• Login
  • Register
Rabu, 1 Februari 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Meningkatnya Kekerasan Seksual di Masa Pandemi dan Biasnya Pandangan Masyarakat

Pengungkapan dan penanganan kasus pelecehan seksual menjadi sulit karena sering kali dikaitkan dengan moralitas keluarga bahkan masyarakat

Irfan Hidayat Irfan Hidayat
19/12/2021
in Publik, Rekomendasi
0
Gangguan Mental

Gangguan Mental

175
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Organisasi kesehatan dunia World Health Organization (WHO) menegaskan, pelecehan seksual ialah salah satu wujud dari kekerasan seksual yang tengah menjadi masalah global. Pelecehan seksual merupakan perilaku pendekatan terkait ‘seks’ yang diinginkan, termasuk di dalamnya permintaan secara verbal bahkan fisik yang bertumpu pada ‘seks’.

Secara general, perempuan lebih sering menjadi korban dari kasus pelecehan seksual. Akan tetapi, laki-laki juga tidak menutup kemungkinan dapat menjadi korban. Begitu pun pelaku, bukan hanya kaum laki-laki saja, walaupun selama ini mayoritas pelaku pelecehan seksual adalah laki-laki. Namun, perempuan juga bisa saja menjadi pelaku pelecehan seksual.

Di masa pandemi Covid-19 ini, masyarakat dihimbau pemerintah untuk tidak banyak keluar rumah. Akan tetapi, himbauan pemerintah tersebut tidak membuat para pelaku diam. Bahkan, di masa pandemi ini kasus kekerasan seksual (terutama di media masa) meningkat drastis hingga menduduki peringkat 2 setelah KDRT.

Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) mencatat, rata-rata ada 30 kasus yang diterima dalam setiap bulannya. Pelecehan seksual ini bisa mengakibatkan dampak negatif terhadap korban, baik psikologis dan juga sosial korban.

Masyarakat pada umumnya sering kali menuntut korban untuk menyuarakan atau melaporkan pelecehan seksual yang dialaminya. Akan tetapi, Para korban pelecehan seksual umumnya mau atau berani melaporkannya apabila percaya bahwa pelaporan tersebut tidak akan memukul balik, dalam arti tidak menjadi boomerang bagi dirinya karena dalih ‘pencemaran nama baik’ atau semacamnya.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Ulama Bolehkan Aborsi Korban Perkosaan
  • Emak, Ijah tak Ingin Menikah
  • Nabi Perintahkan Kita Lindungi Warga dari Kekerasan Seksual
  • Sosok Nyai Hj. Hindun Anisah; Sosok Ulama Perempuan

Baca Juga:

Ulama Bolehkan Aborsi Korban Perkosaan

Emak, Ijah tak Ingin Menikah

Nabi Perintahkan Kita Lindungi Warga dari Kekerasan Seksual

Sosok Nyai Hj. Hindun Anisah; Sosok Ulama Perempuan

Oleh karena itu, diperlukann komitmen dari orang sekitar korban untuk memberi dukungan terhadap korban, serta memberikan sanksi yang setimpal yang dapat membuat pelaku jera.

Pandangan Masyarakat Kita

Di Indonesia, isu pelecehan seksual belum menjadi prioritas untuk dibahas dan diperbincangkan. Bisa kita lihat bagaimana negara kita memandang dan merespon masalah pelecehan seksual, sering kali yang disalahkan justru si korban.

Banyak kita dengar ungkapan seperti “mungkin karena dia pakai baju nggak bener, terlalu terbuka” atau”karena dia tidak berjilbab”. Hal seperti itu menjadi salah satu penyebab banyaknya kasus ‘seksual harassment’ yang tidak dilaporkan, karena pelecehan seksual yang terjadi hanya dianggap sebagai suatu hal yang biasa di masyarakat.

Masih banyak korban yang memilih diam ketika ia mendapatkan pelecehan seksual. Baik itu di media sosial, korban sering kali memilih untuk menghapus komentar atau mungkin hanya di abaikan. Ataupun pelecehan secara fisik, korban merasa malu jika hendak melapor yang akhirnya memilih diam. Atau bahkan sudah menceritakan kepada orang tua dan keluarga, namun hanya dianggap menjadi sebuah aib sehingga lebih memilih memaksa mengawinkan keduanya.

Pengungkapan dan penanganan kasus pelecehan seksual menjadi sulit karena sering kali dikaitkan dengan moralitas keluarga bahkan masyarakat. Perempuan yang dianggap sebagai suatu ‘simbol kesucian dan kehormatan’, yang kemudian akan dipandang menjadi aib apabila mengalami pelecehan seksual.

Pandangan masyarakat yang seperti itu semakin menjadikan korban merasa bahwa diam adalah jalan paling benar, karena apabila mereka speak up malah akan dihakimi. Padahal, ketika korban mengalami kekerasan seksual, bisa saja mereka hanya bisa diam dan tidak dapat melawan. Hal tersebut karena reaksi defensif yang muncul secara biologis.

