama bagi anak

806
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Dalam beberapa kesempatan saya sering mendengar bahwa perempuan itu madrasah pertama bagi anak. Nasihat seperti ini sering saya dengarkan baik dalam ceramah, video motivasi, maupun dalam kelas-kelas pembelajaran.

Saya kira kalimat tersebut memang sudah masyhur dan banyak diamini oleh khalayak luas. Terus mana yang salah?

Di sini saya tidak ingin berkata benar atau salah. Dulu saya juga mengamini bahwa perempuan memang madrasah pertama bagi anak. Namun seiring berjalannya waktu, saya ingin sedikit membincang kembali soal kalimat tersebut.

“Maaf mas, kalimat kayak gitu aja kok ribut, sih?”

Saya bukan bermaksud untuk berdebat atau iri hanya karena saya laki-laki. Dan tulisan ini mungkin juga tidak begitu penting untuk seputar isu keperempuanan.

Baca Juga:

Perempuan yang Terlupakan di Balik Ritual Agung Haji

Siti Hajar dan Kritik atas Sejarah yang Meminggirkan Perempuan

Jalan Tengah untuk Abah dan Azizah

Spirit Siti Hajar dalam Merawat Kehidupan: Membaca Perjuangan Perempuan Lewat Kacamata Dr. Nur Rofiah

Hanya saja nasihat tersebut saya kira ada yang janggal. Keresahan saya ini mungkin adalah sebuah dampak dari proses penulisan skripsi saya yang mengkaji tentang tradisi komunikasi dengan perspektif analisis wacana kritis.

Analisis Wacana Kritis

Sebagai bagian dari paradigma kritis, analisis wacana merupakan sebuah pendekatan yang berusaha membongkar kuasa yang berada di balik sebuah teks, baik lisan maupun tulisan.

Paradigma ini melihat bahwa sebuah teks tidak sekadar untuk menyampaikan pesan semata. Teks menjadi alat pertarungan kekuasaan dalam memperebutkan wacana tertentu.

Dengan demikian, sebuah teks dapat merepresentasikan ideologi dan relasi kuasa dari si pembuat teks untuk memengaruhi bahkan memarjinalkan suatu kelompok. Oleh karena itu, analisis wacana kritis tidak akan terlepas dari konteks sosial untuk dapat mengetahui makna sebuah wacana yang ingin disampaikan.

Melihat Konteks

Baik, sekarang kita kembali ke topik perempuan sebagai Madrasah pertama bagi anak. Jika nasihat tersebut digunakan oleh seorang motivator maupun penceramah untuk memotivasi perempuan supaya meningkatkan value diri itu sah-sah saja.

Karena perempuan adalah madrasah pertama bagi anak, maka perempuan setidaknya punya motivasi tinggi untuk terus upgrade diri. Baik secara intelektual, emosional, dan spiritual.

Upgrade diri tidak hanya seputar pendidikan, karena timpangnya akses pendidikan di Indonesia memang masih begitu terasa, khususnya di kalangan akar rumput.

Saya sendiri yakin bahwa untuk meningkatkan value diri tidak hanya terbatas pada bangku sekolah formal saja. Justru, menurut Prof. Renald Kasali, alam sekitar adalah universitas terbesar yang banyak memberikan pelajaran berharga kepada setiap individu. Tentu semua itu tergantung pada mindset.

Nah, dalam konteks ini perempuan sebagai madrasah pertama bagi anak adalah  motivasi yang tepat bagi perempuan untuk mendapatkan hak-hak yang setara dengan laki-laki.

Keresahan saya terhadap penggunaan kalimat tersebut setidaknya karena dua hal. Pertama karena budaya patriarki, kedua perbedaan kondisi keluarga.

Budaya Patriarki

Kita semua tahu bahwa budaya patriarki untuk beberapa daerah masih terasa begitu kuat. Posisi perempuan masih dianggap sebagai warga kelas dua yang tugasnya hanya berkutat pada masalah domestik saja.

Saya hanya berandai-andai bagaimana jika nasihat tersebut malah digunakan untuk menjatuhkan posisi perempuan.

Penggunaan kalimat perempuan sebagai Madrasah pertama bagi anak, saya khawatirkan akan menjadi legitimasi terhadap domestikasi perempuan.

Maksud saya begini, hanya karena kalimat tersebut lantas menjadi landasan bagi laki-laki untuk memaksakan suatu keputusan.

