Judul Buku: Perempuan di Titik Nol
Nama Pengarang: Nawal el-Saadawi
Tahun Terbit: Maret 2019
Jumlah Halaman: 176
Genre Buku: Sastra
ISBN: 978-602-433-438-3
Mubadalah.id – “Dari balik sel penjara, Firdaus-yang divonis gantung karena telah membunuh germo-mengisahkan liku-liku kehidupannya. Dari sejak masa kecilnya di desa, hingga ia menjadi pelacur kelas atas di kota Kairo. Ia menyambut gembira hukuman gantung itu. Bahkan dengan tegas ia menolak grasi kepada presiden yang diusulkan oleh dokter penjara. Menurut Firdaus, vonis itu justru merupakan satu-satunya jalan menuju kebenaran sejati. Ironis.
Lewat pelacur ini, kita justru bisa menguak kebobrokan masyarakat yang didominasi oleh kaum lelaki. Sebuah kritik sosial yang keras dan pedas!
Novel ini didasarkan pada kisah nyata. Ditulis oleh Nawal el-Saadawi, seorang penulis feminis dari Mesir dengan reputasi Internasional.”
Begitulah review singkat dibalik cover buku ini. Buku ini terbit pertama kali di Mesir dengan bahasa Arab tahun 1975, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris tahun 1983 dengan judul “Women at Point Zero”. Nawal el-Saadawi adalah seorang dokter, psikiater dan penulis yang memperjuangkan hak-hak perempuan di tengah budaya patriarki di Timur Tengah.
Apa yang ada dipikiranmu saat mendengar kata “pelacur” dan “germo”? Mungkin kita bisa menebak-nebak apa isi buku ini melalui review singkatnya. Bagi saya pribadi, kata pelacur adalah netral. Bukan sebuah label, stigma ataupun hal yang saya hindari untuk membaca.
Saya jadi ingat buku Muhimin M. Dahlan yang berjudul “Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur”. Dari judulnya saja, sudah bisa ditebak akan menuai respon yang mengejutkan karena provokatif bagi pembaca di Indonesia.
Buku Nawal ini telah menuai reaksi-reaksi yang mengejutkan pula bagi masyarakat Mesir saat itu. Dan mungkin juga akan mengejutkan siapapun yang membaca di abad ke-20 ini. Dengan keberanian dan kebebasannya, Nawal memberikan pukulan besar pada negrinya, pada sistem patriarki dan segala macam diskriminasi atas nama gender.
Mochtar Lubis menyatakan bahwa buku ini “Buku yang keras dan pedas” dalam prolog. Saya setuju dengan ini. Buku ini adalah buku yang suram dan menyedihkan. Buku yang sudah sangat lama ingin saya baca dan baru di tahun 2020 ini sempat membeli dan membacanya.
Melalui Firdaus, Nawal menyuarakan nasib perempuan di Mesir yang tunduk sepenuhnya pada patriarki. Nawal tidak menceritakan secara detail hal-hal yang terjadi pada Firdaus, namun itu sudah sangat membuat saya ikut menyerap kepedihan dan penderitaannya. Bagaimana Firdaus, dan wanita lainnya tidak memiliki hak pada dirinya sendiri dan bahkan tidak memiliki kesempatan untuk memilih buah jeruk manis atau jeruk keprok yang disukainya.
Ketika membaca review singkat di balik halaman buku, saya tak menyangka kisah Firdaus lebih dari sekadar pelacur yang membunuh germo. Kisahnya berkali lipat jauh lebih pedih dari pada itu. Nawal menceritakan pedihnya menjadi perempuan saat itu yang harus menjadi budak di dalam maupun di luar pernikahan, bagaimana patriarki dan misoginis benar-benar mengakar kuat dalam budaya yang mempengaruhi tafsir ayat suci.
“Tetapi Paman mengatakan pada saya bahwa semua suami memukul istrinya, dan istrinya menambahkan bahwa suaminya pun seringkali memukulnya. Justru laki-laki yang memahami agama itulah yang suka memukul istrinya” (hal 70)
“Semua perempuan adalah korban penipuan. Lelaki memaksakan penipuan pada perempuan, dan kemudian menghukum mereka karena telah tertipu, menindas mereka ke tingkat terbawah, dan mengikat mereka dalam perkawinan dan menghukum mereka dengan kerja kasar sepanjang umur mereka, atau menghantam mereka dengan penghinaan atau dengan pukulan”. (hal 142)
Tafsir teks al-Qur’an dan hadits saat itu masih sangat maskulin dan jauh dari kesalingan (mubaadalah) sehingga melahirkan pemahaman yang timpang dalam relasi antara perempuan dan laki-laki. Sehingga perempuan harus lahir dengan “nasib” yang sudah dibawanya sejak dalam kandungan dan hidup seumur hidupnya tanpa keadilan.
Meski tak dijelaskan secara rinci bagaimana pemahaman agama mempengaruhi karakter, normal sosial dan budaya saat itu, saya dapat membayangkan bahwa penafsiran teks yang timpang adalah sebabnya. Bagaimana nilai-nilai agama dan nilai-nilai sosial menjadi begitu tipis dalam masyarakat.
Asma Lambret dalam bukunya, “Women in the Qur’an” menyatakan bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah yang diperuntukkan bagi semua manusia tanpa memandang jenis kelamin, suku atau warna kulit mereka. Menurutnya, para Sarjana Muslim kurang lebih setuju bahwa bahasa maskulin yang digunakan dalam al-Qur’an secara sistemik mencakup gender feminim, secara umum sebenarnya berbicara kepada perempuan dan laki-laki tanpa perbedaan apapun.
Juga gender maskulin dalam al-Qur’an digunakan sebagai gender netral dan formalisasi bahasa maskulin yang sebenarnya menyiratkan universalitas manusia. Istilah “men” atau “rijal” dalam bahasa Arab adalah polisemi (memiliki makna lebih dari satu) dan digunakan baik untuk wanita maupun lelaki. Bahasa maskulin dalam al-Qur’an adalah bahasa netral, yang juga netral dalam jenis kelamin.
Firdaus adalah korban penipuan, korban penafsiran ayat suci yang tidak adil gender, yang menyebut nasib buruk semua perempuan sebagai kodrat. Sebenarnya, di abad ke-20 ini kita juga masih merasakan dampak tafsir ayat suci yang maskulin. Tapi kita semua sedang berproses dalam membaca pengalaman manusia sebagai pengalaman yang valid baik perempuan maupun laki-laki.
Nilai-nilai tradisional (patriarki) yang dibawa hingga sekarang adalah permasalahan yang tak kunjung selesai di seluruh negara dan juga di Indonesia. Kedudukan dan hak-hak perempuan masih saja menjadi konflik jika disuarakan. Melalui Firdaus, kita dapat mendengar dengan jelas, rintihan, jeritan dan suara perempuan yang menderita sepanjang hidupnya hanya karena dia perempuan.
Seperti yang dituliskan Mochtar Lubis dalam prolog buku ini, “Di Indonesia amat mudah mengatakan bahwa perempuan amat dipuja dan dihormati dalam kebudayaan bangsa Indonesia. Tidakkah kata perempuan itu sendiri berasal dari kata “empu” yang penuh dengan pengertian penuh penghormatan dan kesaktian? Akan tetapi tidakkah pula dalam prakteknya masih banyak perempuan Indonesia yang benar-benar hidup hanya untuk melayani dan mengabdi pada sang suami belaka?”.
Maka dengan membaca novel ini benar-benar membuka mata dan hati saya, bahwa nasib perempuan sekarang jauh lebih baik dibandingkan nasib Firdaus. Meski begitu, entah mengapa kita masih tetap merasa menjadi perempuan di kelas dua. []