• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Perempuan Menghadapi Perang, Apa yang Harus Dilakukan?

Sejak dahulu, perang-perang di masa lalu memiliki pola yang sama. Selalu ada tindakan kekerasan terhadap perempuan. Tindakan-tindakan tak berperikemanusiaan. Kekejaman-kekejaman yang menodai kemanusiaan.

Ayu Alfiah Jonas Ayu Alfiah Jonas
08/10/2022
in Publik
0
Perempuan Menghadapi Perang, Apa yang Harus Dilakukan?

Perempuan Menghadapi Perang, Apa yang Harus Dilakukan?

83
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Invasi Rusia ke Ukraina menimbulkan selit-belit kekacauan. Awal Maret, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mencatat, sekitar 10 juta masyarakat Ukraina tengah mengungsi dan 4 juta di antaranya berusaha melewati perbatasan di negara-negara tetangga. Hampir 400.000 warga, mayoritas perempuan dan anak-anak, telah meninggalkan Ukraina. Lantas ketika perempuan menghadapi perang, apa yang harus dilakukan?

Saat perang terjadi, di mana pun dan apa pun penyebabnya, pihak paling rentan adalah perempuan dan anak-anak. Dalam perang, perempuan senantiasa menjadi korban. Entah korban pembunuhan, kekerasan dan pelecehan seksual, menjadi tawanan, dan lain sebagainya. Nasib buruk persisten menimpa perempuan.

Perempuan dalam Perang

Sejak dahulu, perang-perang di masa lalu memiliki pola yang sama. Selalu ada tindakan kekerasan terhadap perempuan. Tindakan-tindakan tak berperikemanusiaan. Kekejaman-kekejaman yang menodai sisi kemanusiaan kita.

Saat pasukan Nazi memasuki Rusia, ribuan perempuan diperkosa dan dipaksa bekerja sebagai pelacur di rumah bordil untuk tentara Jerman. Saat Perang Yugoslavia, berlangsung, beberapa tentara Serbia memerkosa perempuan Bosnia dan Kroasia.

Baca Juga:

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

Ketika Sejarah Membuktikan Kepemimpinan Perempuan

Qiyas Sering Dijadikan Dasar Pelarangan Perempuan Menjadi Pemimpin

Membantah Ijma’ yang Melarang Perempuan Jadi Pemimpin

Hal lebih kejam terjadi di Peru. Di sana, perkosaan terhadap perempuan adalah praktik yang umum dilakukan tentara saat proses interogasi orang-orang yang diduga terlibat dalam pemberontakan komunis.

Sebuah film berjudul The Flowers of War (2011) yang dibintangi Christian Bale menggambarkan kekejaman tentara pada para perempuan saat Cina berhasil ditaklukkan Jepang pada 1930. Saat itu, terjadi pembantaian massal dan perkosaan besar-besaran di daerah Nanking.

Seluruh tempat yang diduduki Jepang selama Perang Pasifik sepanjang 1941 sampai dengan 1945, militer Jepang mendirikan tempat-tempat prostitusi dan memaksa perempuan muda menjadi jugun ianfu untuk para tentara.

Pada 1990, saat konflik antara India dan Kashmir terjadi, perkosaan dilakukan oleh kedua belah pihak. Sejarah mencatat, satu pasukan memerkosa para perempuan di satu kampung. Salah satu penyintas mengatakan, para pelaku mengaku diperintahkan oleh komandan untuk memerkosa.

Lima peristiwa getir di atas hanya sebagian kecil dari banyak peristiwa perang yang mengorbankan perempuan. Sebuah penelitian yang ditulis oleh Nita Triana berjudul Perlindungan Perempuan dan Anak Ketika Perang dalam Hukum Humaniter Internasional (2009) mengemukakan bahwa tindakan-tindakan tersebut sengaja dilakukan sebagai strategi perang.

Pelecehan terhadap perempuan tidak semata-mata dilakukan karena nafsu. Pelecehan tersebut juga didasari oleh semangat kebencian sehingga membuat tindakan tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai kejahatan seks semata, tapi juga sebagai kejahatan kebencian terhadap lawan.

Penyebab tindakan biadab tersebut adalah perang yang maskulin dan masyarakat yang patriarkis. Dua hal tersebut memungkinkan tindakan perkosaan tidak hanya terjadi sebagai serangan yang ditujukan pada perempuan semata, tapi juga sebagai serangan dan penghinaan terhadap budaya dan nilai-nilai masyarakat setempat sebagai pihak lawan.

Hukum Internasional

Hukum internasional sebetulnya sudah merumuskan substansi tentang perlindungan terhadap anak dan perempuan saat terjadi perang atau konflik  bersenjata, sesuai dengan lingkup persoalan yang dihadapi perempuan dan anak.

Substansi hukum tersebut terdiri dari peraturan dalam Konvensi Jenewa IV Tahun 1949 tentang Perlindungan penduduk sipil dalam situasi perang, Protokol Tambahan Konvensi Jenewa 1977, Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) 1989, African Charter of the Rights and Welfare of the Child 1990, dan berbagai instrumen hukum internasional lainnya.

Melihat kekerasan dan kerentanan yang dialami perempuan dan anak pada saat perang membuat PBB mengeluarkan Resolusi 1325 dan 1820 tentang perempuan, perdamaian dan keamanan melalui Dewan Keamanannya.

Untuk pertama kalinya, melalui resolusi tersebut, Dewan Keamanan PBB meminta semua pihak yang terlibat konflik bersenjata untuk melindungi perempuan dan anak-anak dari segala macam bentuk kekerasan dalam perang.

Lembaga PBB lainnya seperti CEDAW, UN WOMEN, dan UNICEF mempunyai peran dalam mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi perempuan dan anak. Lembaga-lembaga tersebut menyatakan bahwa perempuan dan anak-anak perlu dikhususkan dalam penanganannya. Sebab, keduanyalah yang menerima dampak  peperangan paling berat.

Bagaimana Sikap Kita?

Entah, berapa jumlah perempuan yang mesti membayar mahal ketika berada dalam situasi perang. Para perempuan mengalami kekerasan, termasuk kekerasan seksual, pemindahan paksa, kehilangan orang terdekat dan kehilangan kebebasan sendiri, serta berbagai macam penderitaan lainnya.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana kita mesti bersikap?

Saat ini, ada beberapa sikap yang bisa kita pilih untuk merespons konflik yang terjadi antara Ukraina dan Rusia. Apa pun alasan dan latar belakangnya, membunuh orang-orang tak bersalah adalah kejahatan yang tak bisa dibenarkan.

Pertama, menjadi relawan. Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, menyerukan ke masyarakat di seluruh dunia untuk bergabung menjadi legiun asing. Di Inggris, misalnya, masyarakat bisa menjadi relawan untuk Ukraina dengan mendaftar melalui kedutaan besar Ukraina di London.

Ben Wallace, Menteri Pertahanan Inggris, mengingatkan warga Inggris yang tidak memiliki keahlian agar tidak mendaftar dan berangkat. Baginya, jika tidak terlatih dengan baik dan bukan anggota angkatan bersenjata berpengalaman, ada cara lain yang lebih baik dalam berkontribusi untuk Ukraina.

Kedua, berdonasi. Ukraina membutuhkan dana besar untuk melakukan perlawanan. Bank Nasional Ukraina (NBU) memutuskan untuk membuka rekening penggalangan dana dari masyarakat umum. Donasi tersebut dibuat khusus untuk mendukung Angkatan Bersenjata Ukraina.

Ukraina membuka nomor rekening khusus yang bisa menerima banyak mata uang, transfer dari mitra internasional dan donor dalam mata uang asing seperti dolar Amerika Serikat, euro, pound Inggris dan hryvnia.

Jika punya banyak uang, kita bisa melakukan donasi tersebut. Namun, jika kondisi keuangan sedang terbatas, maka kita bisa melakukan cara lain untuk mendukung Ukraina, termasuk untuk menyelamatkan perempuan dan anak-anak yang terjebak di sana.

Ketiga, unjuk rasa bisa dilakukan secara luring maupun daring. Secara luring, kita bisa ikut berunjuk rasa dengan beberapa lembaga yang mendukung perdamaian. Karena pandemi Covid-19, unjuk rasa secara daring juga bisa dilakukan dan memiliki dampak yang cukup besar.

Keempat, memaksimalkan media sosial. Sebenarnya, kita memiliki senjata ampuh bernama media sosial untuk melakukan apa saja, termasuk menebar pedamaian dan menggalakkan seruan anti-perang. Konten-konten yang kita buat di media sosial, apa pun platformnya, pasti berdampak dan mendapat respons dari banyak pihak.

Kelima, senantiasa berdoa. Kehendak manusia, apalagi yang dengan niat jahat, tak ada apa-apanya di hadapan kekuatan absolut. Kekuatan doa bisa menjadi tumpuan harapan kita agar semua perang dapat segera berakhir. Doa juga menunjukkan bahwa sikap menjunjung tinggi kemanusiaan tak akan pernah redup.

Perang melulu menempatkan perempuan dalam situasi berbahaya. Walakin, saat menghadapi perang, perempuan tidak selalu rentan atau menjadi korban. Ada juga para perempuan yang memainkan peran aktif selama perang. Perempuan bisa menjadi aktivis atau anggota militer atau memberikan bantuan dan perlindungan kepada para korban perang.

Peperangan di masa lalu telah menggoreskan luka, sekuat apa pun hukum internasional melindungi perempuan dan anak-anak saat perang, jika kita tak bertindak sendiri, dari dalam diri, perubahan tak akan pernah terwujud. Meskipun kita tahu, perubahan tersebut membutuhkan waktu yang sangat panjang, tidak tiba-tiba terwujud begitu saja.

Demikain kiat ketika perempuan menghadapi perang, apa yang harus dilakukan? Semoga bermanfaat. [Baca juga: Pahlawan Perempuan di Perang Uhud]

Tags: Invasi RusiaPerang DuniaPerdamaianperempuanUkraina
Ayu Alfiah Jonas

Ayu Alfiah Jonas

Penulis dan editor lepas

Terkait Posts

Inses

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Inses

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

17 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Nakba Day

Nakba Day; Kiamat di Palestina

15 Mei 2025
Nenek SA

Dari Kasus Nenek SA: Hukum Tak Lagi Melindungi yang Lemah

15 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version