“Kamu kan madrasah pertama bagi anak, jadi jangan kemana-mana. Cukup urus anak kita di rumah!” Misalnya. Pemikiran seperti ini tentu malah membatasi ruang gerak perempuan ketika ia telah berkeluarga.

Memang dalam hal ini yang perlu kita edukasi adalah laki-lakinya. Perempuan sebagai madrasah pertama bagi anak bukan berarti semua urusan terkait kepengasuhan  dilimpahkan kepada perempuan. Laki-laki hendaknya juga turut mengambil peran.

Perbedaan Kondisi keluarga

Tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua anak merasakan kehangatan ibunya. Kondisi keluarga broken home yang tidak menemukan solusinya kerap kali berujung pada perceraian.

Selama tahun 2022, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan bahwa sejumlah 3.172.498 atau sekitar 4,79 persen dari keluarga yang terdata di Indonesia pernah mengalami konflik cerai hidup.

Penyebabnya antara lain kurangnya keharmonisan, faktor ekonomi, tidak adanya tanggung jawab, serta hadirnya pihak ketiga. Tentu dari konflik ini tidak sedikit dari hak pengasuhan anak yang kemudian diberikan kepada laki-laki atau pihak keluarga lainnya.

Sementara itu gagalnya persalinan yang dapat menyebabkan kematian juga menjadi permasalahan tersendiri. Dengan demikian hak pengasuhan anak akan menjadi tanggung jawab bagi laki-lakinya.

Keluarga adalah Madrasah Pertama Bagi Anak

Dari sini kita dapat memahami bahwa laki-laki juga bertanggungjawab terhadap kepengasuhan anak. Saya lebih setuju jika menyebut “Keluarga adalah madrasah pertama bagi anak.”

Dalam konteks ini, hak kepengasuhan anak adalah tanggung jawab bersama baik suami maupun istri. Laki-laki dan perempuan yang telah berkeluarga memegang hak penuh dalam menentukan pola asuh anak untuk memelihara, merawat, dan mendidik anaknya .

Tentunya dengan berprinsip pada relasi kesalingan yang tidak saling mendiskreditkan satu sama lain, pola asuh anak hendaknya dapat dikomunikasikan bersama-sama. Dengan demikian, bukan hanya perempuan yang menjadi madrasah pertama bagi anak, namun lingkungan keluarga, termasuk laki-laki memegang peran penting dalam membentuk madrasah pertama bagi pendidikan si anak.

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa bukan masalah benar tidaknya nasihat “Perempuan sebagai Madrasah pertama bagi anak.” Namun kembali kembali lagi, semua tergantung pada konteks dan mindset bagi siapa saja yang mencerna nasihat tersebut. Gitu aja kok repot. Hehehe. []

Tags: keluargakepengasuhan anakmadrasah pertamaperempuan
Muhammad Nasruddin

Muhammad Nasruddin

Alumni Akademi Mubadalah Muda '23. Dapat disapa melalui akun Instagram @muhnasruddin_

Terkait Posts

Najwa Shihab dan Ibrahim

Najwa Shihab dan Ibrahim: Teladan Kesetaraan dalam Pernikahan

26 Mei 2025
Program KB

KB: Ikhtiar Manusia, Tawakal kepada Allah

23 Mei 2025
Alat KB

Dalil Agama Soal Kebolehan Alat KB

22 Mei 2025
Kekerasan Seksual Sedarah

Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

19 Mei 2025
Keberhasilan Anak

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

17 Mei 2025
Pendidikan Seks

Pendidikan Seks bagi Remaja adalah Niscaya, Bagaimana Mubadalah Bicara?

14 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Haji yang

    Perempuan yang Terlupakan di Balik Ritual Agung Haji

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menyemai Kasih Melalui Kitab Hadis Karya Kang Faqih

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam dan Kemanusiaan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Prinsip Keadilan Sosial dalam Ajaran Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Refleksi Hari Raya Iduladha: Setiap Kita Adalah Ibrahim, Setiap Ibrahim punya Ismail

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Mengenal Devotee: Ketika Disabilitas Dijadikan Fetish
  • Perempuan yang Terlupakan di Balik Ritual Agung Haji
  • Menyemai Kasih Melalui Kitab Hadis Karya Kang Faqih
  • Islam dan Kemanusiaan
  • Refleksi Hari Raya Iduladha: Setiap Kita Adalah Ibrahim, Setiap Ibrahim punya Ismail

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID