Bagaimana mempertemukan culture keluarga dan pola pikir yang berbeda pada akhirnya akan menjadi tantangan tersendiri bagi si tuan putri untuk beradaptasi bahkan di rumahnya sendiri.
Mubadalah.id – Siang ini tak begitu terik. Hawa dingin rasanya membuat saya malas untuk beraktifitas. Sayup-sayup terdengar suara perempuan dari luar rumah memanggil.
“Tanteeee, sibuk gak te”? Teriak seorang perempuan yang ternyata adalah sahabat lamaku. Sambil mematikan laptop, saya bergegas berlari ke luar. Saya lihat ia menggendong anak bayinya yang membuatku makin semangat untuk segera menghampirinya.
Ia mencariku untuk sekedar menyapa dan mengobrol bersama karena kita sudah lama tidak berjumpa. Meskipun rumah kami berdekatan, namun kami jarang sekali bisa bersantai dan menghabiskan waktu bersama seperti saat kita masih muda dulu. Kesibukan masing-masing lah yang tentunya membuat kami seperti ini.
Obrolan Seputar Kehidupan
Waktu yang ada kami gunakan untuk saling menanyakan kabar satu sama lain. Saya ikut bahagia ketika melihat sahabatku bahagia menjalani rumah tangga bersama keluarga kecilnya.
Rasanya sangat sempurna melihat kehidupannya saat ini. Bejodoh dengan laki-laki dewasa, sudah punya rumah dan mendapatkan bonus segera dikarunia momongan seorang bayi perempuan yang lucu.
Hidup yang sempurna menurut pandangan orang pada umumnya. Selalu saja saya mendengar ucapan orang-orang merepresentasikan perasaan mereka terhadap kehidupan yang sahabatku jalani. “wis enak, koyo tuan putri, omah kari manggoni” (sudah enak seperti tuan putri, punya rumah yang tinggal nempati).
Ya, begitulah kalimat-kalimat yang orang-orang seringkali lontarkan untuk sahabatku, meskipun terkadang ia sendiri tak mendengarnya secara langsung.
Menjadi Tuan Putri yang Harus Beradaptasi di Rumah Sendiri
Obrolan kami semakin dalam saat kami melihat anak bayi yang ia gendong sudah tertidur pulas. Ia memulai cerita tentang bagaimana ia harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Bagaimana memahami karakter anggota keluarga baru seperti mertua, adik ipar dan bahkan tetangga sekitar rumah.
Perbedaan culture keluarga juga seringkali membuatnya kikuk dan tak tau harus bagaimana. Basis perempuan karir dan mertua yang merupakan ibu rumah tangga atau sebaliknya tentu saja membentuk pola pikir yang berbeda. Baik dalam mengatur jadwal aktifitas harian sampai pada bagaimana bersikap terhadap suatu hal.
Hal-hal semacam ini memang kerap kali terjadi dan pasti akan terjadi. Bagaimana mempertemukan culture keluarga dan pola pikir yang berbeda pada akhirnya akan menjadi tantangan tersendiri bagi si tuan putri untuk beradaptasi bahkan di rumahnya sendiri.
Melihat apa yang terjadi, boleh lah jika Penulis berargumen, bahwa problem dan hambatan dalam masa adaptasi memiliki level keberhasilan yang tinggi untuk bisa terlewati, khususnya jika pasangan sudah memiliki finansial yang mapan saat menikah. Persiapkan aspek finansial kita secara matang, seperti dengan melakukan financial check up atau frugal living untuk berinvestasi jangka panjang!.
Bagi perempuan, tinggal di rumah suami sendiri lebih meminimalisir resiko konflik yang timbul saat beradaptasi dengan culture keluarga baru dari pada mereka yang harus tinggal satu atap dengan mertua. Bisa kita bayangkan jika finansial saja belum mapan, maka akan lebih banyak problem yang perlu terselesaikan, misal dengan bertambahnya problem pada aspek emosional.
Bagaimana agar Si Tuan Putri Bisa Beradaptasi?
Semua memang tidak melulu soal finansial, namun setidaknya jika satu aspek sudah terselesaikan, kita akan mudah untuk fokus dalam menyelesaikan aspek yang lain. Terlebih kehidupan berumahtangga mengharuskan setiap pasangan untuk bertanggungjawab terhadap keluarga, khususnya bagi keberlangsungan hidup seorang anak yang tentu butuh biaya hidup dan pendidikan.
Nilai tambah juga bagi perempuan yang sudah memiliki banyak bekal kehidupan seperti memiliki manajemen emosional dan pendewasaan diri yang baik. Namun bagi perempuan yang ketika menikah belum memiliki kesiapan mental yang matang, hal semacam ini tentu menjadi beban dan tantangan yang berat.
Bahkan Penulis pernah menjumpai, seorang perempuan yang saya anggap sudah cukup dewasa dalam menyikapi konflik-konflik kecil dalam beradaptasi, pada akhirnya juga menemui titik lelah dalam masa adaptasinya.
Problem kecil yang kerap kali terjadi memang tidak bisa terprediksi, apalagi jika sudah meluas cakupanya. Bisa saja mertua mulai memahami, akan tetapi belum tentu ipar dan saudara yang lain memiliki pikiran yang sama.
Namun hal-hal semacam ini harusnya tidak lantas membuat kita menyerah. Sejatinya kehidupan memang menjadi sebuah pembelajaran pendewasaan dan keimanan. Terkadang keluarga kita diberikan kedamaian tapi bisa saja pada tempat dan dimensi yang lain kita bertemu dengan berbagai problem. Hidup sejatinya menuntut kita menjadi.
Guna meminimalisir kegagalan dan konflik-konflik yang terjadi, tentu kerjasama antara suami istri menjadi sebuah keharusan. Kerjasama tersebut bisa dengan adanya kesalingan, saling memahami, menghargai dan men-support satu sama lain. []