• Login
  • Register
Kamis, 3 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Mengenang Sosok Perempuan dalam Sejarah Nusantara

Ketika membahas wali Allah di Nusantara, wawasan kita kebanyakan berputar pada sosok keramat laki-laki, dan masih kurang akrab dengan sosok keramat perempuan sebagai wali

Moh. Rivaldi Abdul Moh. Rivaldi Abdul
13/12/2021
in Khazanah
0
Sejarah

Sejarah

136
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Pada beberapa kesempatan saat menjadi narasumber diskusi bersama mahasiswa, saya bertanya kepada peserta siapa saja ulama atau wali di Nusantara yang mereka ketahui. Umumnya mereka menjawab Wali Songo, KH. Hasyim Asy’ari, dan ulama laki-laki lainnya. Sangat jarang ada yang menyebutkan nama perempuan ulama.

Hal yang sama juga terjadi ketika saya bertanya seputar sejarah bangsa Indonesia secara umum. Kebanyakan dari mereka lebih akrab dengan tokoh pejuang laki-laki ketimbang perempuan. Misalnya, ketika mendengar kata dewantara, umumnya mereka hanya tahu Ki Hajar Dewantara (Suwardi Suryaningrat), dan masih sangat asing dengan sosok Nyi Hajar Dewantara (R.A. Sutartinah).

Jika membahas Perang Jawa (yang meletus pada 1825 M), mereka lebih akrab dengan sosok Pangeran Diponegoro, Kiai Mojo, Sentot, daripada Nyi Ageng Serang. Padahal, Nyi Ageng Serang juga termasuk tokoh sentral dalam perang tersebut.

Kebanyakan wawasan sejarah para peserta diskusi yang saya temui masih sering berputar dalam lingkup sosok laki-laki. Sementara, hanya sedikit sosok perempuan yang mereka ketahui.

“Kamu” bisa mengira kalau, “Itu sebab kurangnya sosok perempuan yang ‘pantas’ ditulis dalam sejarah, sehingga wajar jika yang lebih banyak diketahui orang adalah tokoh laki-laki.”

Baca Juga:

Ibnu Khaldun sebagai Kritik atas Revisi Sejarah dan Pengingkaran Perempuan

Dari Indonesia-sentris, Tone Positif, hingga Bisentris Histori dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

Penulisan Ulang Sejarah Indonesia: Peminggiran Sejarah Perempuan

Seolah-olah Tidak Resmi: Sejarah Perempuan dan Rezim yang Ingin Menulis Ulang Sejarah Indonesia

Namun saya juga dapat mengatakan kalau itu bias dari pandangan yang mengidentikkan sifat keulamaan dan kepahlawanan kepada laki-laki, dan perempuan ya cukup di dapur saja. Sehingga, tanpa sadar otak kita terprogram untuk tabu memikirkan perempuan-perempuan hebat dalam sejarah. Alhasil, kita kurang mencari dan menggali kiprah dari sosok perempuan.

Nyatanya, banyak sosok perempuan yang pantas ditulis dalam sejarah, sayangnya kita yang masih agak malas untuk mengenang (mempelajari maupun menuliskan sosok) mereka. Harus diakui kalau perempuan masih kurang diperhatikan dalam diskursus sejarah Islam Nusantara, ya termasuk juga dalam sejarah Nusantara secara umum.

Selain itu, fokus sentral kebanyakan orang dalam mengkaji sejarah masih berat sebelah pada sosok laki-laki. Misalnya, jika membahas awal mula masuknya Islam di Nusantara kebanyakan kajian menyoroti Wali Songo. Hal ini wajar saja, sebab Wali Songo memang nyata punya kiprah besar dalam Islamisasi Nusantara.

Namun yang disayangkan ketika mengkaji sosok perempuan, seperti Siti Fatimah binti Maimun, masih kurang menelusuri dan mengangkat kiprahnya dalam sejarah Islamisasi. Selama ini kajian terkait Siti Fatimah binti Maimun sebatas sebagai bukti tertua masuknya Islam di Nusantara, sebab tahun di nisannya menunjukkan 495 H atau 1082 M. Sehingga, ketika mendengar nama Siti Fatimah binti Maimun (perempuan) yang terpikir hanya batu nisan, bukan sosok penyebar Islam.

