• Login
  • Register
Rabu, 9 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Aktual

Penceramah Harusnya Menyampaikan Pesan yang Santun, Sejuk dan Damai

Winarno Winarno
05/12/2018
in Aktual
0
Pesan yang Santun

Pesan yang Santun

36
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubaadalah.id – Sudah seharusnya seorang penceramah atau pendakwah menyampaikan pesan yang santun, sejuk dan damai. Rasulullah sebagai teladan juga mengajarkan manusia untuk berbuat baik terhadap sesama.

Aktivis muda, Mohamad Guntur Romli menilai, ceramah Bahar Smith bisa dikatakans sebagai fenomena yang disebut ilmu tanpa akhlak dan nasab tanpa adab. Menurutnya, ilmu tanpa akhlak ibaratkan seorang pencuri.

“Siapa yang meragukan pencuri punya ilmu? Bahkan ahli. Tapi ilmu dan keahliannya dipergunakan untuk mencuri. Semakin tinggi ilmu dan keahlian pencuri itu, maka ia makin berbahaya,” kata Gus Romli, panggilan akrabnya melalui statusnya di facebook, kemarin.

Menurutnya, nasab tanpa adab ibarat makanan yang secara lahirnya indah tapi rasanya busuk dan rusak. Gus Romli pun tak meragukan Bahar berilmu, tetapi yang disayangkan minus akhlaknya.

Bahar Smith harus berurusan dengan polisi karena ceramahnya. Dia pun mempertanyakan layakkah ucapannya menjadi bahan ceramah di sebuah majelis maulid yang mulia. Bukankah maulid adalah peringatan kelahiran Nabi Muhammad Saw yang dikenal sebagai manusia mulia penuh welas asih.

Baca Juga:

Intoleransi di Sukabumi: Ketika Salib diturunkan, Masih Relevankah Nilai Pancasila?

Menemukan Wajah Sejati Islam di Tengah Ancaman Intoleransi dan Diskriminasi

Islam Memuliakan Orang yang Bekerja

Islam Melawan Oligarki: Pelajaran dari Dakwah Nabi

“Bahkan Allah Swt tidak mengutus beliau (Nabi Muhammad) kecuali (tidak ada yang lain), menjadi rahmat, berkah, kasih sayang pada alam semesta,” tuturnya.

Pada satu hadits, Nabi Muhammad Saw pun menyatakan dirinya diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak. Innamaa bu’itstu li utammima makarimal akhlaq.

Akhlak lebih utama

Begitu pentingnya akhlak, ulama terdahulu memprioritaskan belajar akhlak lebih dulu dibanding belajar ilmu. Bahkan waktu untuk mempelajari akhlak lebih banyak daripada mencari ilmu.

Gus Romli mengutip seorang ahli hadits Ibnu Al-Mubarak Ra pernah memberikan pengakuan tentang generasi ulama salaf:

تعلمنا الأدب ثلاثين عاماً، وتعلمنا العلم عشرين عاما.

“Kami mempelajari adab selama 30 tahun, dan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun,” imbuhnya.

Lebih lanjut lagi, meskipun Imam Malik dan Ibnu Al-Mubarak ahli hadits yang artinya menguasai hadits-hadits Nabi namun menurut mereka akhlak paling utama yang dicari.

نحن إلى كثير من الأدب أحوج منا إلى كثير من الحديث”

“Kami lebih membutuhkan banyak adab daripada banyaknya hadis,” kutipnya.

Gus Romli mengakui tak diragukan pula Bahar Smith memiliki nasab yang mulia. Tapi apa arti nasab yang mulia tanpa adab. Gurunya pernah bilang, memiliki nasab yang mulia lebih dipahami sebagai tanggung jawab untuk menjaga kehormatan nasab daripada membanggakannya.

“Bukankah kemuliaan itu berdasarkan adab bukan karena nasab. Kemuliaan karena adab bukan karena nasab,” katanya.

Menurut dia, orang bisa dimuliakan karena adabnya, tapi orang yang hanya mengandalkan nasab tapi tidak punya adab tidak akan pernah dimuliakan. Ini pepatah yang sangat populer di kalangan bangsa Arab.

Merendahkan perempuan

Sementara itu, peneliti sekaligus penulis buku Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru (2011), Julia Suryakusuma mengatakan, ada unsur seksisme yang merendahkan perempuan, banci, dan waria dalam penggunaan kata “banci” sebagai makian di dunia politik Indonesia.

“Kata ‘banci’ bisa digunakan karena banci dinilai plin-plan. Tetapi, kenapa enggak pakai aja ‘plin-plan’? Kenapa harus pakai ‘banci’? Banci adalah seorang manusia yang punya hak hidup,” kata Julia mengutip tulisan Tirto.

Penggunaan kata “banci” oleh Habib Bahar, kata dia, hanya satu hal yang mencerminkan bahwa di era media sosial para tokoh publik berjibaku menggunakan kata-kata yang soundbite alias yang mudah menarik perhatian publik.

“Politik itu jadi asbun (asal bunyi) aja. Padahal, kalau ada orang pakai kata “banci”, berarti politikus kita krisis berpikir ini, ngga pakai otak,” tutup. (WIN)

Tags: adabagamaakhlakbahar bin smithGuntur RomliGus RomlihabibHaditsilmuislampenceramahpesan
Winarno

Winarno

Winarno, Alumni Pondok An-Nasucha, dan ISIF Cirebon Fakultas Usuluddin

Terkait Posts

Marzuki Wahid

Membongkar Narasi Sejarah Maskulin: Marzuki Wahid Angkat Dekolonisasi Ulama Perempuan

6 Juli 2025
Sejarah Ulama Perempuan

Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan: Samia Kotele Usung Penelitian Relasional, Bukan Ekstraktif

6 Juli 2025
Samia

Samia Kotele: Bongkar Warisan Kolonial dalam Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

6 Juli 2025
Ulama Perempuan

Menelusuri Jejak Ulama Perempuan Lewat Pendekatan Dekolonial

6 Juli 2025
Sejarah Ulama Perempuan ISIF

ISIF akan Gelar Halaqoh Nasional, Bongkar Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

5 Juli 2025
kekerasan seksual terhadap anak

Dr. Nur Rofiah Tegaskan Pentingnya Mengubah Cara Pandang untuk Hentikan Kekerasan Seksual pada Anak

18 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Pernikahan Tradisional

    Sadar Gender Tak Menjamin Bebas dari Pernikahan Tradisional

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kemanusiaan sebagai Fondasi dalam Relasi Sosial Antar Manusia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Pengalaman Biologis Perempuan Membatasi Ruang Geraknya?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Relasi Imam-Makmum Keluarga dalam Mubadalah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Melawan Perundungan dengan Asik dan Menyenangkan
  • Ketika Perempuan Tak Punya Hak atas Seksualitas
  • Relasi Imam-Makmum Keluarga dalam Mubadalah
  • Mengebiri Tubuh Perempuan
  • Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID