• Login
  • Register
Senin, 12 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Perjuangan Mewujudkan Keadilan Gender Islam di Indonesia

Prasyarat mewujudkan keberadaban sebuah bangsa adalah membangun keadilan serta kesetaraan gender di masyarakat.

Shofi Puji Astiti Shofi Puji Astiti
12/04/2021
in Personal
0
Gender

Gender

108
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Indonesia adalah bangsa yang mayoritas penduduknya masih kental dengan budaya patriarki. Struktur ini menempatkan laki-laki di puncak wewenang, memperoleh lebih banyak hak dan manfaat dari perempuan. Struktur tersebut menciptakan beban tambahan dan hambatan bagi perempuan untuk menikmati kesempatan yang sama untuk maju. Indonesia perlu terus mengadopsi kebijakan yang peka terhadap gender, dari fase masa kanak-kanak, sekolah, hingga di tempat kerja bahkan dalam keluarga.

Indonesia punya potensi besar bagi kaum perempuan untuk memainkan peran penting di semua sektor, namun perlu terus mendorong kesetaraan gender dan menghilangkan hambatan bagi kaum perempuan untuk ikut berperan aktif di masyarakat. Hal ini karena perempuan merupakan elemen penting dan strategis yang harus terlibat dalam pembangunan bangsa.

Zaman telah banyak memperlihatkan semakin banyak perempuan yang memiliki kemampuan intelektul dan kecerdasan nalar, bahkan dengan kekuatan fisik yang lebih relatif mengungguli laki-laki. Hal ini dikarenakan kebudayaan telah memberikan peluang, meskipun masih sedikit yang memberikan kebebasan dalam beraktualisasi diri atas potensi-potensi yang dimiliki perempuan.

Tuntutan akan demokratisasi, keadilan, dan penegakan hak-hak asasi manusia seharusnya menjadi landasan bagi semua kepentingan wacana kebudayaan, ekonomi, hukum, dan politik, karena Tuhan dan ajaran agama menghendaki semua nilai ini terwujud dalam kebudayaan manusia.

Dengan harapan, kedepannya tidak ada wacana-wacana atau pertanyaan-pertanyaan yang memberikan peluang bagi terciptanya sistem kehidupan yang diskriminatif, subordinatif, dan memarginalkan manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini sesuai yang disampaikan Buya Husein Muhammad dalam buku Fiqih Perempuan.

Baca Juga:

Waisak: Merayakan Noble Silence untuk Perenungan Dharma bagi Umat Buddha

Islam Hadir untuk Gagasan Kemanusiaan

Kontekstualisasi Ajaran Islam terhadap Hari Raya Waisak

Perempuan Bekerja, Mengapa Tidak?

 

Gender

Sedangkan Ibu Nyai Nur Rofiah Bil Uzm dalam buku Nalar Kritis Muslimah menyampaikan bahwasannya gender sebagai perspektif adalah sebuah cara memandang dunia dan akhirat, karena gender merupakan pembedaan yang ditentukan oleh masyarakat.

Demikian pula, tafsir tentang Al-Qur’an sering disamakan dengan Al-Qur’an. Padahal Al-Qur’an dari Allah yang maha adil, sedangkan tafsir atas al-Qur’an dari manusia yang tidak satupun maha adil. Oleh karena itu, Al-Qur’an pasti adil pada siapapun untuk laki-laki dan perempuan, sedangkan tafsir bisa adil bisa juga tidak.

Untuk memudahkan saat membicarakan apa saja baik kemanusiaan, keadilan, kemaslahatan, dan lain-lain. Ibu Nyai Nur Rofiah melontarkan pertanyaan untuk meningkatkan nalar kritis kita sebagai muslim. Adapun dua pertanyaan tersebut adalah: Apakah dalam rumusan tentang kemanusiaan, keadilan, dan kemaslahatan itu sudah manusiawi, adil, dan maslahah bagi perempuan?

Apakah dalam rumusan tersebut tidak menyebabkan perempuan semakin sakit saat menjalani pengalaman biologis perempuan seperti menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan atau menyusui? Apakah rumusan tersebut tidak menyebabkan perempuan mengalami ketidakadilan gender, stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan, dan beban ganda, (pengalaman sosial perempuan)? Dalam memahami lensa ini bisa dipakai sistem kehidupan yang luas termasuk dalam ranah politik bahkan kebangsaan.

KH Abdurrahman Wahid atau sering disebut dengan Gus Dur, pada tahun 2000 menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PuG/Gender Mainstreaming). Inpres tersebut menjadi cikal bakal masuknya nafas kesetaraan dan keadilan gender dalam tiap kebijakan dan program pembangunan nasional yang ada di Indonesia.

Pada masa beliau menjabat, program KB tidak hanya diarahkan kepada perempuan, tetapi  diarahkan juga pada laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan adalah “mitra sejajar”, dapat saling bermusyawarah dan tidak mensubordinat antara satu dengan lainnya.

Ada tiga hal konkret yang Gus Dur lakukan dalam kaitan memberikan perlindungan dalam bidang ketenagakerjaan. Pertama, mendirikan SBSI (Serikat Buruh Seluruh Indonesia), serikat independen era ORBA, sebagai langkahnya dalam pembelaan terhadap aktifis buruh.

Kedua, beliau mencabut UU No.25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan yang eksploitatif, anti serikat dan tidak ada proteksi terhadap tenaga kerja Indonesia. Ketiga, Gus Dur juga membuat Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.150 Tahun 2000 tentang pesangon untuk antisipasi dampak pemberhentian kerja pada buruh.

Ketiganya adalah bukti keberpihakan beliau pada perlindungan bidang ketenagakerjaan di Indonesia. Bukti, bahwa semua warga Negara Indonesia laki-laki dan perempuan berhak mendapatkan perlakuan yang sama, tanpa adanya tindakan diskriminatif.

Pada kepemimpinan Presiden Joko Widodo, telah memperkenalkan kebijakan untuk memajukan kesetaraan gender.  Kebijakan yang dapat meningkatkan kesempatan yang setara bagi anak perempuan dan kaum perempuan, dalam hal ini masyarakat harus terus mendorong dan mengadvokasi kesetaraan gender. Laki-laki dan perempuan, harus saling memberdayakan dalam menciptakan peluang yang sama, tidak ada diskriminasi.

Pada peringatan Harlah ke-65 Fatayat NU yang diselenggarakan di kantor PBNU Jakarta Pusat, Fatayat NU menyerukan keadilan dan kesetaraan gender antara laki-laki dengan kaum perempuan dalam pembangunan nasional.

Anggia Ermarini Ketua Umum Fatayat NU dalam pidatonya mengatakan, Indonesia yang berkeadaban akan dapat diwujudkan jika ada penegakan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan dalam kehidupan masyarakat, harmonitas dan penghargaan terhadap kebhinekaan, serta terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berorientasi pada kesejahteraan warga bangsa.

Salah satu prasyarat mewujudkan keberadaban sebuah bangsa adalah ketika negara dan masyarakat dapat membangun keadilan dan kesetaraan antara kaum laki-laki dan perempuan. “Prasyarat tersebut merupakan satu keniscayaan karena perempuan merupakan bagian besar dari warga Indonesia dan merupakan elemen penting dan strategis yang harus terlibat dalam pembangunan bangsa”.

Semoga kita semua dapat mencontoh dan meneruskan perjuangan para pemimpin kita dalam segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, yang mengutamakan kemaslahatan bersama baik laki-laki maupun perempuan. []

 

 

Tags: GenderislamkeadilanKesetaraanPengarustamaan GenderperempuanTafsir Adil Gender
Shofi Puji Astiti

Shofi Puji Astiti

Dosen IAIN Salatiga

Terkait Posts

Umat Buddha

Waisak: Merayakan Noble Silence untuk Perenungan Dharma bagi Umat Buddha

12 Mei 2025
Membaca Kartini

Merebut Tafsir: Membaca Kartini dalam Konteks Politik Etis

10 Mei 2025
Kisah Luna Maya

Kisah Luna Maya, Merayakan Perempuan yang Dicintai dan Mencintai

9 Mei 2025
Waktu Berlalu Cepat

Mengapa Waktu Berlalu Cepat dan Bagaimana Mengendalikannya?

9 Mei 2025
Memilih Pasangan

Jangan Nekat! Pentingnya Memilih Pasangan Hidup yang Tepat bagi Perempuan

8 Mei 2025
Keheningan

Keheningan Melalui Noble Silence dan Khusyuk sebagai Jembatan Menuju Ketenangan Hati

8 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Pekerja Rumah Tangga

    Ibu, Aku, dan Putriku: Generasi Pekerja Rumah Tangga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Apakah Barak Militer Bisa Menjadi Ruang Aman bagi Siswi Perempuan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tidak Ada Cinta bagi Arivia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Vasektomi untuk Bansos: Syariat, HAM, Gender hingga Relasi Kuasa

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengirim Anak ke Barak Militer, Efektifkah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Mengenal Paus Leo XIV: Harapan Baru Penerus Paus Fransiskus
  • Waisak: Merayakan Noble Silence untuk Perenungan Dharma bagi Umat Buddha
  • Islam Hadir untuk Gagasan Kemanusiaan
  • Apakah Barak Militer Bisa Menjadi Ruang Aman bagi Siswi Perempuan?
  • Ibu, Aku, dan Putriku: Generasi Pekerja Rumah Tangga

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version