• Login
  • Register
Senin, 19 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Mengenali Batas Kemampuan Diri Sebagai Manusia

Setiap kemampuan manusia memiliki keterbatasan. Itu mengapa, kemampuan seseorang hanya akan berjalan efisien apabila ia menyadari kapasitasnya.

Rizki Eka Kurniawan Rizki Eka Kurniawan
26/05/2021
in Personal
0
Kemampuan

Kemampuan

2.5k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Setiap kemampuan manusia memilki keterbatasan. Itu mengapa, kemampuan seseorang hanya akan berjalan efisien apabila ia menyadari kapasitasnya. Syekh Abdul Qodir Al-Jailani pada salah satu khotbahnya yang tertulis dalam Fathur Rabbani menjelaskan akan pentingnya bagi seseorang untuk mengenali batas-batas kemampuannya. Beliau menjelaskan hal tersebut dengan analogi yang sederhana, katanya: “Jangan dekati ular dan macan, sebab mereka bisa membinasakanmu. Jika engkau seorang pawang, bolelah kau dekati ular itu, dan jika kau sudah memiliki kekuatan, maka dekatilah macan itu.”

Sebagaimana Syekh Abdul Qodir Al-Jailani katakan bahwa mengenali batas kemampuan diri kita sendiri merupakan salah satu faktor terpenting untuk bisa menuju keberhasilan. Ini sebab orang-orang yang tak mengenali batasnya tak akan bisa mengenali diri sendiri. Dengan itu, ia tak akan tahu kebutuhan-kubutuhannya yang harus terpenuhi. Ia akan menunjukan sifat gegabah, terburu-buru dan tidak fokus dalam melakukan sesuatu.

Ketidakmampuan seorang untuk mengenal batas juga bisa membahayakan diri sendiri. Orang biasa yang tidak memiliki kemampuan untuk menjinakkan binatang buas apabila mendekati ular dan macan beresiko untuk diserang, bahkan bisa mengakibatkan kematian.

Sesuatu Syekh Abdul Qodir Al-Jailani maksudkan dalam analoginya adalah bahwa seseorang harus bisa menilai diri sendiri terlebih dahulu sebelum melakukan sesuatu. Ia harus pandai mengukur sejauh mana batas kemampuannya dalam menangani sesuatu. Setidaknya, dengan mengenal batasanmu sendiri, ketika dalam suatu kondisi ada sebuah permasalahan dan kamu tidak bisa menanganinya. Kamu tidak akan memperpanjang masalah.

Rumangsa; Merasa Bisa Padahal Tak Mampu

Kadang ada beberapa orang yang merasa bisa melakukan sesuatu, padahal hal itu di luar dari kemampuannya. Yang terjadi adalah, orang tersebut bukannya menangani masalah, tapi malah memperparah permasalahan. Kalau kata orang Jawa: “Bisa rumangsa, aja rumangsa bisa”.

Baca Juga:

Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

Membuka Tabir Keadilan Semu: Seruan Islam untuk Menegakkan Keadilan

Kemanusiaan sebelum Aksesibilitas: Kita—Difabel

Kata rumangsa artinya merasakan, jadi bisa rumangsa dalam artian lengkapnya adalah kita bisa merasakan, menilai dan mengukur kemampuan diri sendiri. Kalau kamu benar-benar merasa bisa dalam menangani sesuatu, maka lakukanlah hal itu dengan penuh keyakinan. Namun, apabila kamu merasa tidak mampu menanganinya, maka “aja rumangsa bisa” (jangan merasa bisa) agar tidak membuat masalah baru.

Falsafah Jawa ini mengajarkan kita untuk selalu berendah hati dan mawas diri, serta menyadarkan kita agar tidak sombong dan merasa bisa menyelesaikan segala hal.

Rasulullah SAW bersabda: “Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.” Seorang sahabat bertanya; ‘bagaimana maksud amanat disia-siakan?’ Nabi menjawab; “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” (Hadits Bukhari Nomor 6015)

Menurut Sabrang M.D.P fonder Symbolic.id menyatakan hampir tidak mungkin ada satu orang yang tahu semua hal. Setiap orang mempunyai interest satu atau dua untuk menjadi ahli di suatu bidang tapi “bodoh di bidang lain.”

Meskipun kalau kita tinjau mengenai kemampuan manusia secara psikologi, dalam pandangan Erich Fromm yang menyatakan bahwa manusia memiliki kebutuhan eksistensial yang salah satunya adalah kebutuhan transendesi (need for trancendece)—kebutuhan untuk mengatasi peranan pasif sebagai ciptaan yang membuat manusia selalu ingin melampoi dirinya.

Akal Budi dan Daya Kreatif Manusia

Manusia akan berupaya mengunakan akal budi dan daya kreatifnya untuk melampaui kodrat kebinatangannya. Dengan itu, ia akan terus memiliki inovasi dan menciptakan teknologi baru dalam hidup. Ia akan terus berkembang dari kesadaran hewan yang hanya mengandalkan insting alamiah menuju kesadaran manusia yang memiliki akal budi, imajinasi dan emosional. Ia menjadi mahluk yang berbeda dari lainnya.

Namun, untuk bisa terus melampaui (menguprade) diri menjadi lebih baik kita harus mulai menyadari bahwa kemampuan yang setiap orang miliki itu ada batasan. Karena tanpa kesadaran semacam itu, kemampuan yang setiap orang miliki tak akan bisa bekerja secara optimal, bahkan ilmu yang seseorang miliki yang seharusnya bisa bermanfaat untuk membangun kebermanfaatan berpotensi mendistorsi diri sendiri.

Untuk itu pengembangan diri tidak bisa secara terpaksa. Kita harus tahu batas kapan diri kita harus berhenti sejenak untuk rehat, memahami dan beradaptasi dengan sesuatu yang baru kita tuju. Kita harus tahu kapan kita kembali mengembangkan diri, mengoptimalkan potensi dan berkreasi.

Hal ini penting agar tidak meningkatkan resiko mengalami gejala neurotis dalam diri kita. Manusia tidak bisa menerima sesuatu dalam skala besar secara langsung, meskipun sesuatu itu memberikannya perasaan bahagia, namun jika sesuatu itu diterima melebihi kapasitasnya (berlebihan). Ia bisa kehilangan kesadaran. Ledakan dopamin dalam otaknya bisa membuatnya mabuk dan mengalami gejala-gejala neurotis. Hal ini diperkuat dengan sifat pikiran manusia yang kontradiksi.

Pikiran manusia selain dari pada mampu mengembangkan diri dan memberikan kebebasan untuk berkreasi dan berkehendak juga dapat mendistorsi, melemahkan dan menyakiti diri sendiri. Pikiran kita apabila terlalu sering terpakai (hyperaktif) pasti akan mengalami titik jenuh. Jika pada saat pikiran kita telah memasuki titik jenuh namun masih kita paksakan untuk tetap berpikir. Maka yang terjadi adalah, pikiran kita mulai kabur tidak jelas. Kita akan merasakan stres dan kecemasan berlebih.

Untuk itu, ada baiknya setiap upaya yang kita tunjukkan untuk pengembangan diri, kita lakukan secara bertahap, tanpa harus memaksakan diri untuk cepat berubah menjadi lebih baik. Tujuannya agar kondisi mental dan fisik kita tetap stabil, tanpa kestabilan kesuksesan suatu perkembangan hanya wacana. Lebih baik perlahan tapi pasti daripada cepat namun tidak selamat. []

Tags: Erich FrommKajian PsikologikemanusiaanKesehatan MentalmanusiapsikisPsikologi Remaja
Rizki Eka Kurniawan

Rizki Eka Kurniawan

Lahir di Tegal. Seorang Pembelajar Psikoanalisis dan Filsafat Islam

Terkait Posts

Inspirational Porn

Stop Inspirational Porn kepada Disabilitas!

19 Mei 2025
Kehamilan Tak Diinginkan

Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial

18 Mei 2025
Noble Silence

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

17 Mei 2025
Suami Pengangguran

Suami Pengangguran, Istri dan 11 Anak Jadi Korban

16 Mei 2025
Keadilan Semu

Membuka Tabir Keadilan Semu: Seruan Islam untuk Menegakkan Keadilan

15 Mei 2025
Memahami Disabilitas

Memahami Disabilitas: Lebih Dari Sekadar Tubuh

14 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version