Mubadalah.id – Tadi malam aku mengikuti sebuah seri talkshow terbuka yang diadakan oleh LetSStalk (Let’s talk about Sex and Sexualities). Sebuah komunitas yang mengangkat isu pendidikan seks dan seksualitas dalam keluarga sebagai bahasan pokok, dengan tema Rethinking Islamic Feminism in Contemporary Indonesia: Metodologi dan Agenda. Alasanku mengikuti acara ini terbilang sederhana, karena aku melihat dua sosok yang sudah familiar untukku hadir sebagai narasumber di acara itu, yakni ibu Lies Marcoes dan Kiai Faqihuddin Abdul Qadir.
Ada sosok baru untukku pada sesi talkshow malam itu, yakni Profesor Etin Anwar. Beliau adalah sosok penulis perempuan di balik buku “Feminisme Islam: Geneologi, Tantangan, dan Prospek di Indonesia” yang akan diluncurkan malam ini. Moderator mengenalkan sosok Profesor Etin Anwar sebagai seorang ilmuwan diaspora Indonesia yang menjadi dosen di Amerika Serikat, tepatnya di Hobart and William Smith Colleges, New York. Bidang ilmu yang digelutinya adalah etika perbandingan, studi Islam, feminisme Islam, Islam dan lingkungan, serta Islam dan globalisasi.
Tibalah saat Profesor Etin Anwar menyampaikan paparannya. Beliau memulai dengan dua pandangannya terhadap feminisme Islam, yakni secara pre-text dan context. Pre-text feminisme Islam merupakan asumsi-asumsi dan pemahaman-pemahaman yang diasosiasikan sebagai feminisme Islam. Sedangkan context feminisme Islam merupakan fenomena yang lahir di berbagai belahan dunia yang berbeda dengan retorika yang berbeda-beda namun tetap menyisakan persamaan yang bernilai substantif.
Tak ingin memancing rasa penasaran yang terlalu lama, Profesor Etin Anwar segera mengemukakan tiga substansi persamaan dari berbagai fenomena feminisme Islam yang telah lahir di berbagai belahan dunia. Kesamaan yang pertama adalah pengalaman perempuan sebagai dasarnya. Kesamaan yang kedua adalah gerakan aktivisme yang spesifik pada komunitas masing-masing. Dan kesamaan yang ketiga adalah penggunaan Islam sebagai framework gerakan ini.
Dengan ini, setidaknya Profesor Etin Anwar mengemukakan dua gagasan definisi feminisme Islam menurutnya. Yang pertama, feminisme Islam adalah alat yang digunakan untuk melihat gerakan akumulasi pengalaman perempuan secara spesifik dalam budaya maupun network (jaringan) Islam.
Dan yang kedua, feminisme Islam adalah perangkat untuk melihat gerakan sosial yang mengatasi gender gap (kesenjangan gender) dalam masyarakat, dalam ranah domestik maupun publik. Atau dengan kata lain, feminisme Islam dilihat sebagai gerakan yang mempromosikan keadilan gender di masyarakat.
Saat Profesor Etin Anwar menyatakan tentang pre-text feminisme Islam, seketika aku terfikir adanya kesalahan dalam interpretasi atau penafsiran sumber hukum Islam, baik dari Al-Qur’an, maupun Hadits. Sehingga muncullah ketidakadilan gender khususnya pada perempuan yang didasarkan pada teks agama.
Asumsi-asumsi dan pemahaman-pemahaman yang mengandung kesenjangan gender inilah yang akhirnya mengantarkan para feminis muslim untuk menganalisa sebab-sebab ketidakadilan yang diterima oleh perempuan. Adapun hasil dari pemikiran, reintrepretasi atau penafsiran ulang terhadap teks agama yang kemudian dijadikan sebuah aksi, menjadikannya context feminisme Islam.
Setali tiga uang dengan Profesor Etin Anwar, aku melihat bahwa context dari feminisme baik itu sekular maupun Islam memiliki retorikanya masing-masing. Feminisme radikal dan liberal dengan klaim-klaim biologisnya. Faminisme sosialis memperjuangkan kesamaan kelas dalam masyarakat. Feminisme etnis yang berjuang untuk mengedepankan penghapusan pembedaan perlakuan terhadap perempuan kulit berwarna, dan masih banyak lainnya.
Namun, kembali lagi pada kesamaan yang menjadi garis merah di antara feminisme-feminisme yang ada, yakni selalu berdasarkan pada pengalaman perempuan dan aktivisme yang speseifik pada komunitas masing-masing dalam memperjuangkan nilai-nilainya. Pada feminisme Islam, framework Islam-lah yang menjadikan benang merah lanjutannya.
Rachel Rinaldo, yang merupakan seorang sosiolog yang juga hadir dalam talkshow malam itu mengatakan bahwa feminisme Islam hadir sebagai alternatif. Karena dalam konteks mayoritas Islam, feminisme dapat diartikulasikan dalam kerangka Islam meski tidak banyak berbeda dengan feminisme sekuler. Sehingga akan muncul sebuah adaptasi dalam masyarakat untuk menunjukkan bahwa sesungguhnya kita mampu untuk menjadi feminis dan muslim di waktu yang bersamaan.
Namun sepertinya, kita masih belum mampu untuk menyebutkan feminisme Islam secara definitif yang final, karena ternyata hal ini merupakan proses yang terus berjalan dari rangkaian negosiasi dan identifikasi diri kita dalam menjembatani feminisme dan Islam. Jadi, bagaimana feminisme Islam versimu? []