Mubadalah.id – Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka baru saja dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia yang baru.
Pada malam harinya, Presiden Prabowo mengumumkan daftar nama jajaran Menteri dan Wakil Menteri yang akan membantunya di pemerintahan.
Kementerian untuk periode 2024-2029 mengalami peningkatan secara jumlah yakni ada 53 Menteri dan pejabat setingkat Menteri. Sementara di era Jokowi yang hanya memiliki 34 kementerian.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman menyebutkan bahwa penambahan kementerian adalah sebuah hal yang wajar mengingat Indonesia adalah Negara yang besar. (dipantau dari YouTube Investor Daily TV saat forum BNI Investor Daily Summit 2024)
Benarkah demikian? Sejumlah pakar menganggap penambahan Kementerian berpotensi membuat pemerintahan kurang efektif dan dapat memperlambat pengambilan keputusan. Selain itu tentu saja akan menambah beban belanja Negara.
Menteri Tambah Banyak, Keterwakilan Perempuan Makin Minim
Kementerian era Presiden Prabowo semakin menggemuk, namun mirisnya jumlah menteri perempuan semakin mengalami penurunan dari periode sebelumnya.
Pada Kabinet Merah Putih hanya ada lima menteri perempuan dari 53 menteri dan pejabat setingkat menteri. Jumlah tersebut menunjukkan keterlibatan perempuan hanya menempati kurang dari 10 persen di posisi strategis pemerintahan.
Sementara pada era kepemimpinan Jokowi periode pertama ada Sembilan menteri perempuan dan menjadi yang terbanyak sepanjang sejarah Indonesia, walaupun pada periode kedua Jokowi hanya ada lima menteri perempuan.
Keterlibatan perempuan di kabinet Merah-Putih terbilang sangat minim dibandingkan dengan era Jokowi yang hanya ada 34 menteri.
Lima menteri perempuan di kabinet Merah-Putih adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana, Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Arifatul Choiri Fauzi dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Rini Widyantini.
Minimnya keterlibatan perempuan di posisi strategis pemerintahan tentu saja masih jauh dari janji Presiden Prabowo yang akan mewujudkan kesetaraan gender.
Saat debat Capres-Cawapres pada 4 Februari 2024, Prabowo mengatakan jika terpilih sebagai presiden maka ia akan mendorong upaya-upaya kesetaraan gender termasuk di bidang politik dengan menempatkan perempuan di posisi penting pemerintahan.
Pernyataan tersebut jauh dari kenyataan saat ini yang hanya menempatkan perempuan di lima kementerian. Lalu kesetaraan gender seperti apa yang akan dicapai oleh Presiden Prabowo selama lima tahun mendatang?
Rentan Lahirnya Kebijakan yang Tidak Inklusif
Rahayu Saraswati selaku juru bicara Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran pernah mengatakan bahwa pihaknya pihaknya akan mendorong penguatan kesetaraan gender dan perlindungan hak perempuan, anak, dan penyandang disabilitas.
Ia mengungkapkan bahwa pemerintah harus menghapus diskriminasi gender dan mendorong kebijakan yang inisiatif untuk melindungi hak-hak perempuan dan penyandang disabilitas termasuk pendidikan, pekerjaan, dan partisipasi politik. (melansir dari Kompas.com).
Berdasarkan jumlah menteri perempuan saat ini tentu saja dikhawatirkan akan lahir kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada kelompok rentan karena kurang terwakilkannya suara mereka. Hal tersebut menunjukkan bagaimana janji-janji saat masa kampanye hanyalah sekedar janji tanpa bukti.
Seperti halnya pada pemerintahan Jokowi yang banyak melahirkan Undang-Undang yang tidak berpihak kepada masyarakat tapi pada segelintir elit. Sedangkan Undang-Undang yang melindungi kelompok rentan seperti RUU PPRT dan RUU Masyarakat Adat tidak kunjung disahkan.
Hal serupa diduga kuat juga akan terjadi di era pemerintahan Prabowo-Gibran karena terbatasnya kesempatan kelompok rentan untuk berpartisipasi dalam bidang politik maupun pemerintahan. Apalagi jika orang-orang yang duduk di kursi pemerintahan bukan ahli di bidangnya.
Perempuan dan anak termasuk dalam kelompok rentan yang akan menghadapi banyak masalah dengan kebijakan pemerintah yang tidak inklusif. Namun melahirkan kebijakan yang inklusif tentu saja akan sulit di tengah pemerintahan saat ini yang termasuk maskulin.
Kepemimpinan Perempuan
Padahal kepemimpinan perempuan baik di sektor swasta maupun publik sangat penting bagi kesejahteraan bangsa. Berdasarkan riset oleh lembaga McKinsey tahun 2018-2021, mengatakan bahwa kepemimpinan perempuan mampu menciptakan organisasi yang lebih sehat, egaliter, serta menghasilkan keputusan yang komprehensif dan inklusif karena melihat dari berbagai aspek.
Jumlah perempuan di kabinet Merah-Putih yang tidak seimbang dengan laki-laki menunjukkan bahwa perempuan masih dimarjinalkan dan hanya dianggap sebagai pelengkap.
Seharusnya lebih banyak keterlibatan perempuan yang kita tempatkan di posisi strategis pemerintahan untuk mewujudkan Indonesia bebas dari kemiskinan, stunting, dan swasembada pangan. Hal itu sebagaimana yang Prabowo sampaikan dalam pidato pelantikannya.
Partisipasi dan kepemimpinan perempuan yang setara dalam kehidupan politik dan publik sangat penting untuk mencapai tujuan Indonesia emas pada 2045.
Berdasarkan jumlah menteri perempuan di era Prabowo-Gibran menunjukkan bagaimana pemimpin Indonesia saat ini masih sangat patriarkal. Presiden Prabowo menempatkan banyak laki-laki di posisi strategis. Perempuan yang menduduki kursi menteri saat ini juga dari golongan elite yang dekat dengan kekuasaan.
Jadi apakah kita masih bisa berharap akan ada kebijakan yang inklusif dan mewujudkan kesetaraan gender? []