• Login
  • Register
Sabtu, 10 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Pengasuhan dan Pendidikan Dua Hal Penting dalam Pendewasaan Usia Perkawinan

Memperkuat dengan mengubah perspektif dan juga cara pandang perlu untuk kita lakukan agar perubahan yang terjadi untuk pendewasaan usia perkawinan jauh lebih mengakar

Nuril Qomariyah Nuril Qomariyah
22/12/2022
in Publik
0
Pendewasaan Usia Perkawinan

Pendewasaan Usia Perkawinan

629
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – “Jadi kalau di desa kami anak usia SMP, banyak enggan untuk melanjutkan. Karena lokasi dan akses jalannya yang sulit. Mereka sudah dipastikan akan mendapatkan wejangan dari tetangga, nganuah apa Bing/Cong, akabin bein lah (Mau ngapain nak, nikah aja sudah).

Jadi ya ini yang menyebabkan angka pengajuan dispensasi kawin tinggi.” Cerita ini penulis dengar dari anak muda dari salah satu desa yang menjadi binaan dan pendampingan pendewasaan usia perkawinan di kabupaten tempat penulis tinggal.

Masih tingginya angka perkawinan anak menjadi salah satu alasan kuat, mengapa isu ini menjadi salah satu pembahasan yang terus kita angkat dalam banyak kajian. Termasuk pada perhelatan KUPI II. Karena, sering kali para pelaku yang menghalalkan perkawinan anak, menggunakan dalil agama sebagai legitimasi membenarkan perbuatan mereka. Hadirnya fatwa KUPI menjadi landasan untuk memberikan alternatif pandangan terhadap dalil-dalil agama yang sering kita salah artikan untuk melanggengkan perkawinan anak.

Jika kita lihat dari cerita di awal tadi akar penyebab dari terjadinya perkawinan anak adalah selain karena faktor legitimasi agama dan budaya, juga sebab lingkungan. Baik itu lingkungan dalam arti sosial masyarakat, maupun lingkungan dari kontur alam yang ada di suatu daerah. Keduanya memiliki pengaruh yang sangat besar masih langgengnya praktik perkawinan anak di masyarakat.

Lingkungan sosial masyarakat yang cenderung patriarki, menyumbangkan banyak perspektif yang meromantisasi perkawinan anak. Anak-anak perempuan yang sudah menstruasi akan kita dorong-dorong untuk segera menikah. Ada banyak sekali stigma dan mitos-mitos yang ditujukan kepada perempuan. Di mana mereka menunda untuk menikah. Mulai dari membawa dalil agama, hingga pada alasan takut menjadi perawan tua dan tidak datang jodohnya.

Baca Juga:

Mengirim Anak ke Barak Militer, Efektifkah?

Separuh Mahar untuk Istri? Ini Bukan Soal Diskon, Tapi Fikih

Mengasuh dengan Kekerasan? Menimbang Ulang Ide Barak Militer untuk Anak Nakal

Film Pengepungan di Bukit Duri: Bagaimana Sistem Pendidikan Kita?

Memperkuat Pengasuhan untuk Pendewasaan Usia Perkawinan

Masyarakat yang seharusnya memiliki fungsi pengasuhan bagi anak, pada konteks ini justru berubah menjadi sebaliknya. Bu Nyai Farha Ciciek menyampaikan bahwa peran masyarakat khususnya di tingkatan desa, perlu untuk kita hadirkan dalam pengasuhan gotong royong bagi anak. Yakni untuk menyelamatkan masa depan mereka. Salah satunya dalam mengupayakan agar anak tidak menjadi korban perkawinan anak.

Sekolah Bok-Ebok yang ada di Tanoker mengenalkan terkait konsep pengasuhan gotong royong. Di mana pengasuhan yang berbasis masyarakat ini sangat berdampak pada perubahan cara pandang masyarakat dalam merespon permasalahan di lingkungannya. Hal ini karena dalam konteks pengasuhan, terdapat nilai-nilai dan prinsip yang kita gunakan sebagai dasar untuk mengubah pola pikir masyarakat. Khususnya dalam memperhatikan masa depan anak-anak yang ada di lingkungan mereka.

Pengasuhan berbasis lingkungan masyarakat juga tak kalah penting dengan pengasuhan berbasis keluarga. Karena tidak dapat kita pungkiri, beberapa keluarga masih rentan terpengaruh oleh bagaimana cara pandang masyarakat terhadap perkawinan. Penyebab utamanya adalah hak-hak anak yang terlanggar dalam praktik perkawinan anak ini.

Misal kita ambil contoh, ketika suatu keluarga memilih untuk terus menyekolahkan anak perempuan hingga jenjang yang lebih tinggi, atau memilih fokus pada karir. Suatu waktu akan goyah dengan omongan tetangga yang mungkin melabeli anak mereka sebagai ‘perawan tua’.

Penguatan pengasuhan berbasis masyarakat, kita perlukan agar perspektif yang masyarakat gunakan dapat memberikan cara pandang dan budaya baru dalam merespon perkawinan anak. Salah satunya, untuk melahirkan pandangan masyarakat yang sadar akan pentingnya pendidikan bagi anak.

Karena jika berbasis pada kisah di atas, masyarakat selain menormalisasi perkawinan anak, juga menganggap wajar ketika anak-anak di lingkungan mereka putus sekolah, dan lebih mereka dorong untuk menikah.

Akses dan Pemenuhan Pendidikan

Selain lingkungan sosial masyarakat, lingkungan/kontur alam dari suatu daerah juga memiliki dampak pada angka perkawinan anak yang ada. Mengapa demikian? Hal ini tentunya terpicu pada masih kurang dan terbatasnya akses terkait infrastruktur khususnya terkait pendidikan yang belum memadai.

Seperti halnya kisah di awal tulisan ini. Si anak yang mereka dorong-dorong untuk segera menikah meski belum tamat sekolah, karena ia sudah enggan menempuh jarak yang terlalu jau, atau dengan jalan yang sulit untuk ia lewati.

Selain perlu adanya lembaga pendidikan yang menjadi ruang pemenuhan hak wajib belajar 12 tahun bagi anak. Juga harus kita dukung dengan adanya akses dan infrastruktur yang mendukung agar hal tersebut terpenuhi secara optimal. Ketika akses untuk memperoleh pendidikan kita permudah dan kita dekatkan kepada lingkungan tempat anak-anak tinggal, setidaknya akan memberikan dampak terhadap pemikiran mereka.

Pendidikan menjadi poin penting dan utama untuk memperbaiki konstruk yang salah kaprah di masyarakat yang menormalisasi perkawinan anak. Ketika anak-anak telah memiliki akses pendidikan yang layak, pelan tapi pasti akan berpengaruh pada perubahan cara pandang baik di kalangan anak muda maupun orang tua yang kadang cenderung masih konservatif.

Kisah lain penulis temui saat berbincang bersama ibu-ibu di salah satu desa, yang menyampaikan bahwa, anak-anak muda di desanya justru merasa malu jika buru-buru menikah tanpa lulus sekolah dulu. Melegakan sekali rasanya kabar seperti ini.

Hal-hal seperti inilah yang harus terus digerakkan baik dari pemerintah, lingkungan masyarakat, keluarga dan juga kalangan anak muda. Bagaimana kemudian membangun budaya yang lebih otoritatif dalam menumbuhkan narasi-narasi untuk pendewasaan perkawinan anak.

Sebab bukan hanya dari segi regulasi saja. Memperkuat dengan mengubah perspektif dan juga cara pandang perlu untuk kita lakukan agar perubahan yang terjadi untuk pendewasaan usia perkawinan jauh lebih mengakar. Dan satu cara memperbaiki cara pandang adalah melalui pendidikan, baik bagi anak-anak maupun pendidikan tanpa batas bagi orang tua. []

 

 

Tags: keluargaPendewasaan Usia Perkawinanpendidikanpengasuhanperkawinan
Nuril Qomariyah

Nuril Qomariyah

Alumni WWC Mubadalah 2019. Saat ini beraktifitas di bidang Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak di Kabupaten Bondowoso. Menulis untuk kebermanfaatan dan keabadian

Terkait Posts

Hari Raya Waisak

Kontekstualisasi Ajaran Islam terhadap Hari Raya Waisak

10 Mei 2025
Vasektomi untuk Bansos

Vasektomi untuk Bansos: Syariat, HAM, Gender hingga Relasi Kuasa

9 Mei 2025
Vasektomi

Tafsir Sosial Kemanusiaan: Vasektomi, Kemiskinan, dan Hak Tubuh

8 Mei 2025
Barak Militer

Mengasuh dengan Kekerasan? Menimbang Ulang Ide Barak Militer untuk Anak Nakal

7 Mei 2025
Jukir Difabel

Jukir Difabel Di-bully, Edukasi Inklusi Sekadar Ilusi?

6 Mei 2025
Budaya Seksisme

Budaya Seksisme: Akar Kekerasan Seksual yang Kerap Diabaikan

6 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • PRT

    Mengapa PRT Identik dengan Perempuan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan di Ruang Domestik: Warisan Budaya dan Tafsir Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan Bukan Fitnah: Membongkar Paradoks Antara Tafsir Keagamaan dan Realitas Sosial

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengirim Anak ke Barak Militer, Efektifkah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bekerja adalah Ibadah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Kontekstualisasi Ajaran Islam terhadap Hari Raya Waisak
  • Bekerja adalah Ibadah
  • Merebut Tafsir: Membaca Kartini dalam Konteks Politik Etis
  • Perempuan Bekerja, Mengapa Tidak?
  • Islam Memuliakan Perempuan Belajar dari Pemikiran Neng Dara Affiah

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version