• Login
  • Register
Selasa, 24 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hikmah

Surga Tak Hanya Monopoli Lelaki

Mengenai Bidadari dan Pasangan Untuk Perempuan Salihah

Ayu Rikza Ayu Rikza
14/10/2020
in Hikmah, Rekomendasi
0
449
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Minggu lalu, ketika saya sedang mengaji kitab “Fathul Qaribil Mujib” fashl fi mujibil gushli (hal-hal yang mewajibkan mandi besar) di madrasah muncul sebuah pertanyaan mendasar yang memantik saya untuk memikirkan duduk perkara musytarok (sesuatu yang sama antara laki-laki dan perempuan) dan mukhtas (sesuatu yang dikhususkan kepada satu gender tertentu) dalam Islam. Salah satu di antara yang muncul di kepala saya ialah soal surga dan apa yang dipahalakan kepada laki-laki dan perempuan yang memasukinya.

Hal ini menarik ketika saya mendapati Kiyai Faqihuddin Abdul Kodir mengawali buku “Qira’ah Mubadalah”-nya dengan menceritakan sebuah momen seorang anak yang menangisi nasib sang ibu jika masuk surga. Pasalnya pada hari itu, di sekolah, guru agamanya menerangkan bahwa laki-laki yang masuk surga akan ditemani bidadari-bidadari. Ia mempertanyakan kepada sang ayah, nanti siapakah yang menemani sang ibu jika ayahnya bersama dengan bidadari?

Kegalauan anak kecil ini bagi saya menggambarkan bagaimana pendidikan kita teramat memberi privilise kepada laki-laki. Sehingga tidak mengherankan jika banyak pahala seolah mukhtas kepadanya dan perempuan tidak mendapatkan hal yang sama.

Diskriminasi semacam ini banyak kita temui dalam praktik-praktik penguraian ajaran-ajaran agama di madrasah dan sekolah. Mewakili anak ini, saya menanyakan kepada diri saya sendiri, apakah sang ibu (perempuan) benar-benar tidak memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pasangan di surga sebagaimana si ayah (laki-laki)?

Asosiasi pahala pasangan di surga dengan laki-laki pada dasarnya merupakan sebuah konstruksi pemahaman keagamaan yang telah terbentuk sejak lama. Hal ini disebabkan populernya penafsiran yang cenderung diambil dari sudut pandang laki-laki sehingga membuatnya sangat bernuansa laki-laki. Misalnya saja kita bisa melihat keterkaitan pahala “bidadari” dikhususkan untuk laki-laki dari tafsiran Surah Al-Baqarah ayat 25.

Baca Juga:

Menyoal Tubuh Perempuan sebagai Fitnah dalam Pemikiran Fikih

Nyai Awanillah Amva: Jika Ingin Istri Seperti Khadijah, Muhammad-kan Dulu Dirimu

Islam Menolak Kekerasan, Mengajarkan Kasih Sayang

Urgensi Ijtihad Fikih yang Berpihak Kepada Perempuan

Kalimat yang cukup problematik pada ayat tersebut terletak kepada lafaz “azwaj muthoharoh” yang menjadi salah satu dari nikmat di surga bersama dengan sungai-sungai, buah-buahan, dan kekekalan di dalamnya. Setidaknya ada dua perbedaan tafsir dalam lafaz ini, yakni kelompok ulama yang menafisiri “azwaj muthoharoh” sebagai “isteri-isteri yang suci” dan kelompok ulama yang menafsirinya dengan “pasangan-pasangan yang suci”.

Tafsir “azwaj muthoharoh” yang dimaknai sebagai pasangan perempuan untuk laki-laki bisa kita jumpai di antaranya pada kitab “Tafsir Jalalain” yang sangat populer di Indonesia dan dikaji oleh mayoritas pesantren dan sekolah agama Islam di sini. Imam Mahalli menulis, “dan bagi mereka di dalam surga terdapat istri-istri dari bidadari atau lainnya yang suci dari haid dan setiap kotoran.”

Kekhususan makna perempuan di sini bisa kita lihat dari pemaknaan kata “azwaj” yang secara literal dimaknai sebagai istri-istri atau dalam konteks “muthoharoh” yang ditafsiri suci dari haid dan nifas yang merupakan kodrat hadas dalam tubuh perempuan. Kendati demikian, ulama-ulama ini juga menyampaikan bahwa tafsir suci sendiri tidak terbatas pada fisik, tetapi juga urusan akhlak dan hati.

Adapun kitab-kitab tafsir yang mengukuhkan makna “istri-istri yang suci” dalam menafsiri lafaz “azwaj muthoharoh” di antaranya ialah Tafsir Al-Mukhtashar/Markaz Tafsir Riyadh di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid (Imam Masjidil Haram), Tafsir Al-Muyassar dari Kementerian Agama Saudi Arabia.

Selain itu, ada pula Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir oleh Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, mudarris tafsir Universitas Islam Madinah, Tafsir Al-Wajiz oleh Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih dan tafsir negeri Suriah, An-Nafahat Al-Makkiyah oleh Syaikh Muhammad bin Shalih asy-Syawi, Tafsir as-Sa’di oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, pakar tafsir abad 14 H, dan Aisarut Tafasir oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, mudarris tafsir di Masjid Nabawi.

Sedang tafsir yang tidak bias gender (memakai makna musytarok) bisa kita lihat melalui makna “pasangan-pasangan” yang ditashih seperti Tafsir Ringkas Kementerian Agama RI dengan bunyi, “dan di sana mereka juga memperoleh pasangan-pasangan yang suci, tanpa cacat dan kekurangan sedikit pun” dan Tafsir Quraish Shihab yang menulis, “Mereka juga diberikan pasangan yang benar-benar suci dan tidak tercela sedikit pun. Mereka akan kekal di dalam surga ini dan tidak akan keluar darinya.”

Tafsiran makna “pasangan” ini setidaknya mengukuhkan perspektif resiprokal bagi kita bahwa perempuan juga memiliki hak yang sama dalam hal pasangan di akhirat nanti. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah dalam sabdanya, “Tak ada yang membujang di akhirat.”

Artinya di surga nanti perempuan tidak akan sendirian seperti yang dikhawatirkan sang anak. Perempuan pun akan mendapatkan pasangan; jika perempuan tersebut bersuami ia akan kembali ke pangkuan suaminya, bila belum bersuami selama di dunia, maka Allah akan memberikan pendamping yang terbaik kelak di akhirat. Pasangan bagi perempuan juga sama, yakni laki-laki yang bersih dari kotoran indrawi dan maknawi.

Syekh Manshur Arabi juga menegaskan bahwa kenikmatan dan kebahagiaan surga juga akan dirasakan oleh muslimah dan tidak terbatas pada laki-laki. Prasayarat pahala ini sederhana, yakni diperuntukkan kepada siapa saja yang beriman dan beramal saleh. Penegasan persamaan dan prasyarat yang penulis jelaskan juga tertuang dalam surah an-Nisaa’ ayat 124 :

“Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun.”

Oleh karena itu, mulai dari sekarang penting bagi kita untuk memberikan pemahaman agama yang resiprokal kepada anak-anak dan muslim pada umumnya. Pengarusutamaan perspektif Mubadalah sangat penting dilakukan untuk menghapus nuansa laki-laki dalam tafsir-tafsir keagamaan kita. Sehingga ke depan, tidak akan ada lagi anak kecil di antara kita yang menangis sebab iba terhadap ibunya yang tidak mendapatkan pasangan di surga. Wallahu a’lam bissawab wa ilaihi marji’ wal maab. []

Tags: islamistrilelakiperempuansuamisurga
Ayu Rikza

Ayu Rikza

A herdswoman in the savannah of knowledge—but more likely a full time daughter and part time academia.

Terkait Posts

Tubuh Perempuan Sumber Fitnah

Stigma Tubuh Perempuan sebagai Sumber Fitnah

23 Juni 2025
fikih perempuan

Menyoal Tubuh Perempuan sebagai Fitnah dalam Pemikiran Fikih

23 Juni 2025
Seksualitas Perempuan

Seksualitas Perempuan dalam Fikih: Antara Penghormatan dan Subordinasi

23 Juni 2025
Debat Agama

Kisah Salim dan Debat Agama

23 Juni 2025
Kekerasan

Islam Menolak Kekerasan, Mengajarkan Kasih Sayang

22 Juni 2025
Ketahanan Pangan

Refleksi Kisah Yusuf Dalam Rangka Mewujudkan Ketahanan Pangan Melalui Transisi Energi Berkeadilan

22 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Hakikat Berkeluarga

    Membedah Hakikat Berkeluarga Ala Kyai Mahsun

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kebaikan Yang Justru Membunuh Teman Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Spiritual Awakening : Kisah Maia dan Maya untuk Bangkit dari Keterpurukan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Korban KBGO Butuh Dipulihkan Bukan Diintimidasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kisah Salim dan Debat Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Stigma Tubuh Perempuan sebagai Sumber Fitnah
  • Membedah Hakikat Berkeluarga Ala Kyai Mahsun
  • Menyoal Tubuh Perempuan sebagai Fitnah dalam Pemikiran Fikih
  • Korban KBGO Butuh Dipulihkan Bukan Diintimidasi
  • Seksualitas Perempuan dalam Fikih: Antara Penghormatan dan Subordinasi

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID