Mubadalah.id – Sebelum saya mengulas tentang “Mengasuh anak tugas siapa?” ingin berbagi pengalaman di bulan Ramadan ini yang sangat istimewa bagi kami. Bahkan hari ini pas 3 bulan kelahiran anak pertama, yang kami beri nama Mawlaya Alnufais Muhammad. Tadi malam, termasuk malam-malam sebelumnya, Alnu sering kali melek di jam-jam larut malam. Saya dan istri sudah barang tentu sebisa mungkin menjadi orang tua yang bergantian mengasuh dan menjaga anak. Yang membuat saya mau melek mengasuh Alnu walau malam telah larut adalah belajar menjadi Papih yang baik, saya niatkan ibadah dan menikmati anugerah dari Allah.
Teladannya jelas Nabi Muhammad Saw. Betapa beliau mau bergantian menjadi Ayah yang mengasuh anak-anak bahkan cucu-cucunya. Hanya saja di negara kita budaya patriarkhi telah banyak mempengaruhi. Di mana mengasuh anak seolah-olah hanya tugas ibu, bukan menjadi tugas bersama Ayah. Kalau pun Ayah mau mengasuh anak, itu sekadarnya saja, sambil lalu, yang tidak didasari oleh sensitivitas gender.
Bahkan banyak terjadi orang tua, antara Ayah dan Ibu yang sama-sama punya tugas mengasuh anak, semata-mata bukan atas dasar kesadaran gender. Melainkan karena reaksi pasif, yang pada prinsipnya tetap menganggap bahwa mengasuh anak, selain memasak, mencuci pakaian, dll, adalah kodrat perempuan. Jadi di sini saya mau mengatakan sekali lagi bahwa motif seorang Ayah mengasuh anak itu tidak selalu berdasarkan kesadaran gender yang basisnya agama.
Problem Pengasuhan Anak
Lalu apakah betul pengasuhan anak masih terdominasi oleh ibu? Jawabannya memang betul. Sebab struktur sosial dan dogma agama kita menghendaki demikian. Perlu waktu yang tidak sebentar untuk mendobraknya. Sampai kemudian beberapa realitas yang menunjukkan bahwa sudah mulai ada Ayah yang berperan mengasuh anak. Meski itu biasanya masih dalam jumlah kecil, jarang sekali terjadi.
Kalau pun ada jika ada seorang Ayah yang membawa anak kecilnya ke tempat kerja, Ayah yang mengantarkan anaknya ke sekolah. Termasuk misalnya Ayah yang mengambil rapot ke sekolah anaknya dan beberapa contoh kasus yang lain. Ini masih bisa kita pastikan masih sangat jarang. Belum mencapai kesadaran diri dan kolektif yang masif.
Budaya patriarkhi yang akut ini ditambah oleh kenyataan bahwa mengasuh anak tidaklah gampang. Sehingga yang saya maksud mengasuh anak ini bukan hanya ketika anak telah mencapai usia sekolah, melainkan mengasuh sejak dari bayi sampai seterusnya. Saya sendiri yang secara teori terus berusaha memahami tugas pengasuhan anak oleh Ayah, tidaklah mudah. Kita perlu kesiapan mental, fisik dan lainnya. Tidak aneh jika kemudian para Ayah enggan melibatkan diri dalam pengasuhan anak sejak bayi dan ini yang kemudian banyak menyebabkan para ibu mengalami stres dan syndrom.
Nama Belakang Anak
Persoalan nama belakang anak yang kita nisbatkan kepada anak misalnya ini bisa jadi bagian dari produk patriarkhi. Seperti anak pertama saya ini yang di belakang namanya saya sematkan nama “Muhammad”, ini selain tabarukan kepada Rasulullah juga karena nama saya (nama Papihnya Alnu) ada unsur Muhammad-nya. Tapi bagi saya ini tidak masalah kalau konteksnya disematkan kepada anak laki-laki. Kecuali kalau anaknya perempuan, boleh misalkan menisbatkan nama belakang kepada ibunya, meskipun lagi-lagi ini mungkin tidak lumrah.
Lalu ketika dalam suatu acara tertentu, anak kita mendapatkan penghargaan karena prestasi, lalu yang mengambil hadiah itu adalah selalu Ayahnya, ini juga perlu diperbaiki. Dan kita sendiri yang harus melakukan perubahan itu, sehingga ke depan bisa secara bergantian, yang mengambil penghargaan itu bisa Ayah atau Ibu. Tidak melulu ayah atau ibu.
Sehingga dalam pada itu, yang mula-mula harus terus kita kedepankan adalah edukasi wawasan gender tentang parenting. Agar segala keputusan dalam pengasuhan anak didasari atas wawasan gender yang adil. Bukan karena kebetulan atau alasan lainnya. Karena bagaimana pun “memajukan” perempuan itu perlu upaya yang serius dan berkelanjutan.
Beri Perangkat Pendukung bagi Ibu
Bahkan tidak hanya cukup pada pemberian wawasan, melainkan juga harus kita sediakan perangkat pendukung agar para ibu mampu berpikir dan bertindak mandiri. Perangkat itu misalnya bagaimana ke depan para ibu bisa mandiri secara ekonomi dan seterusnya. Sehingga ketika terjadi misalnya dalam prosesi wisuda di mana hanya ada satu perwakilan orang tua yang maju ke depan, tidak lagi kita jadikan pertarungan identitas antara Ayah dan ibu.
Asalkan wawasan gendernya kita pahami dan lalu kita musyawarahkan, siapa pun yang maju mewakili anaknya wisuda, apakah Ayah atau ibunya, tidak akan lagi menjadi masalah. Sebab kesetaraan gender itu selain kesalingan juga berbagi peran. Dalam acara wisuda anak yang maju adalah Ayahnya, nah nanti yang maju saat anaknya ada acara lain, bergantian adalah ibunya.
Bicara pengasuhan anak akan semakin kompleks dan rumit kalau kita lihat realitasnya di Desa-desa. Ibu-ibu yang anaknya banyak, rumahnya jelek, suaminya bekerja serabutan, dan masih banyak problem lainnya. Persis seperti apa yang saya lihat di sini, di Desa saya sendiri. Berat sekali. []