• Login
  • Register
Selasa, 28 Maret 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Menjomblo Pun Halal, Bahagia dan Bersahaja

“Kebahagiaan itu milik semua orang. Pun, menyandang atau bahkan memilih menjomblo belum tentu tak bahagia. Sama halnya, memiliki pasangan juga bukan tolak ukur kebahagiaan.”

Septia Annur Rizkia Septia Annur Rizkia
03/04/2021
in Personal
0
Jomblo

Jomblo

332
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Jogan Ramadhan Online: Pengajian Khas Perspektif dan Pengalaman Perempuan
  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja
  • Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Laki-laki dan Perempuan Dilarang Saling Merendahkan
  • Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Nabi Saw Melarang Umatnya Merendahkan Perempuan

Baca Juga:

Jogan Ramadhan Online: Pengajian Khas Perspektif dan Pengalaman Perempuan

Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja

Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Laki-laki dan Perempuan Dilarang Saling Merendahkan

Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Nabi Saw Melarang Umatnya Merendahkan Perempuan

Mubadalah.id – Dewasa ini, menyandang status jomblo, tak jarang menjadi bahan olok-olokan. Padahal, sebab seseorang menjomblo itu beragam. Ada yang karena memang pilihan, belum menemukan pasangan yang tepat dan sesuai, masih trauma akibat patah hati, sibuk menuntut ilmu, sibuk berkarir, atau bahkan memilih untuk tidak menikah, dan lain-lain. Bukankah menyandang atau bahkan memilih menjomblo pun bukan kejahatan?

Bagi sebagian orang, entah laki-laki atau perempuan, tak jarang yang mengalami kecemasan di usia yang secara standar masyarakat dianggap sudah matang untuk membangun rumah tangga, tapi belum juga menemukan pasangan hidup/masih jomblo. Terlebih perempuan, kecemasan dan tekanan yang dialami bisa lebih besar dari laki-laki. Sebab apa?

Ya, istilah perawan tua sering kali disematkan pada perempuan di usia 25 tahun ke atas yang masih menjomblo. Menjadi perempuan jomblo di usia 20 tahun ke atas saja, bukan suatu hal yang mudah. Apalagi jika sering diberondong dengan pertanyaan serupa, “kapan menikah? kenapa masih jomblo aja?” dan lain sebagainya.

Nahasnya lagi, acap kali bermunculan ceramah-ceramah yang bilang “Nikah adalah sunnah nabi. Barang siapa yang tidak mengikuti sunnah, maka ia bukanlah bagian dari umat nabi”. Entah sanadnya dari mana, saya juga kurang tahu. Dalam hal sahih atau tidaknya pernyataan yang kerap diatasnamakan dari Nabi ini pun, itu juga bukan maqom saya.

Namun, dari buku K.H. Husein Muhammad yang berjudul, “Para Ulama dan Intelektual yang Memilih Menjomblo”, beliau menuliskan yang pada intinya mempertanyakan sunnah yang dimaksud itu yang seperti apa. Apakah berarti perilaku atau tradisi nabi, atau berarti perbuatan yang jika dilakukan mendapat pahala dan jika tidak dilakukan tidak berdosa, sebagaimana  yang didefinisikan oleh para ahli fiqh? Ataukah malah sunnah kebalikan dari bid’ah?

Tulisnya lagi, maka bid’ah yang menunjuk pada makna perbuatan atau praktik hidup yang tak pernah ada pada masa nabi atau dilakukan oleh beliau. Yang mana kata tersebut sering diartikan sebagai kata sesat atau kesesatan. Jadi apa iya, jika sunnah dimaknai sebagai lawan bidah, maka orang yang tidak menikah adalah bid’ah, dan jika bid’ah dimaknai sebagai kesesatan, maka ia (jomblo/yang memilih tidak menikah/belum juga menikah) adalah orang sesat

Kok mengerikan sekali, ya. Lalu, Kyai Husein pun mempertanyakan ulang, apa pula arti dari kata “bukan bagian dari aku?” Apakah ia berarti bukan pengikut nabi. Maka, jika nabi tidak pernah memakai elektronik, apa orang-orang yang memakainya sesat?  Dan ketika nabi makan kurma, apa yang tidak suka makan kurma itu sesat? Atau orang-orang saat ini yang menggunakan kendaraan bermesin untuk ke mana-mana, sedangkan di jaman nabi tidak ada, apa juga bid’ah lagi?

Mari kita refleksikan bersama. Bukankah hukum menikah tidak selamanya sunnah? Melainkan, hukum awalnya ialah mubah/diperbolehkan. Sedangkan menurut pandangan 4 madzab mengemukakan lima hukum nikah, yaitu wajib, haram, makruh, mustahab, dan mubah.

Pun, adanya keberagaman hukum fiqih juga terkait dengan situasi dan kondisi masing-masing individu, termasuk  kondisi  fisik, psikis, finansial, sosial, dan lain-lain. Selain itu, bukankah menjadi jomblo itu juga pilihan? Sebab alasan yang melatarbelakangi setiap orang pun bermacan-macam, yang itu tak bisa disamaratakan.

Selain itu, standar hidup yang ada di masyarakat pun bukan sesuatu yang bersifat alamiah/kodrati. Melainkan bentukan sosial, yang itu masih bisa dinegosiasi maupun didiskusikan sesuai dengan kondisi yang ada. Bagi Ibnu Jarir ath-Thabari seorang ulama besar, ahli tafsir, dan ahli hadis, termasuk salah satu tokoh Islam yang memutuskan tidak menikah hingga akhir hayatnya. Baginya, tidak menikah adalah pilihan.

Tentunya, pilihan untuk tidak menikah juga berlaku untuk semua orang. Siapa pun berhak atas pilihan hidupnya masing-masing, selama itu tidak merugikan orang lain. Asal dilakukan atas kesadaran diri, siap dengan segala konsekuensinya, dan tentunya tanpa intervensi dari pihak mana pun.  Toh, prinsip hidup setiap orang pun berbeda-beda, dan menjadi jomblo pun halal.

Selain itu, tidak ada ayat yang secara general menyebutkan kalau menjomblo itu haram atau bahkan dilarang agama. Lalu, kata siapa kebahagiaan hanya milik mereka yang sudah  berpasangan? Tentu saja,  seseorang yang sudah memiliki pasangan belum tentu hidupnya bergelimangan kebahagiaan. Pun sebaliknya. Sebab, kebahagiaan maupun kesedihan adalah milik setiap insan yang bernyawa.

Seperti yang ditulis oleh Mark Manson dalam bukunya Seni Bersikap Bodo Amat, “Hidup yang baik dan bahagia bisa dirasakan jika seseorang bisa bodo amat pada hal-hal yang memang sepantasnya diabaikan”. Terakhir, dikutip dari Dr. Fahrudin Faiz, Terlahir menjadi manusia itu takdir, tetapi memanusiakan manusia itu pilihan. Wallahua’lam []

 

 

 

 

Tags: GenderjomblokeadilanKesehatan MentalKesetaraanperempuanperkawinanRelasi
Septia Annur Rizkia

Septia Annur Rizkia

Biasa dipanggil Rizka. Salah satu anggota Puan Menulis, dan pekerja teks komersial.

Terkait Posts

Pengasuhan Anak

Jalan Tengah Pengasuhan Anak

28 Maret 2023
Sittin al-‘Adliyah

Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Pentingnya Menjaga Kesehatan Mental

27 Maret 2023
Profil Gender

Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja

27 Maret 2023
Target Ibadah Ramadan

3 Tips Jika Target Ibadah Ramadan Berhenti di Tengah Jalan

25 Maret 2023
Memilih Childfree

Salahkah Memilih Childfree?

24 Maret 2023
Rukhsah bagi Ibu Hamil dan Menyusui

Rukhsah bagi Ibu Hamil dan Menyusui Saat Ramadan

23 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Tradisi di Bulan Ramadan

    Menggali Nilai-nilai Tradisi di Bulan Ramadan yang Mulia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Flexing Ibadah selama Ramadan, Bolehkah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Pinatih: Sosok Ulama Perempuan Perekat Kerukunan Antarumat di Gresik

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Piagam Madinah: Prinsip Hidup Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Puasa Dalam Perspektif Psikologi dan Pentingnya Pengendalian Diri

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Islam Pada Awalnya Asing
  • Jalan Tengah Pengasuhan Anak
  • Imam Malik: Sosok yang Mengapresiasi Tradisi Lokal
  • Mengapa Menjadi Bapak Rumah Tangga Dianggap Rendah?
  • Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Prinsip Kasih Sayang Itu Timbal Balik

Komentar Terbaru

  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist