• Login
  • Register
Senin, 19 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Mendobrak Mitos: Perempuan dalam Belenggu Hedonisme

Paradigma laki-laki sebagai pembelanja utilitarian, menjadikan perempuan terpinggirkan dalam anggapan sebagai pembelanja hedonis

Sifin Astaria Sifin Astaria
20/07/2023
in Personal
0
Mendobrak Mitos

Mendobrak Mitos

1.2k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id –Sebuah film klasik “Confessions of a Shopaholic” dengan gamblang menggambarkan fenomena stereotip materialistis perempuan. Yakni dengan representasi tokoh utama Rebecca. Dia adalah seorang perempuan muda yang memiliki adiksi belanja akut. Berkaca dari film ini, kita harus mendobrak mitos hedonisme yang membelenggu perempuan.

Meski terjebak dalam masalah finansial, secara impulsif Rebecca tidak bisa mengendalikan diri untuk tidak membeli sepatu Gucci atau baju Marc Jacobs. Dengan sedikit saja memberi promo iklan, seorang pramuniaga toko akan mendapat jackpot hingga Rebecca terlilit hutang ribuan dollar.

Lewat film tersebut, perempuan seringkali terasosiasikan dengan kebiasaan pengeluaran belanja yang buruk. Fenomena ini tentu tidak lepas dari pelanggengan budaya dan media yang memotret perempuan sebagai makhluk impulsif. Di mana dia tidak bisa mengendalikan diri untuk berbelanja hal-hal remeh.

Melihat Motif Belanja Perempuan

Paradigma laki-laki sebagai pembelanja utilitarian, menjadikan perempuan terpinggirkan dalam anggapan sebagai pembelanja hedonis.

Stereotip utilitarian menganggap bahwa laki-laki melakukan aktivitas belanja karena adanya kebutuhan untuk membeli sesuatu. Sedangkan stereotip belanja hedonis menunjukkan perempuan memiliki motif “kesenangan” saat berada di toko dan menyukai proses belanja tersebut walaupun tidak sedang bertujuan membeli sebuah kebutuhan.

Baca Juga:

Ketika Sejarah Membuktikan Kepemimpinan Perempuan

Qiyas Sering Dijadikan Dasar Pelarangan Perempuan Menjadi Pemimpin

Membantah Ijma’ yang Melarang Perempuan Jadi Pemimpin

Tafsir Hadits Perempuan Tidak Boleh Jadi Pemimpin Negara

Anggapan ini dapat kita tarik pada asumsi dikotomi gender yang merujuk pada sifat-sifat maskulin dan feminin. Sehingga dikotomi ini seringkali melahirkan bibit ketidakadilan yang menyasar kepada laki-laki maupun perempuan.

Ketidakadilan tersebut bisa terlihat dalam manifestasi bentuk-bentuk kekerasan yang berakibat pada pengunggulan salah satu sifat dan peminggiran terhadap bentuk oposisinya.

Sifat maskulinitas yang melekat kepada laki-laki dianggap lebih unggul daripada feminitas perempuan. Hal ini melahirkan asumsi bahwa sifat yang melekat pada laki-laki merupakan standar utama bagi kelompok lainnya.

Pada tataran alam bawah sadar, sifat rasionalitas yang melekat kepada laki-laki tentu saja akan meminggirkan nilai sisi emosional perempuan. Sehingga hal tersebut kita lihat sebagai sebuah keburukan.

Pada kasus ini, fenomena tersebut menggiring citra bahwa motif belanja pada perempuan semata-mata hanya sebagai sarana rekreasi yang merujuk pada sikap boros secara finansial. Perempuan seringkali kita anggap lebih sering mengakumulasi sisi emosional dalam memutuskan alokasi pembelanjaan yang berujung pada sikap impulsif untuk membeli barang-barang “remeh”.

Menelisik Mitos Keuangan

Sebuah survei pada tahun 2020 di Amerika menunjukkan bahwa rata-rata secara keseluruhan laki-laki menghabiskan biaya 35.000 dolar Amerika per tahun untuk kebutuhan pribadi. Jumlah ini sedikit lebih banyak daripada perempuan yang berkisar pada angka 33.000 dolar Amerika per tahun.

Secara keseluruhan laki-laki mengalokasikan dana dua kali lipat pada makanan, alkohol, dan kendaraan dibanding perempuan. Sementara itu perempuan menghabiskan lebih sedikit pada alokasi kebutuhan sehari-hari dan harga kendaraan. Hanya saja, rata-rata biaya membengkak pada sektor pakaian dan perawatan pribadi.

Berdasarkan survei tersebut tentu dapat disimpulkan bahwa secara garis besar tidak ada perbedaan yang signifikan antara nilai kebiasaan konsumsi laki-laki dan perempuan. Data tersebut mematahkan justifikasi stereotip materialistis di antara keduanya.

Masing-masing golongan memiliki berat pos pengeluaran yang berbeda. Sayangnya, alokasi pos keuangan perempuan yang banyak berkutat pada lifestyle melekat pada asosiasi jenis kebutuhan remeh. Hal ini berakibat pada anggapan keliru yang kita potret sebagai masalah finansial.

Permasalahan ini juga perlu kita telisik lebih jauh dengan kacamata struktural. Yakni dengan asumsi bahwa sikap impulsivitas belanja perempuan yang merupakan akibat dari ketidakmampuannya bersikap rasional. Hal itu bisa jadi merupakan permasalahan sistemik yang menjebak perempuan dalam belenggu ketidakadilan

Perempuan Harus Melek Literasi Keuangan

Berdasarkan data, perempuan lebih pasif dalam melakukan perencanaan finansial. Menurut Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan tahun 2019 oleh OJK, literasi keuangan perempuan berada pada angka 34%. Angka ini lebih rendah dibanding laki-laki yang berkisar di angka 39%.

Literasi keuangan berarti kemampuan individu dalam membaca, memahami, serta mengatur hal-hal yang berkaitan dengan masalah keuangan. Hal ini tentu menjadi faktor yang sangat penting bagi individu untuk bersikap dewasa dalam mengalokasikan pos finansial di kehidupan modern.

Secara struktural, banyak ditemukan perempuan yang sulit mendapatkan akses untuk meraih edukasi keuangan. Sektor pekerja informal yang terdominasi oleh perempuan menjadi salah satu celah terbesar rendahnya persentase keterampilan keuangan perempuan dalam data.

Dalam konteks kedewasaan pengelolaan finansial individu, edukasi menjadi faktor utama yang tidak dapat kita sangkal. Rendahnya tingkat pendidikan serta jaminan sosial maupun finansial yang absen pada sektor pekerja informal merujuk pada sulitnya akses perempuan untuk mengakses layanan dan literasi keuangan.

Racun yang (Tidak) Disadari

Berkelindan dengan problem finansial perempuan, stereotip sebagai pembelanja hedonis perlu kita urai kembali. Pos pengeluaran perempuan yang membengkak pada sektor pakaian dan perawatan pribadi penting kita telaah dalam perspektif ekonomi kesalingan. Hal ini tidak luput dari berbagai strategi pasar yang menjebak perempuan.

Pink tax, sebuah istilah untuk ketimpangan harga berbasis gender. Merupakan sebuah fenomena nyata yang terjadi pada berbagai produk dengan target pasar perempuan. Berbagai produk perempuan memiliki harga yang lebih tinggi. Sementara, produk dengan kualitas sebanding terjual lebih murah kepada target laki-laki.

Sebuah proyek yang menganalisis selisih harga pada 800 produk di New York pada tahun 2021 menemukan fenomena pink tax berlaku hampir pada semua produk yang beredar di supermarket. Yakni mulai dari produk kebersihan, perawatan pribadi, pakaian bayi, hingga perawatan kesehatan di rumah, yang khas menyasar perempuan sebagai target.

Data tersebut menyimpulkan, bahwa rata-rata perempuan akan membayar harga 7% lebih tinggi daripada laki-laki untuk jenis dan kualitas produk yang sama.

Fenomena pink tax merupakan efek dari targeted capitalism. Strategi ini menyasar produk-produk tertentu yang memberikan kesan eksklusif keperempuanan sebagai justifikasi untuk menaikkan harga.

Pada prakteknya, pink tax menjadi sumber pendapatan bagi perusahaan yang mem-branding produk mereka secara personal kepada populasi perempuan, dan melihatnya sebagai objek penghasil keuntungan.

Mewujudkan Wacana Pasar Inklusif

Sebagai sebuah akal-akalan perusahaan untuk meraup untung sebanyak-banyaknya, bentuk diskriminasi biaya ini patut kita kritisi sebagai sistem korup yang melanggengkan diskriminasi gender dalam pasar ekonomi.

Pink tax bukanlah retribusi resmi atas pemasaran sebuah produk, namun memaksa perempuan untuk merogoh kocek lebih dalam untuk kebutuhan. Selayaknya, fenomena ini harus melewati regulasi ulang sebagai penambahan biaya ilegal yang dimonopoli oleh perusahaan.

Pada dasarnya, apabila mengacu pada data mengenai besar pengeluaran antara laki-laki dan perempuan, stereotip finansial yang buruk pada perempuan tentu tidak dapat kita justifikasi begitu saja.

Mempertimbangkan berbagai strategi marketing yang mendiskriminasi perempuan, pos pengeluaran yang membengkak pada sektor belanja “remeh” perlu kita maknai ulang. Lebih daripada sekadar perilaku impulsif semata.

Ketimpangan akses perempuan terhadap sumber literasi keuangan harus kita perjuangkan. Ruang afirmasi literasi ekonomi perempuan kita butuhkan demi menanggapi trik diskriminatif kapital. Sehingga identitas perempuan tidak menjadi objek eksploitasi yang terlihat sebagai komoditas penghasil pundi-pundi keuntungan. []

 

Tags: HedonismeLiterasi KeuanganmitosperempuanPink Tax
Sifin Astaria

Sifin Astaria

Bukan scorpio, apalagi gemini.

Terkait Posts

Inspirational Porn

Stop Inspirational Porn kepada Disabilitas!

19 Mei 2025
Kehamilan Tak Diinginkan

Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial

18 Mei 2025
Noble Silence

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

17 Mei 2025
Suami Pengangguran

Suami Pengangguran, Istri dan 11 Anak Jadi Korban

16 Mei 2025
Keadilan Semu

Membuka Tabir Keadilan Semu: Seruan Islam untuk Menegakkan Keadilan

15 Mei 2025
Memahami Disabilitas

Memahami Disabilitas: Lebih Dari Sekadar Tubuh

14 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version