• Login
  • Register
Minggu, 2 April 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Pernikahan sebagai Hubungan Psikologis

Pernikahan sebagai hubungan psikologis membuat manusia mencari pasangan “sehati dan sejiwa” dengan sadar, mencintai dengan kedalaman dan kesetiaan, serta merasa aman dengan dirinya sendiri.

Wanda Roxanne Ratu Pricillia Wanda Roxanne Ratu Pricillia
19/02/2021
in Personal
0
Pernikahan

Pernikahan

204
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Dunia Twitter belakangan sedang diramaikan dengan cuitan tentang gaji pasangan minimal 250 juta dan tentang menikah untuk menjaga keturunan. Tentu saja hal ini menjadi bahan untuk baku hantam secara online yang masih saja ramai dibicarakan. Sebenarnya, makna pernikahan itu apa?

Saya pernah bertanya kepada teman saya mengapa dia memutuskan menikah dengan seseorang yang baru beberapa kali ditemuinya. Dia mengatakan bahwa dia menikah karena itu sunnah Nabi dan untuk menyempurnakan separuh agamanya. Selain itu, ada yang menganggap pernikahan untuk menghindari zina, menjaga keturunan, karena cinta, dijodohkan, kehamilan tidak diinginkan, dst.

Sebenarnya tujuan pernikahan dalam Islam dapat kita lihat pada surah ar-Rum [30]:21, yaitu untuk memperoleh ketentraman hati berdasarkan rasa saling cinta dan sayang. Kita menyebut hal ini sakinah, mawaddah wa rahmah.

Lima pilar pernikahan menurut Kyai Faqihuddin Abdul Kodir yaitu komitmen (mitsaqan ghazalizhan), prinsip berpasangan dan kesalingan (zawaj), saling memperlakukan dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf), kebiasaan saling berembuk bersama (musyawarah), dan perilaku saling memberi kenyamanan/kerelaan (taradhin min-huma). Kelima pilar ini termasuk dalam aspek psikologis manusia.

Lalu, kapan waktu terbaik untuk menikah? Menurut Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm., saat terbaik untuk menikah adalah saat kita sendiri sudah menemukan calon pasangan yang siap menjadi tim menikah yang tidak hanya secara fisik tapi juga menikah secara jiwa. Manusia tidak hanya memiliki dimensi fisik, tapi juga spiritual dan intelektual.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Ketika Anak Kehilangan Sosok Ayah dalam Kehidupannya
  • Momen Ramadan, Mengingat Masa Kecil yang Berkemanusiaan
  • Kasus KDRT: Praktik Mikul Dhuwur Mendem Jero yang Salah Tempat
  • Kiprah Nyai Khairiyah Hasyim Asy’ari: Ulama Perempuan yang terlupakan

Baca Juga:

Ketika Anak Kehilangan Sosok Ayah dalam Kehidupannya

Momen Ramadan, Mengingat Masa Kecil yang Berkemanusiaan

Kasus KDRT: Praktik Mikul Dhuwur Mendem Jero yang Salah Tempat

Kiprah Nyai Khairiyah Hasyim Asy’ari: Ulama Perempuan yang terlupakan

Jadi, menikah secara jiwa itu seperti apa? Ketentraman hati juga dapat kita sebut sebagai kesejahteraan psikologis atau bahasa lainnya adalah kebahagiaan. Carl Gustav Jung, tokoh psikoanalitis, menjelaskan pernikahan dalam esainya Pernikahan sebagai Hubungan Psikologis.

Menurut Carl Gustav Jung, pernikahan adalah sebuah hubungan psikologis jika itu bersifat sadar. Kedua orang yang akan menikah harus sadar bahwa mereka akan saling terkait satu sama lain. Kesadaran ini yang membuat kita membedakan diri sendiri dan orang lain. Namun ada wilayah ketidaksadaran yang membuat kita memilih pasangan, yaitu identitas primitif ego bersama.

Secara tidak sadar, manusia memilih pasangan berdasarkan pengaruh parental. Bagaimana hubungan anak dengan orang tuanya akan menentukan si anak dalam memilih pasangan baik secara positif maupun negatif. Anak akan memilih pasangan dengan tujuan menyeimbangkan kehidupannya dengan pasangan dan tipe orang tuanya.

Mungkin kita sering mendengar orang di sekitar kita akan menjadikan Ibu atau Bapaknya sebagai standar dalam memilih pasangan. Saya pernah mendengar teman mengatakan, “aku ingin suami yang sebaik Bapak”, atau “aku ingin istri yang seperti Ibu”. Ada juga yang familiar dengan kekerasan dalam keluarganya, jadi dia memilih pasangan yang abusive.

Pemilihan pasangan dengan sadar membuat pernikahan memiliki tujuan yang sama dan menguatkan perasaan kesatuan dan identitas. Tujuan besarnya adalah kebahagiaan besar “sehati dan sejiwa”, sama dengan sakinah.

Namun yang menjadi catatan menurut Carl Gustav Jung adalah pemahaman bahwa pernikahan-pernikahan yang “sehati dan sejiwa” sekalipun tidak dapat menghindari perbedaan-perbedaan individual masing-masing. Pernikahan mengharuskan pasangan untuk beradaptasi dengan perbedaan yang ada. Orang yang memiliki hubungan baik dengan orang tuanya akan lebih mudah beradaptasi, namun akan susah beradaptasi jika memiliki hubungan buruk dengan orang tuanya.

Proses adaptasi ini terutama pada kepribadian pasangan yang akan berpengaruh langsung padanya. Jung mengatakan bahwa pasangan bisa kehilangan diri mereka sendiri dalam labirin personal pasangannya sehingga minat-minat personalnya terserap penuh dan kadang dengan cara yang tidak menyenangkan.

Selalu menarik mendengar cerita teman-teman dan orang di sekitar saya tentang proses adaptasi mereka dalam pernikahan. Ada yang tidak terbiasa makan pedas, akhirnya menjadi terbiasa makan pedas. Ada yang pasangannya rajin beribadah sehingga dia menjadi lebih rajin beribadah. Biasanya mereka akan menyebut “ketularan suami/istri”, termasuk hal yang negatif juga.

Ada yang merasa bahwa pernikahan adalah penjara baginya. Karena ternyata meski kenal pasangannya bertahun-tahun sebelum menikah, mereka terkejut dengan kepribadian pasangannya yang selama ini tidak ditampilkan. Ada yang baru mengetahui setelah menikah bahwa pasangannya sering melakukan kekerasan atau menunjukkan kemarahan.

Menurut Jung, perempuan biasanya lebih dominan aspek emosional dan laki-laki lebih dominan aspek spiritualnya. Maka sebagai pasangan, suami dan istri akan saling memengaruhi aspek ini. Suami dan istri akan mencari pemenuhan, kepuasan dan ketidakterbagian satu sama lain. Maka tidak heran jika awal pernikahan, suami dan istri seperti tak terpisahkan.

Jika proses ini terlewati dengan baik, maka pasangan akan saling memahami bahwa rasa aman yang dia cari dalam pasangannya sebenarnya bisa didapat dalam dirinya sendiri. Jadi mereka tidak perlu menggantungkan kebahagiaan pada pasangannya saja, karena saat sendirian pun mereka dapat bahagia dengan identitas personalnya.

Sebaliknya, jika proses adaptasi ini gagal dilewati maka pasangan akan mengalami ketidakamananpsikologis dalam pernikahan. Akan ada konflik, perselisihan, perceraian, perselingkuhan, dan gangguan pernikahan lainnya.

Jung mengatakan bahwa cinta membutuhkan kedalaman dan kesetiaan perasaan; tanpa keduanya maka itu bukanlah cinta melainkan hanyalah perubahan mendadak suasana hati. Pernikahan sebagai hubungan psikologis membuat manusia mencari pasangan “sehati dan sejiwa” dengan sadar, mencintai dengan kedalaman dan kesetiaan, serta merasa aman dengan dirinya sendiri. []

Tags: islamkeluargaKesalinganperkawinanpernikahanPsikologi Keluarga
Wanda Roxanne Ratu Pricillia

Wanda Roxanne Ratu Pricillia

Wanda Roxanne Ratu Pricillia adalah alumni Psikologi Universitas Airlangga dan alumni Kajian Gender Universitas Indonesia. Tertarik pada kajian gender, psikologi dan kesehatan mental. Merupakan inisiator kelas pengembangan diri @puzzlediri dan platform isu-isu gender @ceritakubi, serta bergabung dengan komunitas Puan Menulis.

Terkait Posts

Agama Perempuan Separuh Lelaki

Pantas Saja, Agama Perempuan Separuh Lelaki

31 Maret 2023
Kontroversi Gus Dur

Kontroversi Gus Dur di Masa Lalu

30 Maret 2023
Food Waste

Bulan Puasa: Menahan Nafsu Atau Justru Memicu Food Waste?

30 Maret 2023
Perempuan Haid Mendapat Pahala

Bisakah Perempuan Haid atau Nifas Mendapat Pahala Ibadah di Bulan Ramadan?

29 Maret 2023
Pengasuhan Anak

Jalan Tengah Pengasuhan Anak

28 Maret 2023
Sittin al-‘Adliyah

Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Pentingnya Menjaga Kesehatan Mental

27 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Anak Kehilangan Sosok Ayah

    Ketika Anak Kehilangan Sosok Ayah dalam Kehidupannya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Keheningan Laku Spiritualitas Manusia Pilihan Tuhan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mahar Adalah Simbol Cinta dan Komitmen Suami Kepada Istri

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kasus KDRT: Praktik Mikul Dhuwur Mendem Jero yang Salah Tempat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Momen Ramadan, Mengingat Masa Kecil yang Berkemanusiaan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Ini Jumlah Mahar Pada Masa Nabi Muhammad Saw
  • Mahar Adalah Simbol Cinta dan Komitmen Suami Kepada Istri
  • Ketika Anak Kehilangan Sosok Ayah dalam Kehidupannya
  • Keheningan Laku Spiritualitas Manusia Pilihan Tuhan
  • Menikah Harus Menjadi Tujuan Bersama, Suami Istri

Komentar Terbaru

  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist