• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Perkawinan Anak, Reformasi Seksologi, dan Kesetaraan Perempuan

Pernikahan Nabi dengan Aisyah yang masih gadis dan masih muda, membawa hikmah yang sangat penting  dalam upaya mereformasi "seksologi jahiliyah" menuju "seksologi Islam."

wiwin wihermawati wiwin wihermawati
28/12/2021
in Publik
0
Nikah

Nikah

246
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Beberapa waktu yang lalu penulis mengikuti dialog online tentang “Mengapa Islam Melarang Perkawinan Anak” yang diselenggarakan oleh Rumah Kitab. Banyak sekali yang perlu dicatat, bukan saja menarik, tapi karena benar-benar mencerahkan dan bermanfaat. Tulisan ini adalah sebagian yang berhasil penulis rangkum dari apa yang disampaikan oleh narasumber kunci  Prof. Dr. KH. Nasarudin Umar, dipadukan dengan apa yang disampaikan oleh Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm, dan dua narasumber lainnya.

Diawali dengan pernyataan Kyai Nasaruddin Umar bahwa pernikahan adalah “Mitsaqan Ghalidza” (perjanjian agung) yang tidak bisa dilakukan oleh usia anak-anak meskipun secara biologis manusia di usia baligh sudah bisa melahirkan manusia baru. Pernikahan tetap membutuhkan kematangan biologis, psikologis dan spiritual.

Lantas kenapa Aisyah menikah dengan Nabi pada usia dini ? Ada beberapa riwayat tentang usia Aisyah ketika menikah dengan Nabi :

  1. Hisyam bin Urwah,Ibn Hanbal, dan Ibn Sa’ad : Aisyah dipinang pada usia 7 tahun dan mulai berumahtangga pada usia 9 tahun.
  2. Ath-Thabari : Aisyah berusia sekitar 14-15 tahun sebab semua anak Abu Bakar (4 orang) termasuk ‘Aisyah dilahirkan pada masa jahiliyah melalui 2 istrinya, atau sebelum Muhammad diutus menjadi Rasul. Ketika Nabi hijrah ke Madinah, Aisyah sudah berumur 13-14 tahun dan menikahinya setahun setelah hijrah.
  3. Ibnu Hajar Al-Asqalani, Abdurrahman bin Abi Zannad, dan Ibnu Katsir : Aisyah berusia sekitar 17-18 tahun karena selisih umur Asma (anak perempuan tertua Abu Bakar) dengan Aisyah adalah 10 tahun. Asma meninggal dunia pada 73 H dalamusia 100 tahun. Hal ini berarti bahwa pada awal hijrah Nabi ke Madinah (622 M) usia Asma sekitar 27 atau 28 tahun, sehingga usia Aisyah 17 atau 18 tahun.

(Wahyuni Shifatur Rahmah, S.Th.I, M.Si, “Mengkritisi Hadits-hadits usia Pernikahan Aisyah”, dan Tony Van Java, “Pernikahan Nabi Muhammad dan Aisyah”).

Jika dibawa ke dalam konteks kekinian, usia Aisyah yang tertua sekalipun masih masuk kategori anak-anak. Namun ini tidak serta-merta menjadikan perkawinan anak adalah sesuatu yang dibolehkan apalagi disunnahkan dalam Islam. Mengapa? Karena Nabi adalah manusia pilihan yang pilihan hidupnya adalah “special direction”nya langsung dari Allah SWT, salah satunya adalah menikahi Aisyah yang masih berusia belia.  Ini adalah dispensasi yang diberikan kepada Nabi dengan maksud dan tujuan dakwah di era jahiliyyah.

Baca Juga:

Menikah di Usia Anak dan Trauma Melahirkan; Sebuah Refleksi

Andai Waktu Bisa Diputar Kembali: Kisah Penyintas Perkawinan Anak (Part II)

Andai Waktu Bisa Diputar Kembali: Kisah Penyintas Perkawinan Anak

Bertahun-tahun Advokasi, Mengapa Angka Kawin Anak Masih Tinggi?

Pernikahan Nabi dengan Aisyah yang masih gadis dan masih muda, membawa hikmah yang sangat penting  dalam upaya mereformasi “seksologi jahiliyah” menuju “seksologi Islam”. Dari mulut Aisyah yang masih polos inilah  terjadi kebocoran “hadits-hadits ranjang” yang tidak berani disampaikan oleh istri-istri Nabi yang lain yang usianya lebih tua.

Aisyahlah yang menceritakan bagaimana Nabi begitu intim dan mesra terhadap istrinya, meskipun dalam keadaan haid : Nabi makan bersama Aisyah dalam satu baki, Nabi minum dari gelas yang sama tepat di bekas bibir Aisyah, Nabi mandi dalam satu kolam bersama Aisyah, Nabi bahkan tetap mencumbu Aisyah (dengan mengenakan kain). Hal-hal seperti ini barangkali merupakan hal yang biasa di masa sekarang.  Namun bagi masyarakat jahiliyyah saat itu, apa yang dilakukan Nabi dengan Aisyah merupakan pelanggaran besar.

Pada masa itu, tradisi jahiliyyah masih memandang perempuan sebagai sumber kutukan, khususnya ketika  perempuan mengalami fase menstruasi setiap bulannya. Perempuan-perempuan yang sedang menstruasi harus menjauh hingga ke luar kota, ditempatkan di kemah-kemah khusus atau gua-gua, tidak boleh menginjak tanah karena akan menyebabkan gempa bumi, dan tidak boleh memandang ladang karena akan mematikan tanaman. Tradisi ini tentu membuat perempuan sangat menderita.

Mendengar bagaimana Nabi memperlakukan Aisyah pada fase menstruasinya, masyarakat marah dan melakukan protes keras terhadap keduanya. Lalu turunlah ayat tentang darah haid yang menjelaskan kepada mereka bahwa menstruasi adalah persoalan biologis, bukan teologis (kutukan karena makan buah khuldi).

Seandainya Nabi tidak menikah dengan Aisyah, entah sampai kapan perempuan-perempuan akan diasingkan ketika menstruasi. Aisyahlah yang membuka pintu pengetahuan seksologi dalam Islam yang sebelumnya tertutup rapat, dan kemudian perempuan mulai dipandang dan diperlakukan dengan lebih adil dan setara.

Saat ini penemuan-penemuan di bidang kesehatan reproduksi, kesehatan mental, ilmu sosial dan sebagainya telah menghasilkan sebuah kesimpulan penting bahwa menikah di usia dini akan menimbulkan dampak negatif atau kemudharatan, khususnya bagi perempuan dan umumnya bagi masyarakat.

Hasil penelitian di seluruh dunia menyepakati bahwa salah satu penyumbang  kasus-kasus kematian ibu dan bayi, perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, remaja putus sekolah, dan sebagainya adalah masalah-masalah yang disebabkan oleh perkawinan anak yang belum cukup mapan dan dewasa.

Dalam kaidah ushul Fiqih, menolak kemudaratan adalah lebih utama daripada asas manfaat. Maka meskipun pernikahan pada dasarnya membawa kemanfaatan, namun pernikahan yang dilakukan pada usia dini akan menimbulkan kemudaratan.

“Perkawinan dalam Islam itu adalah untuk ketenangan jiwa baik suami maupun istri, maka pastikan anak sudah dewasa, tidak hanya secara fisik tapi juga secara batin, sehingga keduanya bisa lebih mudah mengihktiarkan menjalani perkawinan yang menentramkan jiwa kedua belah pihak. Kalau kita harus memilih mau nikah usia anak atau zina ? Maka jawabannya adalah nikah usia dewasa dan tidak berzina,” demikian disampaikan Nyai Nur Rofiah menutup sesi dialog. []

 

 


Tags: perkawinan anakrumah kitabSayyidah Aisyah
wiwin wihermawati

wiwin wihermawati

Wiwin Wihermawati, ibu rumah tangga, suka kopi dan puisi, tinggal di Cirebon.

Terkait Posts

Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas

Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama

20 Mei 2025
Inses

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Inses

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

17 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Nakba Day

Nakba Day; Kiamat di Palestina

15 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama
  • KB dalam Pandangan Islam
  • Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version