Mubadalah.id – Pagi ini saya mengalami pelecehan seksual. Seorang laki-laki bersiul ketika melihat dan berjalan melewati saya. Entah sudah berapa juta kali hal seperti ini terjadi.
Saya sedang berjalan tergesa-gesa mencari akses ke dalam mall yang belum buka. Saat itu waktu menunjukkan pukul 06:18 WIB. Saya memang harus datang sepagi mungkin agar dapat giliran pertama mengurus perpanjangan SIM di gerai SAMSAT di salah satu mall Jakarta. Awalnya saya minta ditemani oleh adik laki-laki saya. Walaupun saya biasa mengurus apa-apa sendiri, ada kalanya lebih nyaman ditemani jika harus datang ke tempat yang didominasi oleh laki-laki.
Akan tetapi, adik saya belum bangun pagi itu. Saya juga berpikir lokasi mengurus SIM di dalam mall pasti jarang dikunjungi orang-orang kampungan seperti yang baru saja meng-catcalled saya. Ternyata saya salah, belum masuk ke dalam mall saja sudah bertemu dengan laki-laki yang hanya mampu berpikir dengan kelaminnya.
Hal yang membuat saya semakin kesal adalah immobility yang saya alami. Berdasarkan akun Instagram HopeHelps Universitas Indonesia, istilah tonic immobility adalah kondisi di mana korban pemerkosaan tidak mampu untuk melawan bahkan mengeluarkan suara apapun yang dapat menolong dirinya. Sedangkan yang terjadi pada saya adalah ketidakmampuan untuk melawan akibat syok dari pelecehan seksual yang terjadi.
Pasalnya, saya sudah beberapa kali membela diri dan bahkan teman-teman saya ketika mereka mengalami pelecehan seksual di tempat umum. Pernah saya dan dua orang teman perempuan berjalan menuju stasiun kereta setelah makan malam. Kemudian saya melihat ada tukang ojek yang memandangi salah satu teman saya dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Saya tidak berbuat banyak, tapi cukup efektif. Yang saya lakukan hanyalah menghalangi pandangan laki-laki mesum tersebut dengan wajah saya. Dengan menunjukkan ekspresi kesal, saya melihat ke arah mata si tukang ojek yang langsung menundukkan pandangannya.
Kali lain, saya yang sedang berolahraga dengan seorang teman perempuan lainnya terganggu dengan laki-laki paruh baya yang mondar-mandir di depan lapangan squash yang kami sewa. Ternyata niatnya hanya untuk mengomentari pergerakan kami dengan laki-laki lain yang sedang berolahraga bersamanya.
Setelah yang kesekian kali mondar-mandir, saya tegur dia. Saya minta dia untuk mengenakan masker yang benar jika mau melewati lapangan kami lagi. Enak saya, sudahlah mesum, tidak mengikuti protokol kesehatan selama pandemi pula. Ketika saya tegur, dia terlihat terkejut. Mungkin dia heran bahwa perempuan bisa membela dirinya ketika tertekan.
Sejak itu saya sadar tentang perlunya membela diri. Agar laki-laki yang menggunakan kelamin sebagai alat berpikir tahu kalau kita berani bersuara. Mereka juga harus paham kalau yang mereka lakukan itu tidak pantas dan salah besar. Akan tetapi, semangat perjuangan saya hilang pagi ini.
Ketika si pelaku bersiul, saya butuh waktu sekian detik untuk menyadari bahwa saya sedang dilecehkan. Saya hanya dapat menengok dan melihatnya berlalu begitu saja tanpa menghentikan dan menegurnya. Sesampainya di rumah, rasa kesal dan sedih bercampur jadi satu. Saya kecewa dengan diri saya sendiri yang hanya diam saja.
Emosi saya berhasil teredam setelah mencurahkan perasaan saya kepada seorang teman. Melalui chat WhatsApp teman saya bilang “Gak apa-apa, sometimes we have to choose our battle“. Terkadang kita harus memilih perjuangan kita.
Mungkin dia benar, tanpa disadari, saya memang memilih untuk diam. Bukan untuk berhenti melakukan perlawanan, tapi untuk berjuang di pertempuran yang lebih berguna. Mengurus perpanjangan SIM adalah medan perang yang saya harus arungi tadi pagi. Saya tahu persis seperti apa prosesnya setelah bertahun-tahun mengurus segala perizinan berkendara di negeri ini.
Selama mengurus SIM maupun pajak kendaraan, prosedur yang harus dituruti sangat usang. Dokumen seperti KTP dan SIM masih harus difotokopi. Situs pendaftaran yang menjanjikan proses mengurus secara daring juga tidak dapat diakses dengan lancar. Selain itu, saya masih menemukan tindak korupsi yang terpaksa saya turuti. Jika tidak membayarkan jumlah uang yang tidak resmi, saya khawatir dokumen-dokumen pelengkap berkendara saya tidak akan diproses dengan baik.
Nampaknya ini yang menjadi prioritas saya pagi ini. Sehingga sudah tidak ada energi yang rela saya berikan untuk melawan laki-laki brengsek yang meng-catcalled saya tadi. Ternyata perjuangan yang saya pilih kali ini adalah bentuk lain dari konsep patriarki yang sudah mengakar kuat pada sistem birokrasi di negeri ini.
Berjuang melawan laki-laki hidung belang yang suka melecehkan perempuan di tempat umum memang tidak kalah penting. Apabila mereka bisa dibasmi, perempuan akan merasa aman untuk berkarya di luar sana. Namun saya harus menerima kenyataan bahwa sebagai perempuan dengan banyak peran, hari ini saya memilih untuk menjadi warga negara yang baik. Sehingga semua energi saya fokuskan untuk menyelesaikan urusan yang lebih berguna daripada bergelut dengan laki-laki mesum semata.
Sekarang SIM saya sudah diperpanjang dan saya bisa terus berkendara untuk mencari rezeki serta berbagi kebaikan. Dengan keistimewaan mengemudi tersebut, saya juga mampu bersikap tegas pada mereka yang melakukan pelecehan seksual di muka publik di mana pun dan sejauh apa pun tujuan berkendara saya.
Walaupun hari ini perjuangan saya berbeda, lain kali saya akan berusaha lebih tegar lagi. Karena itu adalah bentuk perjuangan yang akan selalu saya pilih demi lingkungan yang lebih aman bagi perempuan. []