Mubadalah.id – Invasi Rusia ke Ukraina menimbulkan selit-belit kekacauan. Awal Maret, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mencatat, sekitar 10 juta masyarakat Ukraina tengah mengungsi dan 4 juta di antaranya berusaha melewati perbatasan di negara-negara tetangga. Hampir 400.000 warga, mayoritas perempuan dan anak-anak, telah meninggalkan Ukraina. Lantas ketika perempuan menghadapi perang, apa yang harus dilakukan?
Saat perang terjadi, di mana pun dan apa pun penyebabnya, pihak paling rentan adalah perempuan dan anak-anak. Dalam perang, perempuan senantiasa menjadi korban. Entah korban pembunuhan, kekerasan dan pelecehan seksual, menjadi tawanan, dan lain sebagainya. Nasib buruk persisten menimpa perempuan.
Perempuan dalam Perang
Sejak dahulu, perang-perang di masa lalu memiliki pola yang sama. Selalu ada tindakan kekerasan terhadap perempuan. Tindakan-tindakan tak berperikemanusiaan. Kekejaman-kekejaman yang menodai sisi kemanusiaan kita.
Saat pasukan Nazi memasuki Rusia, ribuan perempuan diperkosa dan dipaksa bekerja sebagai pelacur di rumah bordil untuk tentara Jerman. Saat Perang Yugoslavia, berlangsung, beberapa tentara Serbia memerkosa perempuan Bosnia dan Kroasia.
Hal lebih kejam terjadi di Peru. Di sana, perkosaan terhadap perempuan adalah praktik yang umum dilakukan tentara saat proses interogasi orang-orang yang diduga terlibat dalam pemberontakan komunis.
Sebuah film berjudul The Flowers of War (2011) yang dibintangi Christian Bale menggambarkan kekejaman tentara pada para perempuan saat Cina berhasil ditaklukkan Jepang pada 1930. Saat itu, terjadi pembantaian massal dan perkosaan besar-besaran di daerah Nanking.
Seluruh tempat yang diduduki Jepang selama Perang Pasifik sepanjang 1941 sampai dengan 1945, militer Jepang mendirikan tempat-tempat prostitusi dan memaksa perempuan muda menjadi jugun ianfu untuk para tentara.
Pada 1990, saat konflik antara India dan Kashmir terjadi, perkosaan dilakukan oleh kedua belah pihak. Sejarah mencatat, satu pasukan memerkosa para perempuan di satu kampung. Salah satu penyintas mengatakan, para pelaku mengaku diperintahkan oleh komandan untuk memerkosa.
Lima peristiwa getir di atas hanya sebagian kecil dari banyak peristiwa perang yang mengorbankan perempuan. Sebuah penelitian yang ditulis oleh Nita Triana berjudul Perlindungan Perempuan dan Anak Ketika Perang dalam Hukum Humaniter Internasional (2009) mengemukakan bahwa tindakan-tindakan tersebut sengaja dilakukan sebagai strategi perang.
Pelecehan terhadap perempuan tidak semata-mata dilakukan karena nafsu. Pelecehan tersebut juga didasari oleh semangat kebencian sehingga membuat tindakan tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai kejahatan seks semata, tapi juga sebagai kejahatan kebencian terhadap lawan.
Penyebab tindakan biadab tersebut adalah perang yang maskulin dan masyarakat yang patriarkis. Dua hal tersebut memungkinkan tindakan perkosaan tidak hanya terjadi sebagai serangan yang ditujukan pada perempuan semata, tapi juga sebagai serangan dan penghinaan terhadap budaya dan nilai-nilai masyarakat setempat sebagai pihak lawan.
Hukum Internasional
Hukum internasional sebetulnya sudah merumuskan substansi tentang perlindungan terhadap anak dan perempuan saat terjadi perang atau konflik bersenjata, sesuai dengan lingkup persoalan yang dihadapi perempuan dan anak.
Substansi hukum tersebut terdiri dari peraturan dalam Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 tentang Perlindungan penduduk sipil dalam situasi perang, Protokol Tambahan Konvensi Jenewa 1977, Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) 1989, African Charter of the Rights and Welfare of the Child 1990, dan berbagai instrumen hukum internasional lainnya.
Melihat kekerasan dan kerentanan yang dialami perempuan dan anak pada saat perang membuat PBB mengeluarkan Resolusi 1325 dan 1820 tentang perempuan, perdamaian dan keamanan melalui Dewan Keamanannya.
Untuk pertama kalinya, melalui resolusi tersebut, Dewan Keamanan PBB meminta semua pihak yang terlibat konflik bersenjata untuk melindungi perempuan dan anak-anak dari segala macam bentuk kekerasan dalam perang.
Lembaga PBB lainnya seperti CEDAW, UN WOMEN, dan UNICEF mempunyai peran dalam mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi perempuan dan anak. Lembaga-lembaga tersebut menyatakan bahwa perempuan dan anak-anak perlu dikhususkan dalam penanganannya. Sebab, keduanyalah yang menerima dampak peperangan paling berat.
Bagaimana Sikap Kita?
Entah, berapa jumlah perempuan yang mesti membayar mahal ketika berada dalam situasi perang. Para perempuan mengalami kekerasan, termasuk kekerasan seksual, pemindahan paksa, kehilangan orang terdekat dan kehilangan kebebasan sendiri, serta berbagai macam penderitaan lainnya.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana kita mesti bersikap?
Saat ini, ada beberapa sikap yang bisa kita pilih untuk merespons konflik yang terjadi antara Ukraina dan Rusia. Apa pun alasan dan latar belakangnya, membunuh orang-orang tak bersalah adalah kejahatan yang tak bisa dibenarkan.
Pertama, menjadi relawan. Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, menyerukan ke masyarakat di seluruh dunia untuk bergabung menjadi legiun asing. Di Inggris, misalnya, masyarakat bisa menjadi relawan untuk Ukraina dengan mendaftar melalui kedutaan besar Ukraina di London.
Ben Wallace, Menteri Pertahanan Inggris, mengingatkan warga Inggris yang tidak memiliki keahlian agar tidak mendaftar dan berangkat. Baginya, jika tidak terlatih dengan baik dan bukan anggota angkatan bersenjata berpengalaman, ada cara lain yang lebih baik dalam berkontribusi untuk Ukraina.
Kedua, berdonasi. Ukraina membutuhkan dana besar untuk melakukan perlawanan. Bank Nasional Ukraina (NBU) memutuskan untuk membuka rekening penggalangan dana dari masyarakat umum. Donasi tersebut dibuat khusus untuk mendukung Angkatan Bersenjata Ukraina.
Ukraina membuka nomor rekening khusus yang bisa menerima banyak mata uang, transfer dari mitra internasional dan donor dalam mata uang asing seperti dolar Amerika Serikat, euro, pound Inggris dan hryvnia.
Jika punya banyak uang, kita bisa melakukan donasi tersebut. Namun, jika kondisi keuangan sedang terbatas, maka kita bisa melakukan cara lain untuk mendukung Ukraina, termasuk untuk menyelamatkan perempuan dan anak-anak yang terjebak di sana.
Ketiga, unjuk rasa bisa dilakukan secara luring maupun daring. Secara luring, kita bisa ikut berunjuk rasa dengan beberapa lembaga yang mendukung perdamaian. Karena pandemi Covid-19, unjuk rasa secara daring juga bisa dilakukan dan memiliki dampak yang cukup besar.
Keempat, memaksimalkan media sosial. Sebenarnya, kita memiliki senjata ampuh bernama media sosial untuk melakukan apa saja, termasuk menebar pedamaian dan menggalakkan seruan anti-perang. Konten-konten yang kita buat di media sosial, apa pun platformnya, pasti berdampak dan mendapat respons dari banyak pihak.
Kelima, senantiasa berdoa. Kehendak manusia, apalagi yang dengan niat jahat, tak ada apa-apanya di hadapan kekuatan absolut. Kekuatan doa bisa menjadi tumpuan harapan kita agar semua perang dapat segera berakhir. Doa juga menunjukkan bahwa sikap menjunjung tinggi kemanusiaan tak akan pernah redup.
Perang melulu menempatkan perempuan dalam situasi berbahaya. Walakin, saat menghadapi perang, perempuan tidak selalu rentan atau menjadi korban. Ada juga para perempuan yang memainkan peran aktif selama perang. Perempuan bisa menjadi aktivis atau anggota militer atau memberikan bantuan dan perlindungan kepada para korban perang.
Peperangan di masa lalu telah menggoreskan luka, sekuat apa pun hukum internasional melindungi perempuan dan anak-anak saat perang, jika kita tak bertindak sendiri, dari dalam diri, perubahan tak akan pernah terwujud. Meskipun kita tahu, perubahan tersebut membutuhkan waktu yang sangat panjang, tidak tiba-tiba terwujud begitu saja.
Demikain kiat ketika perempuan menghadapi perang, apa yang harus dilakukan? Semoga bermanfaat. [Baca juga: Pahlawan Perempuan di Perang Uhud]