Mubadalah.id – Kasus pernikahan anak kembali menjadi perbincangan hangat setelah viralnya prosesi Merariq Kodek (merariq: pernikahan dan kodek: kecil) di desa Beraim, Praya, Lombok Tengah, NTB. Dalam beberapa hari terakhir, media sosial diramaikan dengan video nyongkolan (arak-arakan) pernikahan anak yang masih berstatus pelajar kelas 1 SMP dan 1 SMK.
Yang membuat kasus ini semakin kontroversial adalah adanya upaya pencegahan dari aparat desa yang berulang kali mencoba menggagalkan pernikahan tersebut. Tak hanya itu, meskipun ada larangan resmi, keluarga tetap menggelar prosesi nyongkolan secara besar-besaran, yang akhirnya memicu laporan ke pihak berwenang.
Reaksi Keras Netizen terhadap Merariq Kodek
Viralnya pernikahan anak ini memicu reaksi keras dari netizen yang sadar akan bahaya pernikahan dini. Banyak warganet yang mengecam praktik ini sebagai bentuk pelanggaran hak anak dan kemunduran dalam perlindungan anak di Indonesia.
Beberapa komentar di media sosial menunjukkan keprihatinan terhadap kesiapan mental mempelai perempuan, yang dalam beberapa video terlihat tidak stabil, berjoget saat menuju pelaminan, dan bahkan meneriaki amaqnya (ayah) dengan keras. Banyak netizen mempertanyakan apakah pernikahan ini benar-benar atas kehendak anak tersebut atau karena tekanan sosial dan adat.
Ada ribuan komentar di berbagai platform media sosial yang menyoroti kasus ini, seperti “Ujung-ujungna jari bebalu! (pada akhirnya akan jadi janda!)“, malah dinormalisasikan dengan alasan takut berbuat zina”, “Anak-anak harusnya sekolah, bukan menikah!”, dan “sudah tahu di bawah umur, malah keluarga mengadakan nyongkolan”. Ini adalah beberapa di antara komentar yang tidak sepakat dengan pernikahan anak di bawah umur.
Walau begitu, banyak juga komentar yang membela pernikahan anak di bawah umur. Beberapa komentar tersebut adalah, “dari pada zina, mending menikah” atau “lebih baik nikah di bawah umur daripada hamil dulu baru nikah.”
Bagaimana Viralitas Mempengaruhi Persepsi Masyarakat?
Pernikahan anak yang berulang kali muncul di media sosial tanpa narasi yang kritis bisa membentuk pemahaman yang keliru di Masyarakat, yaitu;
Pertama, normalisasi dan legitimasi sosial. Ketika kasus pernikahan anak sering muncul di media tanpa kritik yang tajam, masyarakat bisa mulai melihatnya sebagai sesuatu yang biasa. Bahkan, lambat laun malah menjadi bagian dari kehidupan yang “tak terhindarkan.”
Kedua, adanya tekanan sosial terhadap anak dan keluarganya. Kasus pernikahan anak yang viral sering kali tidak hanya berdampak pada individu yang menikah, tetapi juga pada orang-orang di sekitar mereka. Anak yang menikah di usia muda bisa mengalami tekanan besar dari masyarakat, terutama setelah kisah mereka menjadi konsumsi publik.
Ketiga, minimnya kesadaran hukum. Indonesia memiliki UU Perkawinan No. 16 tahun 2019 yang menetapkan usia minimum 19 tahun bagi seseorang untuk menikah. Bahkan, menurut BKKBN, usia ideal untuk menikah adalah 21 untuk perempuan dan 25 untuk laki-laki. Namun, banyak masyarakat yang masih menganggap bahwa menikahkan anak adalah keputusan pribadi yang sah.
Upaya Pencegahan yang Gagal dan Kontroversi Nyongkolan
Dalam kasus merarik kodek ini, berdasarkan informasi dari ketua LPA Mataram, Joko Dumadi, si anak perempuan sudah dua kali dilarikan (merariq) di bulan April dan bisa dipisahkan. Namun pada Mei ini, dilarikan lagi, hingga akhirnya menikah.
Yang menjadi perdebatan besar adalah prosesi nyongkolan (arak-arakan pengantin) secara besar-besaran dengan alat kesenian dan keramaian. Pemerintah desa sebenarnya telah mengeluarkan imbauan agar keluarga tidak melakukan prosesi ini secara terbuka. Hal ini untuk mencegah publikasi lebih luas atas pernikahan yang melanggar aturan. Namun, keluarga tetap bersikeras menggelar acara tersebut.
Menyikapi hal tersebut, Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram mengajukan laporan ke Polres Lombok Tengah setelah video nyongkolan viral di media sosial.
Pentingnya Edukasi Masyarakat tentang Pendidikan Seksual dan Penegakan Hukum
Salah satu faktor utama yang membuat pernikahan anak terus terjadi adalah kurangnya edukasi tentang kesehatan reproduksi dan hak anak. Pendidikan seksual yang komprehensif bisa membantu anak-anak memahami pentingnya kesiapan mental dan fisik sebelum menikah.
Selain itu, harus ada penegakan hukum yang lebih tegas untuk mencegah pernikahan anak. Saat ini, masih ada celah hukum yang memungkinkan pernikahan anak terjadi, seperti dispensasi pernikahan di bawah umur.
Regulasi yang lebih ketat dan sanksi bagi pihak yang memfasilitasi pernikahan anak bisa menjadi langkah penting dalam mengatasi masalah ini.
Sebuah Hikmah
Fenomena merariq kodek yang viral di Lombok menunjukkan betapa kuatnya pengaruh media dalam membentuk cara pandang masyarakat. Jika kita membiarkannya tanpa kritik dan edukasi yang cukup, viralitas kasus ini bisa membuat masyarakat menganggap praktik pernikahan anak sebagai sesuatu yang wajar.
Yang lebih mengkhawatirkan, meskipun aparat desa telah berusaha mencegah pernikahan anak, praktik ini tetap terjadi. Keluarga yang tetap melakukan prosesi nyongkolan walaupun sudah ada larangan semakin memperkuat kesan bahwa pernikahan anak bukanlah masalah besar. Padahal jelas bertentangan dengan hukum dan perlindungan anak.
Namun, di balik viralitas ini, kasus merariq kodek di Lombok membuka mata banyak orang tentang masih maraknya pernikahan anak di Indonesia dan perlunya tindakan nyata untuk mencegahnya. Kesadaran publik semakin meningkat, dengan banyak pihak—aktivis, pemerintah, akademisi, dan masyarakat luas—ikut mengkritisi serta mendorong perubahan kebijakan. []