Ketika membahas wali Allah di Nusantara, wawasan kita kebanyakan berputar pada sosok keramat laki-laki, dan masih kurang akrab dengan sosok keramat perempuan sebagai wali. Kita akan mudah menerima Kiai Kholil Bangkalan sebagai wali, sebab beliau adalah sosok ulama yang keramat. Lantas, bagaimana jika Nyai Muthmainnah–keturunan Kiai Kholil Bangkalan yang saat ini termasuk pemimpin Pesantren Syaikhona Kholil–yang oleh masyarakat diyakini sebagai “nyai keramat” juga disebut wali?

Jika berat menerima, maka tanpa sadar kamu masih terjebak dalam lingkar pemikiran kalau wali Allah itu mesti laki-laki.

Beberapa historiografi Islam Nusantara yang bernuansa agak romantis Islami juga cenderung menempatkan perempuan sebagai pihak kedua. Misalnya, dalam sejarah Islam di Bolaang Mongondow, terdapat cerita pernikahan Kilingo dengan Raja Jakobus Manuel Manoppo (1833-1858). Kilingo adalah putri Imam Tueko yang merupakan pemimpin salah satu jaringan ulama dari Gorontalo yang menyebarkan Islam di Bolaang Mongondow.

Dalam hal ini, sosok Kilingo banyak dibahas saat menceritakan sejarah keislaman raja tersebut, sementara kiprahnya dalam dakwah Islam kurang mendapat sorotan. Padahal, dia juga merupakan salah satu ulama yang turut memainkan peran dalam kesuksesan dakwah jaringan ulama Gorontalo.

Statement ini bukan berarti saya mengabaikan urgensi keislaman raja (penguasa) dalam dakwah Islam di Nusantara, hanya saja perlu disadari bahwa kiprah perempuan dalam Islamisasi Nusantara tidak hanya sebatas menikah dengan raja atau elite, kan? Perempuan juga memainkan peran besar dalam Islamisasi. Sebagian sosok bahkan mengisi peran keulamaan, seperti Kilingo yang termasuk dalam anggota jaringan ulama Gorontalo.

Penulisan sejarah dan pengkajian seputar kiprah perempuan dalam sejarah Nusantara harus terus digiatkan. Hal ini bukan berarti ingin membandingkan sosok laki-laki dengan perempuan, melainkan berangkat dari kesadaran bahwa ada banyak perempuan Nusantara yang sosoknya pantas untuk dikenang dalam sejarah.

Sejarah Nusantara tidak hanya mengandung his-story (kisah laki-laki), namun juga kaya her-story (kisah perempuan). []

 

Tags: Perempuan NusantaraPerempuan UlamaSejarah NusantaraSejarah Perempuan
Moh. Rivaldi Abdul

Moh. Rivaldi Abdul

S1 PAI IAIN Sultan Amai Gorontalo pada tahun 2019. S2 Prodi Interdisciplinary Islamic Studies Konsentrasi Islam Nusantara di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sekarang, menempuh pendidikan Doktoral (S3) Prodi Studi Islam Konsentrasi Sejarah Kebudayaan Islam di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Terkait Posts

Laki-laki dan Perempuan dalam fikih

Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?

3 Juli 2025
Perceraian untuk

Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

2 Juli 2025
Boys Don’t Cry

Boys Don’t Cry: Membongkar Kesalingan, Menyadari Laki-laki Juga Manusia

2 Juli 2025
Perceraian dalam

Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan

1 Juli 2025
Fikih Perempuan

Fikih yang Kerap Merugikan Perempuan

1 Juli 2025
amar ma’ruf

Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

1 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Marital Rape

    Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Boys Don’t Cry: Membongkar Kesalingan, Menyadari Laki-laki Juga Manusia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama
  • Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?
  • Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID