• Login
  • Register
Rabu, 22 Maret 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Refleksi Nilai-nilai Toleransi pada Tradisi Suro

Dari praktik masyarakat berbagai wilayah di Nusantara, khususnya di Prigi untuk memperingati bulan Suro, tercermin nilai-nilai kemanusiaan dan prinsip-prinsip toleransi

Hasna Azmi Fadhilah Hasna Azmi Fadhilah
02/08/2022
in Publik
0
Tradisi Suro

Tradisi Suro

332
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Indonesia dengan beragam suku dan budayanya tak bisa lepas dari proses akulturasi yang mempengaruhi satu tradisi dengan tradisi lainnya. Salah satu ritual yang mencerminkan nilai-nilai tersebut adalah perayaan tradisi suro, Suroan atau dalam tradisi umat Muslim lebih terkenal dengan istilah perayaan tahun baru Islam.

Ritual Bulan Suro sendiri masih sering dilaksanakan oleh warga Suku Jawa, dengan tujuan untuk menghindari kesialan, bencana, hingga musibah penyakit. Biasanya, pada bulan istimewa ini, warga akan mengadakan tumpengan, ziarah, hingga berpuasa.

Sesungguhnya tidak hanya Masyarakat Jawa yang menganggap Suro sebagai momen sakral dan penting. Di dalam ajaran Islam bulan Muharram atau bulan suro merupakan salah satu di antara empat bulan yang bernama bulan haram. Hal tersebut termaktub dalam Al-Qur’an surah At-Taubah ayat 36:

اِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ مِنْهَآ اَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ەۙ فَلَا تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ اَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِيْنَ كَاۤفَّةً كَمَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ كَاۤفَّةً ۗوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ

“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu, dan perangilah kaum musyrikin semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang takwa.”

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Ramadan dan Nyepi; Lagi-lagi Belajar Toleransi
  • Nilai Inklusif dalam Perayaan Nyepi 2023
  • Refleksi: Sulitnya Menjadi Kaum Minoritas
  • Poligami Bukan Tradisi yang Dilahirkan Islam
    • Tradisi Suro di Berbagai Daerah
    • Toleransi dalam Tradisi Suro
    • Merawat Nilai-nilai Kemanusiaan

Baca Juga:

Ramadan dan Nyepi; Lagi-lagi Belajar Toleransi

Nilai Inklusif dalam Perayaan Nyepi 2023

Refleksi: Sulitnya Menjadi Kaum Minoritas

Poligami Bukan Tradisi yang Dilahirkan Islam

Tradisi Suro di Berbagai Daerah

Yang menarik, meski tradisi Suro memiliki tujuan sama, yakni mengharap keberkahan dan keselamatan, namun tiap daerah biasanya mempunyai agenda berbeda. Misalnya di Ponorogo, Jawa Timur yang merayakan acara tahunan ini dengan festival reog, pawai lintas sejarah, dan kirab pusaka.

Sedangkan di Sleman, Yogyakarta, tepatnya di Desa Mlangi Nogotirto, melakukan peringatan asyura dengan memasak sego megono, yang kemudian akan mereka bawa ke masjid, dan mereka bagi kepada anak-anak, terutama yang kehilangan orang tua atau berstatus yatim piatu. Sego megono sendiri artinya adalah nasi yang lengkap dengan cacahan nangka muda yang mereka masak dengan bumbu.

Meski masakan yang terkesan sederhana, sego megono mempunyai makna mendalam. Menu ini simbol dari karunia alam semesta. Bahkan dalam catatan Huda (2017), sego megono disandingkan dengan nilai-nilai toleransi dalam perbedaan sebab nasi ini kerap tersaji dengan bermacam-macam lauk.

Toleransi dalam Tradisi Suro

Internalisasi toleransi yang terpantulkan dari tradisi Suro tidak hanya ada di dua tempat tadi, di Desa Prigi, Kecamatan Watulino, Kabupaten Trenggalek Jawa Timur. Toleransi dengan cakupan lebih luas antar umat beragama dipraktikkan dengan indah melalui hantaran makanan. Mendekati Bulan Suro, umat Buddha di sana melakukan tradisi antar masakan ketan yang disebut dengan punggahan.

Umat Buddha memasak ketan dan makanan lain untuk diberikan kepada umat Islam. Tujuannya untuk membalas kebajikan umat Islam saat menjelang bulan puasa yang juga mengantarkan ketan kepada umat Buddha. Puncak dari tradisi punggahan ini adalah pada saat bulan purnama. Mereka melakukan sembahyang di Vihara dengan membawa ketan, pasung, apem, pisang, dan tumpeng.

Usai punggahan, tradisi mereka tak selesai begitu saja. umat Buddha di Desa Prigi menjalani puasa sampai malam pangkareman. Pangkareman adalah hari tenggang sebelum memasuki 1 (satu) Suro. Pada masa pangkareman ini umat Buddha tidak melakukan aktivitas atau pekerjaan rutin, yang mirip dengan tradisi Nyepi umat Hindu.

Merawat Nilai-nilai Kemanusiaan

Mereka mengganti aktivitas rutinnya dengan pengendalian diri dan ibadah. Hubungan antara 1 (satu) Suro dan pangkareman adalah pengibaratan kelahiran manusia yang bertaruh dengan nyawa. Hal tersebut mengingatkan bahwa manusia akan menghadapi perjuangan hidup dan menjalani kelahiran Tahun Baru Saka ke depannya.

Selain ibadah internal, puncak internalisasi nilai-nilai agama terpampang nyata ketika puncak kebersamaan antara umat Buddha dan Islam terwujud melalui kumpul-kumpul bersama dengan berkeliling desa sebagai wujud syukur atas banyaknya nikmat dan berkah yang mereka rasakan. Setelah pawai berkeliling desa, mereka kembali ke rumah masing-masing untuk bersiap menerima kunjungan dari keluarga, saudara, dan tetangga (Rahayu, 2022).

Dari praktik masyarakat berbagai wilayah di Nusantara, khususnya di Prigi untuk memperingati bulan Suro, tercermin nilai-nilai kemanusiaan dan prinsip-prinsip toleransi yang perlu terus kita rawat dan lestarikan. Agar jangan sampai modernisasi dan paham radikalisme mencederai persatuan bangsa. []

Tags: keberagamanMuharramNusantaraPerdamaianTahun Baru HijriyyahtoleransiTradisi
Hasna Azmi Fadhilah

Hasna Azmi Fadhilah

Belajar dan mengajar tentang politik dan isu-isu perempuan

Terkait Posts

Perayaan Nyepi

Nilai Inklusif dalam Perayaan Nyepi 2023

22 Maret 2023
Travel Haji dan Umroh

Bagaimana Menghindari Penipuan Biro Travel Umroh dan Haji?

20 Maret 2023
Perempuan Harus Berpolitik

Ini Alasan, Mengapa Perempuan Harus Berpolitik

19 Maret 2023
Pembahasan Childfree

Polemik Pembahasan Childfree Hingga Hari Ini

18 Maret 2023
Bimbingan Skripsi, Kekerasan Seksual

Panduan Bimbingan Skripsi Aman dari Kekerasan Seksual

17 Maret 2023
Kekerasan Simbolik

Bibit Kekerasan Simbolik di Lembaga Pendidikan

16 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Aman Berpuasa untuk Ibu Hamil

    Tips Aman Berpuasa untuk Ibu Hamil dan Menyusui

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Refleksi: Sulitnya Menjadi Kaum Minoritas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingnya Pembagian Kerja Istri dan Suami

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nilai Inklusif dalam Perayaan Nyepi 2023

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan Juga Wajib Bekerja

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Ramadan dan Nyepi; Lagi-lagi Belajar Toleransi
  • Nilai Inklusif dalam Perayaan Nyepi 2023
  • Pentingnya Pembagian Kerja Istri dan Suami
  • Refleksi: Sulitnya Menjadi Kaum Minoritas
  • Dalam Catatan Sejarah, Perempuan Kerap Dilemahkan

Komentar Terbaru

  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Kemandirian Perempuan Banten di Makkah pada Abad ke-20 M - kabarwarga.com pada Kemandirian Ekonomi Istri Bukan Melemahkan Peran Suami
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist