Mubadalah.id – Pada kesempatan kali ini, seiring dengan datangnya bulan Ramadan 1446 H ini, penulis akan membahas tentang puasa yang saya ambil dari kitab “Fiqh Shiyam” karya Dr. Muhammad Hasan Hitou. Dr. Hitou merupakan seorang pakar fiqh yang sangat dihormati di masanya. Beliau terkenal dengan berbagai karya literatur ilmiah yang mendalam.
Beliau tidak hanya berperan sebagai akademisi dan guru besar di Universitas Kuwait, namun juga seorang faqih dan ushuliyyah yang mendirikan Universitas al-Imam as-Syafi’i di Cianjur, Jawa Barat. Kitab “Fiqh Shiyam” karya Dr. Hitou memiliki keunikan tersendiri dalam membahas puasa. Tidak hanya menguraikan hukum-hukum fikih terkait puasa, tetapi juga mengkritisi kebiasaan masyarakat yang berkembang seputar puasa.
Dalam pembahasan ini, penulis akan menguraikan berbagai aspek penting dari kitab tersebut. Mulai dari definisi puasa menurut fikih, hukum-hukum terkait puasa, hingga kebiasaan masyarakat yang sering kali berbeda dengan ajaran yang benar.
Makna Puasa dalam Perspektif Fikih
Puasa dalam pengertian umum sering kita anggap sebagai tindakan menahan diri dari berbagai hal yang membatalkan puasa, seperti makan, minum, dan hubungan suami istri. Namun, dalam kitab “Fiqh Shiyam” yang Dr. Hasan Hitou tuliskan puasa memiliki dimensi yang lebih luas.
Puasa tidak hanya sebatas menahan diri dari hal-hal yang bersifat fisik. Tetapi juga mencakup pengendalian diri dalam aspek-aspek lain yang bersifat psikologis dan spiritual.
Dalam definisi fikih, puasa kita sebut dengan ungkapan “imsak mahshushin, an syai’ mahsushin, fii zaman mahshushin min syakhshin mahshushin”. Artinya menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa dalam waktu dan keadaan yang spesifik. Ini menunjukkan bahwa puasa dalam ajaran Islam memiliki aturan yang sangat rinci dan terperinci. Baik dalam tata cara pelaksanaan, waktu pelaksanaan, hingga objek yang membatalkan puasa.
Sebagai contoh, kewajiban puasa Ramadan hanya ada pada bulan Ramadan. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 185 yang menyatakan bahwa umat Islam diwajibkan untuk berpuasa di bulan Ramadan.
Artinya, puasa ini memiliki waktu yang tertentu dan tidak boleh kita laksanakan pada bulan lain kecuali dengan alasan tertentu yang diatur dalam fiqh, seperti puasa sunnah. Dengan demikian, pemahaman yang mendalam tentang puasa sangat penting, karena hal ini menyangkut aspek spiritual dan hukum yang harus terpahami dengan benar oleh setiap Muslim.
Aspek Hukum dan Etika dalam Puasa
Selain pemahaman dasar tentang makna puasa, kitab “Fiqh Shiyam” juga mengupas tuntas aspek-aspek hukum yang terkait dengan puasa. Dalam Islam, puasa tidak hanya sekadar tindakan fisik menahan diri dari makan dan minum. Tetapi juga berkaitan dengan etika dan tata cara yang benar dalam menjalankan ibadah puasa.
Misalnya, salah satu kesalahan yang sering terjadi dalam masyarakat adalah pemahaman yang keliru terkait waktu imsak. Banyak orang yang beranggapan bahwa mereka masih boleh makan dan minum hingga azan subuh selesai. Padahal sebenarnya imsak dimulai saat fajar terbit, yang berarti makan dan minum sudah tidak dibolehkan lagi sejak saat itu.
Selain itu, kitab ini juga membahas tentang kebiasaan masyarakat yang sering kali menganggap tidur sebagai bagian dari ibadah sunnah dalam puasa. Meskipun tidur bisa memberikan istirahat fisik yang kita butuhkan. Namun tidur yang berlebihan dan tidak produktif justru bisa mengurangi kualitas ibadah puasa itu sendiri.
Puasa seharusnya membawa dampak positif dalam kehidupan seorang Muslim. Bukan hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga meningkatkan ketakwaan dan kedekatan dengan Allah SWT. Oleh karena itu, tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan etika puasa, seperti makan dan minum di luar waktu yang dibolehkan atau tidur berlebihan, perlu kita perbaiki agar puasa yang kita jalankan menjadi lebih berkualitas.
Kritik terhadap Kebiasaan Masyarakat dalam Berpuasa
Dr. Hasan Hitou juga memberikan kritik terhadap kebiasaan-kebiasaan yang berkembang di masyarakat seputar pelaksanaan puasa. Dalam masyarakat tertentu, ada anggapan bahwa beberapa hal yang sebenarnya tidak dibenarkan dalam syariat justru kita anggap sebagai bagian dari ibadah puasa.
Misalnya, ada pandangan yang menganggap bahwa azan subuh masih memberi kesempatan bagi seseorang untuk makan dan minum hingga adzan selesai. Padahal hal tersebut bertentangan dengan ketentuan dalam fikih.
Dalam kitab ini, Dr. Hitou mengajak umat Islam untuk memahami puasa secara benar dan sesuai dengan ajaran syariat Islam. Tujuannya agar ibadah puasa yang kita laksanakan tidak hanya sekadar rutinitas, tetapi benar-benar membawa berkah dan manfaat spiritual.
Selain itu, ada juga kebiasaan masyarakat yang sering kali menganggap bahwa tidur merupakan bagian dari ibadah sunnah selama bulan puasa. Padahal, meskipun tidur dapat menjadi waktu istirahat yang baik bagi tubuh, tidur yang berlebihan justru bisa mengganggu kualitas ibadah puasa.
Puasa seharusnya menjadi waktu untuk meningkatkan kesadaran spiritual, berdoa, membaca Al-Qur’an, dan melakukan amalan baik lainnya, bukan hanya sekadar waktu untuk tidur. Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk mengubah pola pikir dan kebiasaan yang tidak sesuai dengan tuntunan agama, agar puasa yang kita lakukan menjadi lebih bermakna.
Secara keseluruhan, kitab “Fiqh Shiyam” karya Dr. Muhammad Hasan Hitou memberikan wawasan yang sangat berharga dalam memahami puasa dari perspektif fikih yang lebih mendalam. Puasa bukan hanya sekadar menahan diri dari makan dan minum. Tetapi juga melibatkan pengendalian diri dalam berbagai aspek kehidupan.
Oleh karena itu, penting bagi setiap Muslim untuk memahami aturan-aturan fikih terkait puasa. Selain itu menghindari kebiasaan-kebiasaan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Dengan pemahaman yang benar, puasa akan menjadi ibadah yang membawa keberkahan dan meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT. []