Hari populasi dunia adalah agenda tahunan yang diperingati pada setiap tanggal 11 Juli. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan Hari Populasi Dunia sejak tahun 1987. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran tentang kondisi dan dampak populasi terhadap meningkatnya permasalahan kependudukan di seluruh dunia. Lantas, siapakah yang paling terdampak? Bagaimana dampak populasi dunia terhadap perempuan?
Populasi dunia telah meningkat dua kali lipat dalam kurun waktu setengah abad dan dibutuhkan waktu hanya 12 tahun untuk pertumbuhan populasi dari 6 miliar ke 7 miliar. Menurut catatan biro sensus Amerika Serikat (AS) atau United States Cencus Bureau (USCB), populasi manusia di muka bumi saat ini ada lebih dari 7 miliar dan mencapai 8 miliar pada 2027.
Medio 2045, populasi di dunia diperkirakan mencapai 9 miliar dan hanya butuh waktu lima tahun untuk populasi diperkirakan mencapai 10 miliar pada 2050. Akhir abad 21 atau pada 2100, diperkirakan akan ada lebih dari 11 miliar jiwa.
Selama 100 tahun terakhir sepanjang abad 20, populasi global tumbuh lebih dari empat kali lipat. Setiap tahun ada 140 juta kelahiran dan 58 juta meninggal dunia. Namun jumlah manusia yang bertambah ke dalam populasi dunia pada kurun satu tahun mencapai 82 juta.
United Nation Population Fund PBB (UNFPA) menyebut kaum perempuan di dunia merupakan golongan yang tercerabut masa depannya. Mereka masih sangat rentan menjadi korban praktik domestifikasi dan atau subordinasi. Salah satu kasus yang paling terlihat dan secara sistematis masih berlangsung hingga kini, yakni fenomena pernikahan usia dini.
Para perempuan yang seharusnya mendapatkan pendidikan, terjebak dalam segudang masalah pernikahan. Padahal pendidikan diyakini sebagai jalan terbaik bagi seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, untuk meningkatkan taraf hidupnya. Jika tidak bersekolah, kemungkinan membangun masa depan yang sejahtera secara sosial dan ekonomi pun kian menjauh.
Di negara berkembang, kesadaran untuk menyetarakan kesempatan bagi laki-laki maupun perempuan untuk bisa mengakses pendidikan masih sangat rendah. Selain itu, konflik dan perang berimbas pada populasi perempuan yang semakin terancam sebagai korban.
Data Women’s Refugee Commision menyebut hingga saat ini lebih 80 persen dari 42 juta pengungsi merupakan perempuan, baik dewasa maupun muda bahkan anak-anak. Parahnya mereka kerap menjadi sasaran pemerkosaan sistematis, kekerasan, dan aksi teror.
Mereka yang menikah dini rata-rata menjadi semakin miskin. Di sisi lain, kehamilan dan persalinan di usia muda meningkatkan resiko kematian baik sang ibu maupun sang bayi. Faktanya, komplikasi dari kehamilan dan kelahiran adalah penyebab kematian nomor dua bagi perempuan-perempuan muda di antara umur 15 dan 19 tahun.
Di Indonesia, satu dari sembilan anak perempuan berusia 20-24 tahun sudah menikah sebelum mencapai usia 18 tahun. Banyak di antara mereka tidak paham masalah terkait bagaimana mengatur jarak aman kelahiran agar anak bisa lahir dengan sehat dan tidak stunting (gagal tumbuh). Saat ini, kasus perkawinan anak menempatkan Indonesia di urutan ke-8 di dunia dari segi angka perkawinan anak secara global.
Belum lagi program Keluarga Berencana (KB) terancam gagal selama masa pandemi covid19. Diketahui dari data berbagai sumber, ada 17,5% angka kehamilan yang belum atau tidak dikehendaki, jika dibandingkan dengan kondisi sebelum pandemi. Hal demikian terjadi di beberapa kota besar, seperti DKI Jakarta yakni mencapai 26% dan Yogyakarta mencapai 24%.
Kehamilan yang tidak atau belum dikehendaki oleh pasangan usia subur adalah dampak dari hambatan dalam mengakses layanan kontrasepsi. Rata-rata penggunaan alat kontrasepsi dari Februari hingga Maret secara nasional menurun sebanyak 40%. Di daerah tertentu, seperti Banten dan Sulawesi Barat, angkanya mencapai 50%.
Dari sisi kesehatan, kemiskinan akibat pernikahan dini mengakibatkan satu nyawa anak melayang tiap 20 detik. Penyebabnya kondisi sanitasi yang buruk. Sementara 1 dari 10 orang (atau sejumlah 663 juta jiwa) tidak memiliki akses ke sumber air bersih. Sedangkan 1 dari 3 (atau sebanyak 2,4 juta jiwa) tidak memiliki akses ke toilet.
Melihat kondisi yang seperti ini sudah bisa kita tebak, pekerjaan rumah (PR) kita masih menumpuk untuk mengatasi masalah pertumbuhan populasi penduduk di masa depan. []