• Login
  • Register
Senin, 19 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Featured

Takbir Idulfitri: Momentum Kembali Pada Kesetaraan

Takbir yang menggema di Idulfitri hendak mengajarkan bahwa makhluk, manusia, laki-laki dan perempuan sama-sama kerdilnya di hadapan Tuhan

Moh Soleh Shofier Moh Soleh Shofier
15/04/2024
in Featured, Hikmah
0
Takbir Idulfitri

Takbir Idulfitri

504
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah. Id – Sejak masjid, musala, surau dan langgar mulai mengumandangkan takbir Idulfitri 1445 H, saya tercenung. “Refleksi apa yang hendak menjadi kesadaran, sekurang-kurangnya, untukku ke depan?”, kegelisahan yang terlintas dalam pikiran.  Suasana gamang itu berlanjut sampai akhirnya sirna pula mengiringi Idulfitri yang turut usai – meski vibes-nya masih terasa.

Menurutku, Idulfitri identik dengan takbir. Bayangkan, Takbir itu menggema sejak matahari tenggelam di akhir bulan Ramadan. Berlanjut hingga salat Id terlaksanakan. Dalam salat Id pun, takbir terus berulang. Tujuh kali untuk rakaat pertama dan lima kali pada rakaat kedua – selain takbir al-ihram dan intiqal.

Dalam al-Sunan al-Kubra lil Baihaqi disebutkan; “Sesungguhnya Rasulullah Saw, bertakbir pada dua (salat Id) yakni Idul Fitri dan Idul Adha tujuh kali dan lima kali. Pada rakaat pertama tujuh kali, rakaat terakhir lima kali selain takbir salat .” (al-Sunan al-Kubra lil Baihaqi, 3/404­).

Demikian pula dalam khutbah yang dilangsungkan sesudah salat Id. Pada khutbah pertama sunah  untuk memulainya dengan takbir sebanyak sembilan kali. Sementara dalam khutbah kedua, sunah hukumnya memulai dengan takbir sebanyak tujuh kali (Fathul Qarib al-Mujib, 102).

Takbir Idul Fitri Membangun Kesetaraan Selain Allah

Secara sederhana, takbir adalah mengagungkan Allah serta meyakini bahwa tiada sesuatu pun yang lebih besar dan lebih agung daripada Allah. Sehingga, di bawah  keagungan Allah, menjadi kecil setiap sesuatu yang besar (Fiqh al-Ad’iyah wa al-Azdkar, 1/285).

Baca Juga:

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

Membuka Tabir Keadilan Semu: Seruan Islam untuk Menegakkan Keadilan

Waisak: Merayakan Noble Silence untuk Perenungan Dharma bagi Umat Buddha

Islam Hadir untuk Gagasan Kemanusiaan

Dengan kata lain, selain Allah adalah kerdil bila nisbahnya dengan Tuhan. Dengan Takbir yang menggema di Idulfitri hendak mengajarkan bahwa makhluk, manusia, laki-laki dan perempuan sama-sama kerdilnya di hadapan Tuhan. Tak ada yang superior dan inferior, dan tak ada supremasi lantaran jenis kelamin. Inilah prinsip Tauhid dalam momentum Idulfitri.

Takbir Idulfitri menegaskan ajaran tauhid: kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di hadapan Tuhan. Kang Faqih pernah menandaskan,

“Tauhid, dalam konteks relasi antara laki-laki dan perempuan, meniscayakan hubungan langsung antara perempuan dan Tuhannya. Karena hubungan vertikalnya hanya kepada Tuhan, maka relasi antara laki-laki dan perempuan bersifat horizontal di mana keduanya adalah setara, sesama hamba-Nya dan sama-sama sebagai manusia bermartabat.”

Sifat Superioritas Hanya Milik Allah Bukan Makhluk

Ulasan tersebut selaras dengan firman Allah dalam Hadis Qudsi,

الْكِبْرِيَاءُ رِدَائِي، وَالْعَظَمَةُ إِزَارِي، فَمَنْ نَازَعَنِي وَاحِدًا مِنْهُمَا، قَذَفْتُهُ فِي النَّارِ

“Kebesaran adalah selendangku, sedang keagungan adalah sarungku. Barangsiapa merampas salah satunya dari-Ku maka pasti Ku-campakkan dia ke dalam neraka” (Sunan Abi Daud, 4/59).

Menjelaskan Hadis Qudsi ini, al-Khattabi dalam Ma’alim al-Sunan mengatakan,

أن الكبرياء والعظمة صفتان لله سبحانه اختص بهما لا يشركه أحد فيهما ولا ينبغي لمخلوق أن يتعاطاهما، لأن صفة المخلوق التواضع والتذلل

“Bahwa kebesaran dan keagungan adalah adalah dua sifat eksklusif milik Allah yang tidak dimiliki oleh selain Allah. juga tidak layak bagi makhluk merampas dua sifat ini lantaran sifat makhluk adalah tawadlu dan merendah.” (Ma’alim al-Sunan, 4/196)

Sampai di sini, dapat menarik benang merah bahwa sejatinya Idulfitri yang identik dengan takbir mengajarkan hal penting. Yaitu bahwa semuanya, bahkan sesuatu yang dianggap superior sekali pun tidak mungkin menandingi Kebesaran Tuhan. Hanya Allah yang superior.

Jika dalam keseharian cenderung mengagungkan jenis kelamin lantaran seolah punya privelige, pangkat dan jabatan, mendewakan popularitas, karir, dan keterkenalan, maka dengan adanya Idulfitri kita kembali diingatkan bahwa semua itu tak ada apa-apanya, semuanya setara; sama-sama kerdilnya. Sebab yang Maha Besar dan Maha Agung hanya Allah.

Idulfitri: Momentum Kembali Pada Relasi Setara

Menelisik aspek bahasa, sebenarnya kata Idulfitri berasal dari kata Ied dan Fithri. Kata Ied dari asal kata Aud yang berarti kembali. Dari sinilah ritual tahunan ini  bernama “Idul” (Fitri) lantaran perayaannya berulang kali setiap tahun: kembali melakukan tiap tahun.

Para linguis lainnya, mengatakan bahwa penamaan Idulfitri (dengan menyematkan Id) karena setiap kali menjelang hari raya tersebut umat muslim notabennya bergembira ria. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa penamaan tersebut karena pada hari itu Allah banyak memberikan jamuan karunia pada hamba-hambanya.

Sedangkan “Fitri” bermakna fitrah atau kondisi asali, situasi di mana seseorang dalam fase kosong layaknya bayi. Tidak punya kecenderungan dan intervensi sosial. Oleh karenanya, bisa menginput informasi apa saja, baik yang positif pun negatif. Terkait hal ini, Imam al-Ghazali dawuh:

فإن الصبي بجوهره خلق قابلاً للخير والشر جميعاً وإنما أبواه يميلان به إلى أحد الجانبين

“Karena sesungguhnya bayi secara intrinsik diciptakan dalam kondisi (fitrah) bisa menerima informasi positif dan negatif. Kedua orang tuanya lah (lingkungan dan budaya) yang membuat bayi itu condong pada sisi negatif atau positif”, (Ihya Ulumiddin, Al-Ghazali, 3/74).

Dalam kondisi ini, seseorang semuanya setara baik laki-laki dan perempuan, muslim dan non muslim. Yang membuat mereka punya keistimewaan (positif) atau merasa superior (negatif) adalah budaya dan lingkungan. Tentu, lingkungan yang paling kecil dan dekat adalah keluarga.

Maka tak heran, bila Nabi bersabda bahwa, “Anak yang lahir itu dalam kondisi fitrah. Bapak dan ibunya (lingkungan) yang membuat mereka memiliki kecenderungan pada Yahudi, Kristen, dan Zoroaster”.

Walhasil, saya bisa menarik kesimpulan refleksinya, bahwa seseorang yang memasuki perayaan “Idulfitri” beriringan dengan lantunan takbir, sejatinya kembali kepada momentum kesetaraan: Fitri dengan penuh anugerah dan kesenangan. Wallahu A’lam wal Fayataammul. []

Tags: Hari Raya Idulfitri 1445 HHikmahislamKesetaraanlebaranTakbir Idulfitri
Moh Soleh Shofier

Moh Soleh Shofier

Dari Sampang Madura

Terkait Posts

Pemukulan

Menghindari Pemukulan saat Nusyuz

18 Mei 2025
Gizi Ibu Hamil

Memperhatikan Gizi Ibu Hamil

17 Mei 2025
Pola Relasi Suami Istri

Pola Relasi Suami-Istri Ideal Menurut Al-Qur’an

17 Mei 2025
Peluang Ulama Perempuan

Peluang Ulama Perempuan Indonesia dalam Menanamkan Islam Moderat

16 Mei 2025
Nusyuz

Membaca Ulang Ayat Nusyuz dalam Perspektif Mubadalah

16 Mei 2025
Poligami dalam

Menggugat Poligami, Menegakkan Monogami

16 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan

    KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menghindari Pemukulan saat Nusyuz

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Ratu Junti, Sufi Perempuan dari Indramayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menghindari Pemukulan saat Nusyuz
  • Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami
  • Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial
  • Memperhatikan Gizi Ibu Hamil

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version