Mubadalah.id – Kasus child grooming dan kekerasan seksual di Gorontalo kemarin menyisakan PR besar untuk kita. Kasus itu muncul setelah video syur viral di media sosial. Konon video itu sengaja direkam oleh temannya sebagai bukti untuk diserahkan kepada istri pelaku.
Kasus yang menunggu viral ini bukan hanya sekali. Ada berkali-kali kasus video syur dan viral yang kemudian pihak berwajib baru bergerak. Sampai kapankah kasus kekerasan seksual terus mendapat perhatian setelah viral dan munculnya video syur?
Bukti Kekerasan Seksual yang Sulit
Dalam hukum, kasus kekerasan seksual sebisa mungkin menyertakan dengan bukti. Apalah daya para perempuan, buktinya harus video, hasil visum, bahkan kehamilan. Apakah perempuan kita harus menjadi korban berkali-kali, video syur yang viral mempermalukan mereka, bahkan mengalami kehamilan baru mendapatkan keadilan?
Keadilan apa yang kita harapkan dari kasus yang berpihak pada pelaku? Kenapa kita tidak mencari bukti bahwa pelaku tidak melakukan kekerasan daripada harus mencari bukti dari korban? Kenapa kita tidak menggunakan jasa psikolog yang bisa membaca gelagat dan motif para pelaku alih-alih mencari bukti dari korban?
Dipermalukan
Korban kekerasan seksual seringnya menjadi bulan-bulanan masyarakat. Alih-alih mendapat perlindungan psikologis dan hukum, korban malah menjadi bahan ejekan dan masyarakat merendahkannya. Kemarin, saya melihat banyak komentar bahwa korban terlihat sudah profesional dalam hubungan seksual. Banyak yang justru menganggap korban bersikap manipulatif.
Padahal jika kita runut, untuk apa dia meminta tolong teman agar merekam aksi bejat gurunya? Apa untungnya video syurnya tersebar? Alih-alih mendapat untung, dia justru akan menanggung malu bahkan sekolah mengeluarkannya. Padahal korban adalah siswi berprestasi dan sudah kelas 12. Tanpa mempertimbangkan prestasi dan kondisi psikologisnya, sekolah mengeluarkannya.
Sudut Pandang Perempuan
Selama ini, kita masih jarang menggunakan sudut pandang perempuan untuk menilai sebuah kasus kekerasan seksual. Dalam sudut pandang perempuan, kita harus mempertimbangkan kondisi perempuan kenapa kekerasan bisa terjadi. Sebagai perempuan muda dan berprestasi, memiliki hubungan dengan orang yang jauh lebih tua bukanlah sebuah pencapaian.
Kesaksian korban juga perlu kita perhitungkan sebagai bukti yang kuat. Korban mengaku pelaku mengayomi karena tidak memiliki sosok ayah, namun hubungan seksual bukanlah yang ia inginkan. Ia haus akan kasih sayang orang tua, namun bisa jadi ia tak mampu membedakan antara kasih sayang orang tua yang tulus dengan yang modus.
Relasi Kuasa dalam Kekerasan Seksual
Dalam sudut pandang perempuan, kita perlu mempertimbangkan relasi kuasa. Posisi guru tersebut memiliki kuasa atas siswi. Ia bisa mengancam siswi itu akan mengeluarkan, mempermalukan, dan berbagai ancaman lainnya. Banyak sekali kasus kekerasan seksual terjadi berulang kali dan tidak bisa terungkap karena ketakutan korban akan berbagai ancaman.
Aib dan Tidak Berharga
Para korban kekerasan seksual adalah pihak rentan yang tidak berdaya. Mereka merasa dirinya tidak berharga, tidak perawan, dan tidak suci lagi. Kebanyakan dari korban memilih diam karena menganggap diri mereka sebagai aib. Mereka terkadang memilih untuk menuruti ancaman pelaku karena berpikir tidak akan ada lagi laki-laki yang mau menerima mereka.
Banyak Pelaku Dinyatakan Tidak Bersalah
Banyak sekali kasus kekerasan seksual yang viral kemudian diputuskan dengan tidak adil. Tanpa bukti yang kuat kasus kekerasan seringkali memutuskan bahwa pelaku tidak terbukti bersalah, pelaku bebas berkeliaran. Berkali-kali alasannya adalah bukti yang kurang kuat.
Lantas apakah video syur yang harus berbicara? Haruskah korban menanggung malu di seluruh jagad dunia maya dan dunia nyata? Terlihat seluruh tubuhnya dan menjadi bahan tontonan? Apakah keadilan harus dibayar dengan hilangnya rasa kemanusiaan? []