Jika Yuval Noah Harari penulis buku “Homo Deus; Masa Depan Umat Manusia”, mengatakan bahwa “keputusan individu dan para pemerintah beberapa minggu ke depan, mungkin akan membentuk bagaimana dunia di tahun-tahun mendatang”, sepertinya tepat sekali. Dan seluruh peradaban kehidupan umat manusia tengah mengalami perubahan paska pandemi corona ini. Tak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia.
Beberapa hari yang lalu saya melihat berita di tv swasta nasional, juru bicara penanggulangan wabah virus covid 19 Achmad Yurianto mengatakan, mulai per 5 April 2020 pemerintah akan mewajibkan masyarakat menggunakan masker. Langkah ini ditempuh karena dianggap efektif mencegah penyebaran covid 19 lebih meluas lagi.
Dengan kewajiban memakai masker tersebut, kita akan kehilangan seulas senyuman milik orang lain. Sebaliknya kita juga akan canggung melempar senyuman. Tarikan sudut bibir, dan deretan gigi yang muncul malu-malu, juga takkan lagi terlihat. Kita seolah kehilangan keramahan terutama orang-orang yang kita kenal, saat berpapasan di tengah jalan. Semua terasa asing, diam, rapuh, sunyi dan sendiri.
Maka ke depan, kita akan melihat banyak sekali perubahan kebiasaan masyarakat. Entah karena intervensi pemerintah atau atas dasar kesadaran sendiri. Selain masker yang menjadi barang wajib dibawa dan dipakai juga ada hal-hal lain yang akan dipengaruhi oleh kebijakan dan atau upaya pencegahan tersebut.
Pertama, bersalaman tangan ketika bertemu atau berpisah, esok entah apakah masih ada. Pun dengan cipika cipiki, cium pipi kanan dan kiri, serta berpelukan sebagai tanda keakraban, kedekatan emosional, kasih sayang dan dukungan moral juga perlahan hilang.
Sementara itu bonding, atau pelekatan emosional antara orang tua dan anak, pelukan dan ciuman juga mempunyai nilai penting, yang kelak akan memudar lalu hilang. Padahal dalam kecupan manis, dan dekap hangat ada pengakuan serta perasaan nyaman yang tidak tergantikan, dan tidak bisa dibahasakan.
Kedua, alat tukar jual beli lambat laun akan digantikan sepenuhnya dengan e-money. Seluruh transaksi keuangan beralih ke sistem digital. Karena uang disinyalir sebagai media penularan. Ekonomi digital akan semakin berkembang. Esok, anak cucu kita, entah apakah masih menemukan pecahan uang rupiah dalam bentuk kertas dan logam.
Ketiga, aturan social distancing dan phisycal distancing alias jaga jarak dalam 1 hingga 2 meter, akan membuat manusia semakin individualis. Kita akan semakin kesulitan menemukan kerumunan orang, yang saling bekerjasama melakukan sesuatu. Bergotong royong, kerja bhakti, ronda malam, cangkrukan, kongkow, hang out, nongkrong, majengan, ngobeng, dan banyak istilah lainnya. Akankah juga ikut menghilang?
Keempat, karena kehadiran manusia semakin langka, maka tugas dan pekerjaannya akan digantikan teknologi atau sistem digital. Selama masa karantina mandiri, dan atau wilayah ini, tanpa sadar atau tidak, tugas guru sudah digantikan dengan pembelajaran online. Meski belum secara menyeluruh, tetapi melihat kebutuhannya semakin besar, maka pergeseran ke arah sana itu semakin nyata. Semoga kelak, anak-anak kita masih melihat dan berproses dengan buku serta pena.
Namun yang lebih penting dari semua itu, sebagai manusia semoga kita tidak kehilangan nilai-nilai kemanusiaan. Meski mungkin suatu saat antar manusia akan semakin berjarak tanpa sentuhan fisik, tetapi rasa cinta, kasih sayang, simpati, empati akan tetap tumbuh subur bagai suluh kehidupan. Tak hanya memanusiakan manusia, yang memperlakukan orang lain secara manusiawi penuh penghormatan serta penghargaan, tetapi juga bagi seluruh makhluk hidup lain di muka bumi ini. []