Mubadalah.id – Semangat untuk menghindari praktik pemukulan (nusyuz) dalam relasi suami istri tampak jelas dalam ajaran Nabi Muhammad saw., terutama jika kita cermati melalui berbagai hadis yang diriwayatkan.
Dalam kajian literatur hadis, terlihat bahwa sangat sedikit hadis yang memberikan pembatasan (taqyid) terhadap dua langkah awal penyelesaian konflik, yakni nasihat (mauidhah) dan pisah ranjang. Minimnya pembatasan ini menunjukkan bahwa kedua cara tersebut dinilai lebih aman dan minim risiko.
Menariknya, Nabi sendiri secara tegas menganjurkan para suami untuk memilih opsi pisah ranjang ketika mulai melihat tanda-tanda nusyuz pada istrinya, sebagaimana tergambar dalam salah satu hadis berikut:
عن أبي حرة الرقاشي عن عمه: أن النبي فإن خفتم نشوزهن فاهجروهن في المضاجع. (رواه أبو داود)
Artinya: Dari Abu Hurrah ar-Raqqasyi dari pamannya, Nabi saw. bersabda, “Jika kalian khawatir istri kalian nusyuz, pisah ranjanglah dengan mereka. (HR. Abu Dawud).
Sebaliknya, cara pemukulan, banyak hadis yang memberikan batasan-batasan sehingga bisa dikatakan hampir tidak ada celah untuk membenarkan pemukulan istri oleh suami.
Nabi Melarang Para Suami Memukul Istri
Dalam sebuah hadis, Nabi secara tegas melarang para suami memukul istrinya dan menilai mereka yang melakukan hal itu bukanlah suami yang baik. Selengkapnya hadis itu berbunyi:
عن إياس بن عيد الله بن أبي ذباب رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا تضربوا إماء الله. فجاء عمر رضي الله عنه إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم، فقال: ذئرن النساء على أزواجهن، فرخص في ضربهن. فأطاف بآل محمد صلى الله عليه وسلم نساء كثير يشكون أزواجهن، فقال رسول الله عليه وسلم: لقد أطاف بآل محم نساء كثير يشكون أزواجهن، ليس أولئك بخياركم. (رواه أبو داود)
Artinya: Dari Iyas bin Abdillah bin Abi Dzubab berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kalian memukul hamba Allah!”, lalu datang Umar r.a. kepada Rasulullah SAW dan berkata, “Para istri itu berani (melawan) kepada suami mereka, “maka Rasulullah SAW memberi dispensasi untuk memukul mereka. Selanjutnya banyak istri mendatangi keluarga Rasulullah SAW sembari mengadukan suami mereka. Maka Rasulullah SAW pun bersabda, “Sesungguhnya banyak perempuan mendatangi keluarga Muhammad sambil mengadukan suami mereka. Mereka (para suami) itu bukanlah sebaik-baik kalian.” (HR Abu Daud).
Dalam hadis riwayat Abu Dawud yang lain Nabi bahkan menolak orang yang ingin bertanya tentang pemukulan istri. Melalui Umar bin Khattab, Rasulullah saw. bersabda:
” لا يسأل الرجل فيما ضرب امرأته “
“Janganlah seorang suami bertanya dalam hal apa ia (boleh) memukul istrinya.” (HR. Abu Dawud).
Bahkan ketidaksetujuan Nabi terhadap pemukulan istri juga diungkapkan dalam bentuk protes terhadap perilaku yang sering dilakukan orang Arab pada waktu itu. Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda:
لا يجلد أحدكم امرأته جلد الأمة ولعله أن يضاجعها من آخر يومه. (رواه ابن ماجه)
Artinya: “Janganlah salah seorang di antara kalian memecut istrinya seperti budak, lalu malam harinya ia tiduri.”
Teladan Nabi Saw
Sebagai bukti konkret penolakan Rasulullah terhadap pemukulan istri, beliau dalam seluruh hidupnya tidak pernah mempergunakan tangannya untuk memukul istri-istrinya, bahkan pembantunya. Ummul Mukminin Aisyah ra. memberikan kesaksian:
“ما ضرب رسول الله صلى الله عليه وسلم خادما له ولا امرأة ولا ضرب بيده شيئا”. (رواه ابن ماجه)
Artinya: “Rasulullah saw. tidak pernah memukul pembantunya, istrinya, dan tidak pernah memukul apapun dengan tangannya.” (HR. Ibnu Majah)
Berbagai kesaksian yang terekam dalam hadis-hadis di atas menjadi dalil yang kuat bahwa pada hakekatnya Islam tidak menghendaki terjadinya pemukulan istri oleh suami. Dalam ucapan, nasihat dan perilaku hidupnya Rasulullah sebagai panutan umat tidak pernah menganjurkan apalagi melakukan pemukulan terhadap istri.
Oleh karena itu, jika kita sepakat bahwa hadis memiliki fungsi penjelas terhadap al-Qur’an. Maka kita pun bisa mengatakan bahwa sekalipun ada redaksi “wadhribuhunna” dalam al-Qur’an namun itu bukan untuk laki-laki lakukan. Melainkan untuk mereka hindari dan tinggalkan sebagaimana yang Nabi contohkan. []