Relasi yang Ma’ruf
Islam mengajarkan suami-isteri membangun relasi yang baik dan patut (ma’ruf) sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran surah an-Nisa’/4:19:
يا أيها الدْين أمنوا لا يحل لكم أن ترثوا النساء كرها ولا تعضلو هن لتدْهبوا ببعض ما أتيتمو هن الا أن ياْتين بفا حشة مبينة وعا شروهن بالمعروف فان كرهتموهن فعسى أن تكرهواشياْ ويجعل الله فيه خيرا كثيرا
“Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu menjadikan perempuan sebagai benda warisan secara paksa. Dan janganlah kamu menyengsarakan mereka dengan tujuan mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali mereka melakukan kekejian yang nyata, dan bergaulah dengan mereka secara makruf (patut), kemudian jika kamu membenci mereka maka boleh jadi kamu membenci sesuatu hal padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Izin suami diperlukan jika tindakan isteri terkait langsung dengan hak suami, kesepakatan bersama, atau kemaslahatan keluarga. Isteri yang mau puasa sunnah perlu izin suami (jika suami di rumah) agar suami tidak mengajaknya hubungan badan saat isteri berpuasa.
Puasa Ramadhan tidak perlu izin suami karena itu berkaitan langsung dengan perintah Allah pada setiap orang beriman. Berbuat baik kepada orang tua pun tidak harus izin kepada suami kecuali jika perbuatan baik itu terkait dengan hak suami, seperti meninggalkan rumah untuk beberapa waktu, menggunakan dana keluarga dan mengajak serta anak. Bersedekah, berinfak dijalan Allah yang menggunakan harta isteri sendiri tidak wajib izin suami.
Izin suami juga tidak boleh menghalangi perlindungan terhadap maqashidus-syari’ah (tujuan syari’at), dimana ajaran Islam diorentasikan, yakni perlindungan terhadap agama, jiwa, harta, akal, kehormatan dan keturunan.
Maka, andaikata seorang isteri melihat anaknya kelaparan dan ia bisa menyelamatkannya dengan memakai uang suaminya, isteri itu boleh memakai sesuai dengan kebutuhan. Yang penting anaknya selamat dulu.
Demikian pula jika anaknya sakit atau isteri mau melahirkan. Langkah penyelamatan jiwa wajib ditempuh dan tidak boleh terkendala izin suami yang entah ada di mana. Rasulullah Saw. Pernah menyarankan Hindun mengambil uang suaminya untuk kecukupan nafkahnya dengan cara yang baik karena suaminya pelit. Ini adalah hadis sahih riwayat Bukhari.
Demikianlah agama ini memudahkan dan memanusiakan manusia. Dalam Al-Quran surah al-Hajj/22:78 disebutkan:
وجا هدوا في الله حق جهاده هوا جتباكم وما جعل عليكم في الدين من خرج
“Dan berjuanglah di jalan Allah dengan sebenar-benarnya perjuangan, Dia telah memilih kamu, dan Dia tidak menjadikan atas kamu dalam agama ini sedikit pun kesempitan.”
Dan dalam surah al-Isra’/17:70 Alloh berfirman:
ولقد كرمنا بنى أدم وحملنا هم في البر والبحرورزقناهم من الطيبات وفضلناهم على كثيرا ممن خلقنا تفضيلا
“Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam. Dan Kami telah menampungnya di darat dan laut. Dan Kami telah memberinya rizqi dari yang baik-baik. Dan Kami telah membuatnya lebih utama yang sebenar-benarnya atas sebagian banyak makhluk yang Kami ciptakan.”
Agama juga tidak membebani manusia, termasuk isteri, melakukan hal di luar batas kemampuan. Dalam Al-Qur’an surah al-Baqarah/2:286 dinyatakan:
والوالدت يرضعن أولدهن حولين كاملين لمن أرادا أن يتم الرضاعة وعلى المولود له رزقهن وكسوتهن بالمعروف لاتكلف نفس الآ وسعها
“Dan mereka (para isteri) yang melahirkan dan menyusui anaknya dalam dua tahun penuh bagi yang berkehendak menyempurnakan persusuan. Dan (wajib) atas dia (suami) yang untuknya anak dilahirkan memberi mereka rizqi (pangan) dan memberinya pakaian secara baik. Suatu jiwa tidak akan dibebani kecuali sekadar kemampuannya.”
استوصوا بالنساء خيرا
“Dapatkan wasiat (berbuat) kebaikan terhadap kaum perempuan (para isteri)”.
Adanya ajaran tentang perlunya izin suami adalah untuk mewujudkan kebaikan, kemaslahatan dan keharmonisan keluarga dalam rangka ibadah kepada Allah. Maka, kalau faktanya izin suami menjadi sesuatu yang tidak manusiawi atau bertabrakan dengan perintah Allah, jelas itu bukan Islam.
Para isteri semestinya juga cerdas mendudukan ajaran yang tujuannya baik dan benar ini agar penerapannya tidak melanggar prinsip agama itu sendiri karena tidak manusiawi. Wallahu a’lam. []
*) Artikel yang sama pernah dimuat di Majalah Noor