Pola pikir masyarakat yang seperti ini akan berbahaya jika tetap dipertahankan. Sayangnya, di negara kita pola pikir ini sudah berkembang di masyarakat. Alih-alih mendapat perlindungan serta pendampingan dalam pemilihan mental psikis nya, korban justru menjadi pelaku di mata masyarakat karena pakaian yang disalahkan atau hal lainnya.

Bahkan, beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia sering kali diselesaikan melalui cara kekeluargaan. Seperti dengan mengawinkan korban dengan si pelaku untuk menutupi aib keluarga.

Padahal, hal seperti itu dapat menjadi senjata pembunuh bagi korban. Bagaimana tidak, korban dipaksa untuk hidup berdampingan dengan predator yang telah menghancurkan dirinya seumur hidupnya. Hal tersebut bisa menimbulkan trauma bagi korban, bahkan bisa saja berujung pada mengakhiri penderitaan dengan ‘bunuh diri’ karena daripada memasrahkan dirinya kepada pelaku seumur hidupnya.

Oleh karena itu, masyarakat harus memiliki toleransi yang tinggi. Mereka yang menjadi korban pelecehan seksual memiliki hak untuk dihargai dan dihormati. Bukan sebaliknya, malah dihakimi bahkan dipojokkan. Karena hal tersebut dapat berdampak buruk terhadap psikis serta mental korban.

Sebagai masyarakat yang baik, kita tidak boleh menghakimi secara sepihak serta tidak berasumsi negatif terhadap korban pelecehan seksual. Sehingga, apabila korban berani berbicara terkait kasus pelecehan seksual akan lebih mudah ditangani, sehingga mengurangi peningkatan setiap tahunnya.

Untuk penanganannya, perlu payung hukum yang kuat. Salah satunya dengan segera disahkannya Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). terlebih banyaknya masyarakat yang geram karena maraknya kasus kekerasan seksual yang semakin bertambah. Hal ini juga kita sadari demi kemaslahatan semua, bukan hanya perempuan tapi juga laki-laki. []

Tags: Kekerasan seksualPandemi Covid-19pelecehan seksualRUU TPKS
Irfan Hidayat

Irfan Hidayat

Alumni Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga, Kader PMII Rayon Ashram Bangsa

Terkait Posts

Akhlak Manusia

Akhlak Manusia Sebagai Ruh Fikih

1 Februari 2023
Pengelolaan Sampah

Bagaimana Cara Melakukan Pengelolaan Sampah di Pengungsian?

31 Januari 2023
Aborsi Korban Perkosaan

Ulama Bolehkan Aborsi Korban Perkosaan

31 Januari 2023
Pemakaman Muslim Indonesia

5 Konsep Pemakaman Muslim Indonesia dan Kontribusinya dalam Pelestarian Lingkungan Hidup

30 Januari 2023
Ulama Perempuan

Ulama Perempuan dan Gerak Kesetaraan Antar-umat Beragama

30 Januari 2023
Tradisi Tedhak Siten

Menggali Makna Tradisi Tedhak Siten, Benarkah Tidak Islami?

29 Januari 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • keluarga

    7 Prinsip Dalam Berkeluarga Ala Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Relasi Keluarga Berencana dalam Perspektif Mubadalah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Melihat Keterlibatan Perempuan dalam Tradisi Nyadran Perdamaian di Temanggung Jawa Tengah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kisah Saat Nabi Saw Tertawa Karena Mendengar Cerita Kentut dari Salma

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Akhlak Manusia Sebagai Ruh Fikih

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Pandangan Abu Syuqqah Tentang Isu Kesetaraan Gender
  • Mematri Wasiat Buya Husein Muhammad
  • Kisah Saat Nabi Saw Apresiasi Kepada Para Perempuan Pekerja
  • Pertemuan Mitologi, Ekologi, dan Phallotechnology dalam Film Troll
  • Kisah Saat Nabi Saw Tertawa Karena Mendengar Cerita Kentut dari Salma

Komentar Terbaru

  • Refleksi Menulis: Upaya Pembebasan Diri Menciptakan Keadilan pada Cara Paling Sederhana Meneladani Gus Dur: Menulis dan Menyukai Sepakbola
  • 5 Konsep Pemakaman Muslim Indonesia pada Cerita Singkat Kartini Kendeng dan Pelestarian Lingkungan
  • Ulama Perempuan dan Gerak Kesetaraan Antar-umat Beragama pada Relasi Mubadalah: Muslim dengan Umat Berbeda Agama Part I
  • Urgensi Pencegahan Ekstrimisme Budaya Momshaming - Mubadalah pada RAN PE dan Penanggulangan Ekstrimisme di Masa Pandemi
  • Antara Ungkapan Perancis La Femme Fatale dan Mubadalah - Mubadalah pada Dialog Filsafat: Al-Makmun dan Aristoteles
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist