Mubadalah.id – Di ranah keluarga ulama perempuan memiliki peluang besar membentuk kepribadian anak-anak, memberi bekal kepada mereka untuk memasuki kehidupan yang lebih luas dalam masyarakat dan membentuk keluarga sendiri.
Bahkan, ulama perempuan memiliki peluang untuk membentuk ruang keluarga yang memungkinkan pribadi-pribadi yang hidup di situ berkembang secara wajar menjadi sandaran jiwa. (Baca juga: Desakralisasi Rabi’ul Awwal: Melihat dan Meneladani Kemanusiaan Nabi)
Di ranah publik banyak ruang kosong yang tidak dapat diisi oleh fungsi keulamaan laki-laki. Kenyataan bahwa dari agama yang menganjurkan persatuan justru memisah-misahkan orang. Seperti, menganjurkan kasih sayang, tapi justru menimbulkan banyak peperangan yang menumpahkan banyak darah.
Lalu menganjurkan kelembutan, tetapi justru muncul daripadanya banyak orang-orang dengan sikat keras dan bengis dan seterusnya. (Baca juga: Menakar Kepemimpinan Tiga Calon Gubernur Perempuan untuk Masa Depan Jawa Timur)
Berperan dalam ruang publik yang sudah didominasi lak-laki tidak berarti ulama perempuan mesti bersaing, namun mengisi apa yang belum terisi.
Termasuk meluruskan yang menyimpang dan memberikan kelembutan, cinta, keteguhan, ketahanan (endurance). Juga soal kecermatan dan keindahan pada ajaran dan praktik-praktik agama yang mengedepankan ke-macho-an.
Setidak-tidaknya ada tiga kekuatan ulama perempuan yang tidak atau jarang laki-laki miliki seperti:
Pertama, ilmu agama yang peka terhadap adanya ketidakadilan dan “penindasan”. Kedua, kelembutan. Ketiga, kepemimpinan yang melindungi dan mencintai umat yang ia pimpin. []