Mubadalah.id – Pernah mendengar tradisi rewang saat hajatan? Nah, usai lebaran, banyak dari kita mungkin sudah kebanjiran undangan pernikahan di Bulan Syawal. Bahkan beberapa orang terdekat yang saya tanya, mengaku bahwa dalam satu hari ia bisa menghadiri tiga bahkan lebih resepsi pernikahan. Geliat pernikahan di bulan Syawal sendiri sebenarnya memiliki sejarah menarik.
Dulu, di zaman Jahiliyah, bulan Syawal dianggap sebagai waktu sial untuk mengadakan acara perkawinan. Latar belakangnya disebabkan karena pada bulan ini unta menaikkan ekornya sebagai isyarat tidak mau kawin, yang kemudian orang Arab menjadikan bulan ini sebagai bulan pantangan untuk menikah karena menganggapnya sebagai bulan yang penuh dengan kesialan.
Namun, pada saat Islam datang, Islam menghapus tradisi pernikahan Jahiliah ini dengan contoh langsung dari Nabi Muhammad saw. berupa pernikahan beliau dengan ‘Â’isyah. Muslim (206-261 H). Teladan ini lah yang kemudian banyak ditiru oleh umat Muslim hingga sekarang (Zamzami, 2020).
Tradisi Rewang di Jawa dari Waktu ke Waktu
Di Indonesia, pesta pernikahan merupakan momen sosial yang terkadang menjadi ajang gengsi seorang individu. Tak heran, gelaran ini dipersiapkan dengan serius karena akan mempengaruhi nama baik keluarga. Sebab, tak hanya menjadi perkenalan anggota keluarga baru, tapi resepsi pernikahan juga menjadi ajang silaturahmi kerabat atau kolega yang sudah lama tak bersua. Oleh karenanya, acap kali pernikahan dibuat semeriah mungkin dan menyajikan berbagai macam hidangan yang dinikmati bersama dengan para tamu undangan.
Demi mensukseskan acara itu, di beberapa daerah, tetangga dan saudara dekat biasanya akan mendatangi rumah keluarga mempelai pengantin untuk membantu menyiapkan pesta. Tradisi lokal ini lah yang selanjutnya terkenal dengan nama “rewangan”. Rewangan berasal dari kata “rewang” yang berarti: membantu. Menurut referensi lain, “rewangan” berasal dari kata “rewang” yang berarti mara perlu tetulung. Kegiatan para wanita tetangga yang membantu di tempat tuan rumah untuk mempersiapkan makanan di dapur merupakan contoh dari aktivitas “rewang”.
Merujuk pada riset dari Susanti dan Lestari (2012), tradisi rewang merupakan kegiatan sosial di perdesaan yang tidak memandang jenis kelamin sesuai dengan aktivitasnya, walaupun dalam kenyataannya “rewang” lebih banyak ditangani kaum wanita. Meski tidak terbatas pada acara pernikahan, karena membantu tetangga yang anggota keluarganya meninggal juga bisa disebut sama. Namun, rewang sudah terlanjur lekat pada hajatan pernikahan. Padahal, segala perilaku membantu di rumah orang lain di mana orang itu bermaksud mengadakan kegiatan yang melibatkan orang banyak disebut “rewang”.
Seiring dengan perkembangan waktu dan dinamika masyarakat, tradisi rewang yang dulu kerap menjadi simbol kesuksesan acara hajatan, utamanya pernikahan kini semakin terkikis. Di wilayah perkotaan, dengan terbatasnya lahan dan banyaknya warga yang bekerja di perindustrian atau perkantoran yang terikat waktu, tradisi rewang tak bisa lagi menjadi andalan untuk mengoptimalkan gelaran acara hajatan.
Belum lagi karena tingginya harga properti yang membuat rumah di daerah urban kian sempit, hal itu tentu tak lagi menunjang untuk diadakannya acara skala besar di lingkungan komplek perumahan. Akhirnya, rewang pun digantikan oleh jasa catering atau event organizer yang disewa secara professional oleh tuan rumah (Anwar, 2021).
Meski begitu, banyak wilayah di Indonesia, masih mempertahankan budaya lokal ini. Terlebih kearifan lokal tersebut sejalan dengan ajaran dan nilai-nilai Islam yang dianut oleh mayoritas warga Indonesia. Suatu kajian dari IAIN Tulungagung juga menegaskan bahwa rewang sejalan dengan Al Qur’an maupun sunnah dan tidak menyalahi keduanya.
Hal ini dengan jelas ditegaskan dalam Surah Al-Maidah [5]: 2, yang artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
Melihat bagaimana rewang dilakukan, sangatlah cocok hakikatnya dengan prinsip ta’awun atau tolong menolong dengan tujuan untuk saling membantu pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Apalagi, semua pekerjaan di dunia pasti lah membutuhkan bantuan orang lain, sehingga adanya tradisi rewang tak hanya meringankan urusan penyelenggara hajatan tapi juga mendorong terciptanya hubungan baik dengan orang-orang terdekat.
Selain itu, rewang juga memiliki banyak dampak positif lainnya: akan menyelesaikan pekerjaan lebih cepat, memudahkan dalam penyebaran nilai-nilai syiar Islam secara praktis, dengan saling tolong menolong dan bekerja sama, akan mempermudah melaksanakan perintah Allah SWT, mewujudkan amar ma’ruf nahi mungkar. Pada akhirnya, rewang dapat mempertahankan ukhwah antar sesama manusia sesuai seperti perintah Nabi Muhammad SAW, yakni melahirkan rasa cinta dan kasih sayang di lingkungan komunitas masyarakat. []