• Login
  • Register
Minggu, 2 April 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Pemaksaan Perkawinan Harus Segera Diakhiri!

Saatnya kita mengambil peran untuk segera mengakhiri pemaksaan perkawinan dengan mengawal pembahasan dan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Siti Aminah Tardi Siti Aminah Tardi
30/05/2021
in Publik, Rekomendasi
0
Pemaksaan Perkawinan

Pemaksaan Perkawinan

209
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Kasus kekerasan seksual dalam bentuk eksploitasi seksual terhadap anak di Bekasi memasuki babak baru. Setelah sebelumnya selama sebulan tersangka AT (21) tidak memenuhi panggilan Kepolisian dan melarikan diri ke Bandung dan Cilacap.

Beberapa waktu lalu, keluarga tersangka melalui kuasa hukumnya Bambang Sunaryo menawarkan perkawinan antara tersangka dengan korban. “Saya berharap ini ya, kalau namanya urusan bahasa saya perzinahan apakah bisa kalau anak ini kita nikahkan, supaya tidak menanggung dosa, kalau memungkinkan kita nikahkan saja kan gitu,” alasan dibalik tawaran perkawinan tersebut. (Kompas.com 25/5/2021)

Salah satu hambatan pemenuhan hak korban kekerasan seksual atas keadilan, kebenaran dan pemulihan adalah kerapnya keluarga, masyarakat, aparat desa, aparat pemerintah dan aparat penegak hukum mendorong penyelesaian secara kekeluargaan atau biasa disebut dengan “jalan damai”. Terlebih jika korban mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki, atau pelakunya adalah pacar atau seusia korban. Salah satunya melalui cara mengawinkan korban dan pelaku dengan tujuan menghapuskan dosa, menutup aib keluarga, menjaga nama baik keluarga atau mencegah tercemarnya desa atau komunitas.

Dampak dari penyelesaian ini dapat dipastikan tidak akan menguntungkan korban, karena sendari awal korban tidak menjadi pihak penentu utama bagaimana kasusnya diselesaikan. Dalam banyak kasus, suara perempuan korban lebih banyak diwakili oleh ayah, saudara laki-laki, paman atau perwakilan keluarga besar yang memiliki pengaruh. Kita kerap luput mendengarkan suara, kepentingan atau perasaan korban sendiri.

Padahal kekerasan seksual menimbulkan dampak traumatik yang membutuhkan waktu panjang untuk pemulihannya. Korban dipaksa untuk hidup bersama dengan pemerkosanya, maka kekerasan seksual akan kembali terjadi dan bersembunyi di dalam lembaga perkawinan.  Korban tidak akan memiliki waktu untuk memulihkan diri, bahkan bisa semakin terisolasi dan kehilangan hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan dan hak dasar lainnya.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Kasus KDRT: Praktik Mikul Dhuwur Mendem Jero yang Salah Tempat
  • Dalam Relasi Pernikahan, Perempuan Harus Menjadi Subjek Utuh
  • Kerja Sama dengan Suami Bisa Menjadi Resep Awet Muda Istri
  • Dalam Al-Qur’an, Laki-laki dan Perempuan Diperintahkan untuk Bekerja

Baca Juga:

Kasus KDRT: Praktik Mikul Dhuwur Mendem Jero yang Salah Tempat

Dalam Relasi Pernikahan, Perempuan Harus Menjadi Subjek Utuh

Kerja Sama dengan Suami Bisa Menjadi Resep Awet Muda Istri

Dalam Al-Qur’an, Laki-laki dan Perempuan Diperintahkan untuk Bekerja

Korban selain kehilangan hak atas keadilan dan hak pemulihan, juga kehilangan hak atas kebenaran. Korban kehilangan hak untuk membuktikan bahwa dirinya adalah korban, dan tidak boleh diperbersalahkan. Perkawinan dengan pelaku, justru menjadikan korban tersandera, dan berada dalam posisi yang semakin tersubordinat dan tidak berdaya di hadapan suami atau keluarga.

Situasi ini menunjukkan bahwa satu bentuk kekerasan seksual berpotensi menimbulkan bentuk kekerasan lainnya yaitu pemaksaan pekawinan (forced marriage). Namun, pemaksaan perkawinan sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan tidak terbatas pada perkawinan korban dengan pelaku pemerkosaan, namun memiliki berbagai tipe. Tulisan ini akan membahas tentang pemaksaan perkawinan, dan bagaimana kita harus menyudahinya. 

Pemaksaan Perkawinan (Forced Marriage)

Konvensi PBB tentang Persetujuan untuk Menikah, Usia Minimum Perkawinan dan Pencatatan Perkawinan (1964) mendefinisikan pemaksaan perkawinan sebagai “union of two persons, at least one of whom has not given their full and free consent to the marriage”. Perkawinan anak adalah salah satu bentuk perkawinan paksa, mengingat salah satu dan/atau kedua belah pihak belum mampu memberikan persetujuan secara penuh, bebas dan terinformasikan akan dampak perkawinan terhadap kehidupan mereka. Berbagai konvensi internasional maupun hukum nasional (UU HAM dan UU Perkawinan) memuat klausula yang kurang lebih sama, yaitu persetujuan yang bebas dan sepenuhnya untuk melangsungkan perkawinan.

Intinya pemaksaan perkawinan terletak pada dihilangkan hak untuk memutuskan menikah atau tidak, memilih dengan siapa (pasangannya) dan kapan melangsungkan perkawinan atas dasar persetujuan yang penuh. Perkawinan paksa terjadi ketika kekerasan atau paksaan digunakan untuk memanipulasi seseorang agar menyetujui pernikahan.

Bentuk kekerasan meliputi kekerasan fisik, kekerasan seksual, ancaman, penyekapan, penculikan, tekanan mental dan sosial dengan menggunakan pembenaran tafsir agama dan budaya sampai pembatasan gaya hidup, seperti pembatasan pergerakan, pergaulan, aturan berpakaian, pendidikan dan pilihan karir perempuan.

Sedangkan bentuk paksaan meliputi diantaranya dengan cara mempermalukan seseorang dan untuk menjaga reputasi keluarga adalah dengan menikah, penolakan menikah akan memengaruhi kesehatan dan kesejahteraan orang tuanya, ancaman dari orang tua, saudara kandung, atau anggota keluarga dekat untuk membunuh atau melukai diri sendiri jika pernikahan tidak terjadi atau jika menolak akan memengaruhi peluang masa depan saudaranya untuk menikah. Paksaan ini menggunakan ikatan emosional antara anak dan orangtua/keluarga yang menyebabkan seseorang khususnya anak perempuan tidak mampu mengekpresikan pendapatnya atau ketidaksetujuannya.

The Forced Marriage Project (FMP) sebuah inisiatif untuk membangun kesadaran public akan pemaksaan perkawinan di Kanada, mengidentifikasikan tipe-tipe pemaksaan perkawinan, yaitu:

  1. Pemaksaan Perkawinan oleh Orang Tua, Keluarga dan Komunitas. Jenis ini yang paling umum terjadi ketika orang tua atau anggota keluarga lain memaksa salah satu atau kedua calon mempelai untuk menikah. Jenis kawin paksa ini biasanya didukung oleh masyarakat sekitar, membuatnya sulit untuk dihindari atau dihindari.
  2. Pemaksaan Perkawinan oleh Pemimpin Agama. Dalam jenis ini, salah satu atau kedua calon mempelai dipaksa oleh pemuka agama yang didukung oleh komunitas agamanya. Umumnya terjadi dalam komunitas yang terisolasi, dimana isolasi digunakan untuk memastikan yang dipaksa kawin memiliki sedikit atau tidak ada ikatan dengan dunia luar.
  3. Pemaksaan Perkawinan Paksa Konflik. Dalam pergolakan perang dan konflik, perempuan dan anak perempuan dipaksa menikahi laki-laki di kedua sisi konflik. Terjadi di Sierra Leone, Uganda dan Republik Demokratik Kongo. Secara historis, hal ini karena perempuan diperlakukan sebagai “pampasan perang” untuk diperkosa, dipaksa menjadi pelacur, dipaksa menikah oleh laki-laki yang menangkap mereka, atau diberikan sebagai hadiah kepada pemimpin yang lebih tinggi.
  4. Perdagangan untuk Tujuan Perkawinan Paksa. Ada perdagangan yang berkembang dalam perdagangan perempuan dan anak perempuan untuk tujuan kawin paksa. Perdagangan ini paling umum terjadi di negara-negara di mana rasio laki-laki terhadap perempuan telah diubah secara artifisial melalui aborsi selektif jenis berjenis kelamin perempuan, atau pembunuhan bayi perempuan. Jumlah perempuan yang tidak sebanding menyebabkan terjadinya perdagangan orang untuk dinikahi atau pengantin pesanan.
  5. Penculikan untuk Tujuan Perkawinan Paksa. Dalam banyak kasus, perempuan diculik oleh laki-laki yang ingin menikahinya, seringkali dengan bantuan sekelompok temannya. Ada juga sejumlah kasus internasional di mana perempuan dan anak perempuan diculik untuk dijadikan istri kedua dalam pernikahan poligami.
  6. Adopsi untuk Tujuan Perkawinan Paksa. Anak perempuan diadopsi dari luar negeri untuk menjadi istri kedua atau ketiga dalam pernikahan poligami.
  7. Perkawinan Paksa Melalui Perbudakan Turunan. Dalam kasus ini, pemilik budak memaksa budak yang diwarisi ke dalam perkawinan yang ditentukan oleh pemilik budak. Meskipun perbudakan itu sendiri ilegal, kurangnya penegakan hukum di beberapa daerah memungkinkan perbudakan berlanjut dengan semua pelanggaran yang menyertainya.
  8. Perkawinan Paksa oleh Pasangan. Pasangan yang melakukan kekerasan memaksa pasangannya untuk menikah melalui penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan.

Mengakhiri Pemaksaan Perkawinan Melalui RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Berdasarkan berbagai perkembangan pengaturan pemaksaan perkawinan baik di tingkat internasional, nasional dan pengalaman korban-korban kekerasan seperti diatas, maka Komnas Perempuan dan Forum Pengada Lembaga (2020) merekomendasikan pengaturan tentang pemaksaan perkawinan ini untuk diatur dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi tindak pidana pemaksaan perkawinan.

Pengaturan ini diperlukan karena pemaksaan perkawinan termasuk larangan perkawinan anak tidak ada sanksi yang dirumuskan. Kemudian diusulkan definisi tindak pidana pemaksaan perkawinan sebagai  perbuatan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, atau rangkaian kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan, penyesatan, tipu muslihat, pengambilan  manfaat  ekonomi  maupun  non-ekonomi,  atau  pembatasan  ruang  gerak, penyekapan, atau penculikan, sehingga seseorang tidak dapat memberikan persetujuan yang sesungguhnya,   melakukan   perkawinan   yang   bertentangan   dengan   hakikat   perkawinan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Termasuk pemaksaan perkawinan yaitu: (i) perkawinan anak; (ii) pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya dan (iii) pemaksaan perkawinan pelaku dengan korban kekerasan seksual.

Dengan melihat pada pemaksaan perkawinan di Bekasi, korban mengalami dua bentuk pemaksaan perkawinan yaitu perkawinan anak, dan pemaksaan perkawinan dengan pelaku perkosaan. Hal ini akan terus berlangsung jika negara tidak menyatakan secara tegas larangan pemaksaan perkawinan dengan alasan apapun. Saatnya kita mengambil peran untuk segera mengakhiri pemaksaan perkawinan dengan mengawal pembahasan dan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. []

 

Tags: Hukum IndonesiaPemaksaan Perkawinanperempuanperkawinanperkawinan anakRUU Pungkas
Siti Aminah Tardi

Siti Aminah Tardi

Penulis adalah Advokat Publik, penggiat penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Kini menjabat sebagai Komisioner Komnas Perempuan periode 2020-2024.

Terkait Posts

Manusia Pilihan Tuhan

Keheningan Laku Spiritualitas Manusia Pilihan Tuhan

2 April 2023
Sepak Bola Indonesia

Antara Israel, Gus Dur, dan Sepak Bola Indonesia

1 April 2023
Keberkahan Ramadan, Kemerdekaan Indonesia

Kemerdekaan Indonesia Bukti dari Keberkahan Ramadan

31 Maret 2023
Agama Perempuan Separuh Lelaki

Pantas Saja, Agama Perempuan Separuh Lelaki

31 Maret 2023
Konsep Ekoteologi

Konsep Ekoteologi; Upaya Pelestarian Alam

30 Maret 2023
Kontroversi Gus Dur

Kontroversi Gus Dur di Masa Lalu

30 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Anak Kehilangan Sosok Ayah

    Ketika Anak Kehilangan Sosok Ayah dalam Kehidupannya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Keheningan Laku Spiritualitas Manusia Pilihan Tuhan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mahar Adalah Simbol Cinta dan Komitmen Suami Kepada Istri

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menikah Harus Menjadi Tujuan Bersama, Suami Istri

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menikah Adalah Sarana untuk Melakukan Kebaikan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Ini Jumlah Mahar Pada Masa Nabi Muhammad Saw
  • Mahar Adalah Simbol Cinta dan Komitmen Suami Kepada Istri
  • Ketika Anak Kehilangan Sosok Ayah dalam Kehidupannya
  • Keheningan Laku Spiritualitas Manusia Pilihan Tuhan
  • Menikah Harus Menjadi Tujuan Bersama, Suami Istri

Komentar Terbaru

  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist