• Login
  • Register
Selasa, 21 Maret 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Buku

Representasi Batin Perempuan Jawa dalam Novel Wigati

Keberanian Ning Khilma Anis dalam mengungkap tradisi pesantren dan pergolakan batin perempuan Jawa dengan narasi yang jauh dari diksi peyorasi patut untuk diapresiasi. Kita butuh Ning Khilma Anis lainnya, yang mampu mengungkapkan pergolatan batin perempuan dengan memposisikan pembaca sebagai aktor.

Lutfiana Dwi Mayasari Lutfiana Dwi Mayasari
27/06/2021
in Buku, Sastra
0
Perempuan

Perempuan

1.3k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Dunia tulis menulis dengan genre fiksi dikejutkan dengan kehadiran novel berlatar belakang pesantren yang dinarasikan dengan bahasa dan cerita yang mengaduk emosional pembaca. Ia adalah Khilma Anis, perempuan berdarah Jawa yang juga seorang ning (sebutan untuk anak perempuan yang lahir dari lingungan pesantren). Latar belakang tersebut mampu menghantarkan pada keberhasilannya dalam merepresentasikan pergulatan hati seorang perempuan jawa yang sekaligus santri, dan tinggal di lingkungan yang syarat akan nilai patriarkis.

Wigati adalah judul sekaligus tokoh utama dalam novel tersebut. Pribadinya yang wingit, kejawen, dan misterius digambarkan oleh tokoh Manik, teman baik Wigati di pesantren Daris. Perjalanan untuk mempertemukan keris kyai Rajamala milik ayah biologis Wigati dan keris Nyai Cundik Arum milik Wigati secara tidak sengaja menyeret Manik ke pusaran problematika keluarga Wigati.

Dalam perjalanan panjang tersebut, Manik juga dipertemukan dengan tokoh Hidayat Jati, santri dari pemilik keris kyai Rajamala sekaligus pembawa pelet kendhit dari kayu Timaha pada warangka keris. Kebersamaan yang serba tidak sengaja tersebut justru memunculkan benih asmara antar keduanya. Derap jantung yang memacu adrenalin Manik setiap bertemu  dengan Hidayat Jati disambut dengan resonansi yang sama. Cinta mereka merekah dan bersemi dalam ritme yang indah.

Hingga berakhir pada sebuah janji, bahwa jika misi mereka untuk mempertemukan keris kyai Rajamala dan keris Nyai Cundik Arum berhasil, mereka akan bertemu lagi untuk mengikat deru asmara yang bergejolak dalam hubungan yang halal. Panggilan “sayang” untuk pertama kali dari Hidayat Jati diakhir perjumpannya dengan Manik berhasil menghipnotis pembaca, seolah larut dalam kisah asmara dua santri.

Pergulatan batin perempuan Jawa dalam novel

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Sosok Khilma Anis; Ibu Nyai yang Mencintai Wayang dan Keris
  • Mengenali Sastra Pesantren dari Masa ke Masa
  • Menyoal Budaya Nikah Suku Sasak (2): Keharusan Memberi ‘Pisuke’ kepada Keluarga Istri
  • Mendorong Permenag Untuk Pencegahan Kekerasan Seksual di Pesantren, Mengapa Tidak?

Baca Juga:

Sosok Khilma Anis; Ibu Nyai yang Mencintai Wayang dan Keris

Mengenali Sastra Pesantren dari Masa ke Masa

Menyoal Budaya Nikah Suku Sasak (2): Keharusan Memberi ‘Pisuke’ kepada Keluarga Istri

Mendorong Permenag Untuk Pencegahan Kekerasan Seksual di Pesantren, Mengapa Tidak?

Pertama, representasi perempuan sebagai konco wingking laki-laki. Pemilik keris Rajamala adalah ayah biologis Wigati, anak dari seorang kyai besar yang sangat dihormati. Menikahi ibu Wigati secara sirri¸dan meninggalkannya saat hamil. Nenek Wigati sebenarnya tidak setuju dengan perkawinan sirri tersebut karena akan merugikan pihak perempuan. Namun sebagai perempuan Jawa yang taat pada suami, nenek Wigati tidak berani menentang keputusan kakek Wigati untuk menikahkan keduanya.

Kesadaran nenek Wigati akan kerugian dan dampak perkawinan sirri bagi perempuan tetap kalah dengan legacy patriarki. Dimana pengambil keputusan utama adalah pihak laki-laki. Akibatnya, derita kepanjangan tak dapat dibendung, dan naasnya perempuanlah yang paling dirugikan dalam sebuah perkawinan sirri.

Kedua, representasi budaya nerimo ing pandum bagi perempuan Jawa. Manik adalah sosok teman setia bagi Wigati. Manik kerap menggunakan previlage-nya sebagai santri yang sedang dalam proses didekati oleh kang Mahrus, kepala Madrasah Diniyah di pesantren yang mereka tempati.

Sebagai seorang santri yang ditaksir seorang ustadz yang konon kepintarannya mengalahkan para gus dan kyai muda, Manik tidak cukup memiliki kekuatan untuk menolak, meskipun jiwanya memberontak. Previlage tersebut Manik gunakan untuk melindungi Wigati saat ia mendapat hukuman karena sering keluar pesantren untuk menyelesaikan permasalahan keluarganya.

Pada akhirnya justru Wigatilah orang yang menyakiti hati Manik. Rencana Manik dan Hidayat Jati untuk menghalalkan kisah asramanya kandas. Manik justru ditinggalkan seorang diri, disebuah tempat yang sangat asing, keberadaannya fisiknya ada namun tak ada yang memperdulikannya. Ia menyadari bahwa Wigati tetaplah ksatria dalam perjalanan panjang ini. Ia hanyalah punokawan (pendamping) yang kehadirannya kerap tak dianggap meskipun perannya besar.

Hal ini disebabkan oleh dominasi kuasa seorang kyai yang otoritatif atas diri Hidayat Jati sebagai seorang santri. Hidayat Jati justru dijodohkan dengan Wigati, tepat setelah pertemuan keris kyai Rajamala dan keris Nyai Cundik Arum, beberapa saat sebelum pemilik keris kyai Rajamala yang juga ayah biologis Wigati meninggal

Sebuah fenomena yang mungkin saja banyak terjadi di lingkungan pesantren di Jawa atau bahkan di lingkungan kita secara umum. Dengan dalih to’atan li uulil amri atau ketaatan pada ulama, seringkali mengesampingkan preferensi dirinya, pun termasuk untuk urusan perkawinan. Ingin memberontak namun tak ada akses hingga berakhir pada sebuah penerimaan yang minim negosiasi.

Ketiga, representasi emansipasi perempuan di lingkungan pondok salafi. Dengan dalih modernism, Kang Mahrus memperjungkan kesetaraan di lingkungan pesantren. Meskipun harus berdebat dengan para gus dan ustadz yang bermadhab salafi garis keras, namun pada akhirnya Bu Nyai diberi akses dan panggung untuk mengajar di pesantren. Bu Nyai tak lagi diposisikan sebagai pendamping Kyai saja.

Pada lingkungan pesantren salafi yang terkenal dengan fikih literalisnya, memasukkan unsur-unsur modernitas sebagaimana digambarkan Ning Khilma Anis dalam novelnya memang membutuhkan upaya yang sangat besar. Perdebatan yang kadang berakhir dengan takfiri, adalah sebuah fenomena yang lazim terjadi di masyarakat kita. Tak hanya antara salafi dengna modernitas, perbedaan golongan, preferensi politikpun akan menjadi penyebab munculnya konflik.

Novel Wigati lebih dari hanya sekedar cerita fiksi, selain menceritakan pergulatan batin yang luar biasa dalam diri Manik sebagai perempuan Jawa, karya ini lebih dekat dengan ensiklopedi. Pembaca seolah dibawa untuk memainkan imajinasi dan larut dalam alur cerita didalamnya. Pembaca menjadi pengembara dan dipaksa untuk ikut serta dalam memperkirakan pilihan-pilihan yang sekiranya akan diambil oleh para tokoh.

Problem dan konflik dalam novel Wigati adalah hal yang banyak dirasakan oleh sebagian perempuan Jawa. Dimana pemberontakan dalam hati dan fikiran atas kungkungan budaya patriarkis ini sebenarnya ada, namun tak banyak jalan yang bisa dilakukan kecuali hanya menerima dan dengan besar hati akhirnya menganggap inferiority perempuan atas laki-laki adalah sebuah kodrat. Menerima untuk dinomorduakan, dan menerima untuk tersakiti diatas kebahagiaan orang lain.

Keberanian Ning Khilma Anis dalam mengungkap tradisi pesantren dan pergolakan batin perempuan Jawa dengan narasi yang jauh dari diksi peyorasi patut untuk diapresiasi. Kita butuh Ning Khilma Anis lainnya, yang mampu mengungkapkan pergolatan batin perempuan dengan memposisikan pembaca sebagai aktor.

Pun saya sebenarnya juga penasaran bagaimana Ning Khilma Anis mampu membuat suatu narasi yang penuh perlawanan namun elegan, dan narasi asmara penuh cinta dan kasih sayang yang menggebu namun jauh dari diksi-diksi nafsu hewani?

Jika novel ini memang dibuat versi filmnya, mungkin saya adalah salah satu pembaca yang memilih untuk tidak menonton. Karena tak kuasa membayangkan hancurnya perasaan Manik ketika ia menaiki becak seorang diri, tanpa tujuan, setelah dicampakkan Hidayat Jati dan tak dihiraukan Wigati. Betapa sakitnya sampai ke ulu hati. []

 

 

Tags: Budaya JawaKhilma AnisLiterasi PesantrenNovel WigatiPerempuan PesantrenSastra PesantrenTradisi Nusantara
Lutfiana Dwi Mayasari

Lutfiana Dwi Mayasari

Dosen IAIN Ponorogo. Berminat di Kajian Hukum, Gender dan Perdamaian

Terkait Posts

Korban Kekerasan Seksual

Luka yang Tidak akan Sembuh: Beban Psikis Korban Kekerasan Seksual dalam Novel Scars and Other Beautiful Things

12 Maret 2023
Isu Gender

Etin Anwar: Isu Gender dalam Pandangan Filsafat Islam

4 Maret 2023
Bidadari Surga

Perempuan yang Menggugat Bidadari Surga (Bagian Pertama)

24 Januari 2023
Tak ingin Menikah

Emak, Ijah tak Ingin Menikah

22 Januari 2023
Women’s March

Relasi Mubadalah Muslim dengan Umat Berbeda Agama Part III-Habis

13 Januari 2023
Dongeng dari Gus Mus

Awas, Manusia! Dongeng dari Gus Mus untuk Gen Alpha

10 Januari 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kerja Istri

    Pentingnya Pembagian Kerja Istri dan Suami

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Prinsip Perkawinan Menjadi Norma Dasar Bagi Pasangan Suami Istri

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Siti Walidah: Ulama Perempuan Progresif Menolak Peminggiran Peran Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Refleksi: Sulitnya Menjadi Kaum Minoritas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan Juga Wajib Bekerja

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Pentingnya Pembagian Kerja Istri dan Suami
  • Refleksi: Sulitnya Menjadi Kaum Minoritas
  • Dalam Catatan Sejarah, Perempuan Kerap Dilemahkan
  • Tips Aman Berpuasa untuk Ibu Hamil dan Menyusui
  • Perempuan Juga Wajib Bekerja

Komentar Terbaru

  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Kemandirian Perempuan Banten di Makkah pada Abad ke-20 M - kabarwarga.com pada Kemandirian Ekonomi Istri Bukan Melemahkan Peran Suami
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist