Mubadalah.id – Saya masih sulit membayangkan bahwa di zaman ini masih ada pernikahan yang dilatarbelakangi oleh perjodohan. Menurut saya, di zaman yang dipenuhi dengan kecanggihan teknologi dan keterbukaan informasi seperti sekarang, perjodohan tak lagi relevan.
Setiap orang di zaman ini memiliki kemudahan akses untuk menentukan dan menyuarakan pilihan, termasuk memilih pasangan hidup. Pernyataan seperti, “Ini bukan lagi zaman Siti Nurbaya!” atau “memangnya saya Siti Nurbaya!”, kerap muncul untuk menyuarakan ketidaksetujuan orang-orang terhadap praktik perjodohan.
Namun, setelah saya menonton My Lecturer Husband, saya heran dan jadi bertanya-tanya. Kok masih ada drama percintaan ala milenial yang mengusung tema perjodohan? Realitas perjodohan seperti apa yang ditampilkan di dalamnya? Didorong rasa penasaran, akhirnya saya putuskan untuk menonton episode demi episode drama yang satu ini.
My Lecturer Husband adalah serial drama-web Indonesia terbaru yang memiliki banyak sekali penggemar. Drama ini memang berbeda dan lebih ‘berkelas’ dibandingkan drama lainnya karena dibintangi aktor papan atas, Reza Rahardian. Seperti opera sabun lainnya di Indonesia, My Lecturer Husband juga menawarkan kisah yang berbelit-belit dengan lakon yang sentimental tetapi dihiasi banyak sekali unsur komedi.
Inggit, nama tokoh utama drama ini, merupakan seorang mahasiswi yang pada awalnya hidup normal seperti remaja seusianya. Ia cantik, ceria, dan tergolong pintar. Ia memiliki pacar yang selalu menyemangatinya dan ia juga memiliki sahabat-sahabat yang selalu mendukungnya.
Selain sebagai mahasiswi, Inggit juga bekerja paruh waktu pada sebuah kafe sebagai barista. Kehidupan Inggit berjalan mulus sampai pada suatu hari ibunya menyuruh Inggit pulang ke kampung halamannya, yakni Yogyakarta karena sang ayah sedang sakit.
Sesampainya Inggit di Yogyakarta, sang ayah memberikan permintaan yang menurut Inggit sendiri tidak masuk akal. Ayah yang sedang sakit malah menyuruh Inggit untuk menemui seseorang yang akan menjadi suaminya. Demi memenuhi permintaan sang ayah yang sedang sakit, Inggit pun menemui laki-laki yang akan dijodohkan dengan dirinya. Alangkah terkejutnya Inggit, laki-laki itu adalah dosen killer yang sangat ia benci di kampus.
Inggit digambarkan berasal dari keluarga Jawa tulen. Hal ini dapat ditinjau melalui aksen Jawa kental saat dialog kedua orang tuanya. Selain itu, setting dan perabotan rumah orang tuanya dibuat semirip mungkin dengan nuansa Jawa. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam masyarakat Jawa, pemilihan jodoh dan perkawinan menjadi urusan orang tua.
Oleh karenanya, bukan tanpa alasan, tokoh Inggit dalam My Lecturer Husband digambarkan tidak dapat menolak permintaan sang Ayah. Hal ini sebagai bentuk dari pengabdian dan kepatuhannya kepada orang tua sesuai dengan kultur masyarakat Jawa.
Praktik perjodohan memang telah mengakar kuat dalam kultur masyarakat kita. Perjodohan merupakan pemilihan calon istri-suami yang ditentukan oleh kuasa pihak-pihak tertentu seperti orang tua atau kerabat yang dituakan sesuai dengan nilai-nilai tradisi yang dipegang.
Perjodohan banyak diusung menjadi tema utama di dalam berbagai produk budaya popular, seperti novel, film, bahkan lagu. Novel-novel terbitan jadul banyak membahas tentang praktik perjodohan. Sitti Nurbaya misalnya, yang merupakan novel fenomenal bertemakan perjodohan karya Marah Rusli. Bahkan tokoh Sitti Nurbaya sering diasosiasikan dengan perempuan yang menjadi korban dari praktik perjodohan yang dilakukan orang tuanya.
Novel lain yang membicarakan tentang perjodohan adalah novel-novel karya Buya Hamka seperti Tenggelamnya Kapal Van der Wijk yang juga menggambarkan tragedi yang dialami tokoh utama akibat perjodohan. Kedua novel tersebut sama-sama membicarakan tentang kultur masyarakat Minang Kabau pada saat itu dalam melaksanakan praktik perjodohan. Kesamaan antara kedua novel fenomenal di atas adalah kegagalan dan kemalangan yang dialami oleh tokoh utamanya karena perjodohan.
Namun, berbeda dengan dua novel yang telah saya baca tentang perjodohan di atas, my Lecturer Husband bukan berisi tentang tragedi yang diakibatkan oleh perjodohan. Menonton tema perjodohan dalam My Lecturer Husband membawa kita dalam suasana ceria, riang, dan happy. Seolah tidak ada masalah dan kendala terkait perjodohan yang dialami tokoh utama. Semuanya tampak sempurna dalam setiap framing penceritaannya.
Inggit yang masih belasan tahun dijodohkan dengan seorang dosen muda yang tampan dan baik hati. Meski pada awalnya ia tidak suka karena rasa cintanya pada sang pacar, namun lama kelamaan Inggrit mulai menaruh perasaan pada suami pilihan orang tuanya. Konflik yang disajikan dalam setiap episodenya juga cenderung monoton. Hanya seputaran perasaan Inggit yang plin plan memilih antara suami dan pacarnya.
Sang suami pun selalu menjadi pihak yang dapat menolong dan mengatasi konflik batin yang dialami Inggit. Semua begitu sempurna dan ringan. Tidak tampak adanya kemalangan ataupun kesedihan mendalam seperti novel-novel sebelumnya tentang perjodohan yang telah saya baca.
My Lecturer Husband sepertinya ingin mengusung tema perjodohan ala ‘zaman now’. Jika selama ini praktik perjodohan merupakan ‘momok’ bagi sebagian anak muda, maka berbeda dengan yang diusung drama yang satu ini. My Lecturer Husband menawarkan mimpi-mimpi perjodohan yang happy ending.
Tema perjodohan dalam drama ini seolah-olah mengingkari kultur patriarki yang masih membelenggu kaum perempuan dalam masyarakat kita. Padahal perjodohan sangat dipengaruhi oleh kepentingan di dalamnya, terkadang kepentingan orang tua jauh lebih besar dari si anak. Sehingga yang terjadi adalah banyak ketidakadilan yang terjadi dalam praktek perjodohan.
Perempuan adalah pihak yang paling banyak dirugikan saat melakukan perkawinan yang didasarkan perjodohan. Perempuan terpaksa menikah dengan laki-laki yang tidak ia kenal. Ia harus menjadi istri bagi laki-laki yang asing baginya.
Hal ini berdampak pada kehidupan rumah tangganya kelak. Tidak jarang terjadi percekcokan, perselingkuhan, bahkan KDRT dalam rumah tangga. Dan lagi-lagi dalam kultur patriarki, perempuanlah pihak yang harus ‘manut’ dan dipersalahkan atas kegagalan rumah tangga.
Maka, menurut hemat saya, perjodohan dalam realitas masyarakat tak seindah dalam My Lecturer Husband. Sudah semestinya produk budaya zaman sekarang lebih vokal untuk menyuarakan kultur patriarki yang cenderung tidak adil gender dalam masyarakat. Novel-novelnya Marah Rusli dan Hamka saja sudah berani lantang dalam mengkritisi patriarki, mengapa sekarang malah ‘manut’? []