• Login
  • Register
Jumat, 3 Februari 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Buku

The Last Girl: Dimana Agama Tanpa Kemanusiaan?

Ruby Kholifah Ruby Kholifah
20/09/2020
in Buku, Rekomendasi
0
223
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Apakah tanpa agama dan budaya, rasa kemanusiaan itu mungkin hadir dalam diri manusia? Pertanyaan ini yang bergelayut dalam benak saya, selama membaca buku Nadia Murad, seorang gadis dari Suku Yazidi di Irak. Ia ditangkap bersama puluhan gadis dari desanya, saat ISIS expansi daerah kekuasaan di Irak Utara, dimana Desa Kocho, menjadi salah satu target mereka.

Buku berjudul The Last Girl: My Story of Captivity, and My Fight Against the Islamic State ini ditulis oleh Nadia sendiri untuk mengabarkan kepada dunia kekejaman ISIS dalam memperlakukan tawanan perangnya, termasuk para gadis yang diangkut paksa dari desa-desa yang ditaklukkannya.

Bagi saya, buku ini secara gamblang menggambarkan pola-pola yang dipakai ISIS dalam menaklukkan desa-desa untuk secara paksa diklaim sebagai bagian terotori mereka. Untuk melemahkan perlawanan warga desa, laki-laki dipisahkan dari perempuan, lalu perempuan menikah dipisahkan dari yang single, dan akhirnya mereka hanya tertarik perempuan single, dan membunuh hampir seluruh isi desa, memboyong gadis-gadis itu ke camp-camp konsentrasi pasukan ISIS di wilayah Irak maupun Syria.

Nadia, adalah pemberontak. Naluri berontak dan mencari jalan keluar dari kehidupan sebagai budak ISIS, secara konstan dilakukan sejak di dalam bus yang membawanya ke camp-camp tentara ISIS. Keberaniannya justru diganjar dengan siksaan, geng rape, tidak dikasih makan, saat dia mencoba melarikan diri dari Rumah Haji Salman, seorang hakim yang membeli dia dari pelelangan budak perempuan.

Haji Salman naik pitam, dan memerintahkan personel yang menjaga rumahnya untuk bergantian memperkosa Nadia sampai pingsan. Nasib yang sama juga menimpa gadis-gadis lain yang mencoba melarikan diri dari cengkraman ISIS, sudah dipastikan akan ditangkap kembali karena dalam lingkungan dimana simpatisan ISIS tinggal, setiap gerak gerik seseorang yang mencurigakan, akan segera bisa dideteksi, baik oleh tentara yang berkeliaran di jalan, maupun oleh penduduk sendiri yang sudah berbaiat dengan ISIS.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Prinsip Mubadalah Adalah Prinsip Untuk Kesetaraan dan Kemanusiaan
  • Perspektif Mubadalah dan Pentingnya Kesadaran Kemanusiaan Perempuan
  • Solidaritas dan Pentingnya Praktik Kesalingan
  • Prinsip Dasar Islam Adalah Kemanusiaan

Baca Juga:

Prinsip Mubadalah Adalah Prinsip Untuk Kesetaraan dan Kemanusiaan

Perspektif Mubadalah dan Pentingnya Kesadaran Kemanusiaan Perempuan

Solidaritas dan Pentingnya Praktik Kesalingan

Prinsip Dasar Islam Adalah Kemanusiaan

Mungkin ekspresi veteran Vietnam yang dituliskan oleh Karen Amstrong dalam bukunya Field of Blood,  bisa mewakili situasi perang, dan sensasi kegilaan yang dinormalkan. Bagi orang yang melihat jauh perang membawa sengsara, tetapi bagi pendukung sistem perang, itu adalah cara memahami makna dari sebuah keyakinan.

“the war was “hell”, a place where “crazy was natural” and everything “out of control”. But the worst thing I can say about my self is that while I was there I was so alive, I loved it the way you like an adrenaline high…and maybe the worst thing for me now is living in peacetime without a possibility of that high again. I hate what that high was about but I loved that high” 

(perang itu neraka, tempat dimana kegilaan dianggap alamiah, semua diluar kontrol nalar manusia. Tetapi hal terburuk yang bisa saya sampaikan tentang saya adalah saat di sana saya begitu hidup. Menyukai saat adrenalin tinggi, dan mungkin yang terburuk saat ini dimana hidup dalam masa damai tanpa merasakan “ketinggian” itu lagi. Aku benci ketinggian itu sekaligus menyukainya)

Pembunuhan para suami di depan istri-istri sebelum kemudian para istri diperkosa dimanapun berada secara sistematis. Anak-anak baik yang sudah mengalami menstruasi atau belum juga mengalami nasib tak kalah brutalnya. Bahkan ada seorang anak gadis diikat tangan dan kakinya saat tuannya memperkosanya. Penyiksaan, kelaparan akan dialami semua tawanan saat melawan tuannya atau bahkan saat mereka patuh pada tuannya.

Katrine, keponakan Nadia, termasuk yang dianggap favorit oleh tuannya, Dr. Islam dan diperlakukan seperti istri, diminta berdandan dan melayani mereka. Hampir semua sabiyyah yang diambil oleh tuannya, mereka “dinikahkan” di semacam pengadilan setelah di sabiyyah dipaksa berganti agama.

Dalam kegilaan yang dinormalkan inilah, setiap perempuan dari kelompok yang dianggap “infidel” atau mereka menyebutnya kafir, akan diperlakukan semau mereka, karena dibenarkan oleh norma perang. Seperti yang disampaikan oleh Haji Salman, tuan Nadia seolah menjelaskan mengapa mereka memberlakukan sistem perbudakan.

Dia berkata ke Nadia ” Yazidi are infidels, you know? God wants us to covert you and if we can’t , then we can do waht we like to you”. (orang Yazidi adalah orang yang gak percaya Islam, kamu tahu itu? Tuhan menginginkan kita untuk menobatkan mereka, jika tidak mau, maka kita bisa melakukan apapaun yang kita mau kepada kaum Yazidi)

Setelah si tuan puas menikmati budak perempuannya, mereka akan mengembalikan lagi ke pasar lelang budak perempuan dan mengambil yang baru, demikian seterusnya. Beberapa gadis lompat dari gedung tinggi karena tidak sanggup lagi menahan derita. Sebagian mereka memotong pembulu venanya saat mandi dan berakhir kematian. Menjadi sabiyyah, begitu orang ISIS memanggil para perempuan Yazidi yang dipakai sebagai pemuas seks pendukung ISIS, tidak memilik hak apapun, dan tidak akan pernah mendapatkan tuan yang baik, karena di setiap persetubuhan dilakukan dengan kasar penuh kebencian dan nafsu menghancurkan.

Ada banyak upaya melarikan diri yang dilakukan para tawanan ini. Banyak dari mereka berakhir kembali ke tuannya dan mendapatkan hukuman lebih brutal lagi. Tetapi, ada sebagian yang berhasil. Salah satunya adalah Nadia Murad.

Keluar dari rumah Haji Amer adalah keajaiban dari Tuhan. Pintu yang tidak dikunci, tidak ada orang satupun di rumah, juga tidak ada tentara, tidak ada seorangpun di lingkungan rumah termasuk di jalan, bukanlah kondisi normal. Tapi hari itu adalah hari kemerdekaan Nadia yang kemudian berhasil melarikan diri dari rumah Haji Amer dan menemukan tumpangan sementara di rumah keluarga Azawi, yang tidak sepaham dengan ISIS.

Dari sinilah, Nadia berhasil dihubungkan dengan saudara laki-lakinya yang tinggal di daerah kekuasaan Kurdish. Misi penyelamatan Nadia dimulai dengan membuat KTP palsu dan mengganti identitas Nadia, mulai dari nama, tanggal lahir, dan desa tinggalnya. Kirkuk dianggap paling netral untuk jadi tempat yang tidak mencurigakan buat kedua belah pihak, baik ISIS maupun kelompok Kurdish. Sousan dari Kirkuk ingin berkunjung keluarga. Begitu kalimat yang harus dihafal oleh Nadia selama melewati check point sepanjang jalan keluar Mosul ke tempat tujuan.

Niqab sangat membantu dalam misi penyelamatan ini. Meskipun brutal, pendukung ISIS tidak diperkenanakan meminta perempuan membuka Niqab karena bisa dianggap pelanggaran. Inilah yang membantu penyelamatan Nadia, sampai kemudian menemukan keluarganya. Faktor lain yang juga penting adalah menemukan “keluarga” yang bersedia menampung untuk sementara dan menyiapkan semua skenario misi penyelamatan, tidak mudah. Nadia beruntung di malam pelariannya dari Haji Amer, dia menermukan keluarga yang mau membantu. Bayangkan jika rumah yang disinggahinya malam itu ternyata pendukung ISIS. Nasibnya akan lebih buruk lagi.

Buku setebal 306 halaman ini, ditulis dengan sangat ringan dan mudah dicerna. Pengalaman trauma dan keberhasilan Nadia melarikan diri dari ISIS membuat dia menerima Nobel Peace Prize. Bersama dengan organisasi Yazda yaitu organisasi membela hak-hak Yazidi, yang sedang menyiapkan pengaduan ISIS ke Mahkamah Internasional sebagai pelaku genosida dan kejahatan kemanusiaan. Nadia juga melanjutkan kerja-kerja membela para korban genosida dan perdagangan manusia melalui Nadia’s Innitiative.

Sebagai penutup, saya menyakini bahwa kemanusiaan lebih penting dari agama. Maka ajarkanlah kemanusiaan yang utuh kepada generasi muda agar mereka menumbuhkan rasa kemanusiaan. Karena jika suatu saat agama dikontrol oleh kekuatan tertentu yang destruktif maka kita masih punya kemanusiaan untuk bergantung dan tetap welas asih kepada sesama. []

Via: https://womenandpeaceinindonesia.blogspot.com/2020/09/the-last-girl-dimana-agama-tanpa
Tags: agamaISISkemanusiaanNadia MuradYazidi
Ruby Kholifah

Ruby Kholifah

Country Representative The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia

Terkait Posts

Satu Abad NU

Satu Abad NU:  NU dan Kebangkitan Kaum Perempuan 

3 Februari 2023
Nikah di KUA

Salingers, Yuk Normalisasi Nikah di KUA

2 Februari 2023
Akhlak Manusia

Akhlak Manusia Sebagai Ruh Fikih

1 Februari 2023
Aborsi Korban Perkosaan

Ulama Bolehkan Aborsi Korban Perkosaan

31 Januari 2023
Tradisi Tedhak Siten

Menggali Makna Tradisi Tedhak Siten, Benarkah Tidak Islami?

29 Januari 2023
Fatwa KUPI

Menanti Hasil Fatwa KUPI dari Kokohnya Bangunan Epistemologi Part II-Habis

28 Januari 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Satu Abad NU

    Satu Abad NU:  NU dan Kebangkitan Kaum Perempuan 

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kisah Anak Perempuan yang Nabi Muhammad Saw Hormati

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kritik Ibn Hazm aẓ-Ẓahiri Terhadap Ulama yang Membolehkan Pernikahan Tanpa Wali

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 5 Penyebab Su’ul Khatimah yang Dilalaikan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gaya Hidup Minimalis Dimulai dari Meminimalisir Pakaian

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Makna Hijab Menurut Para Ahli
  • 5 Penyebab Su’ul Khatimah yang Dilalaikan
  • Kisah Saat Perempuan Berbicara dan Berpendapat di Depan Nabi Saw
  • Gaya Hidup Minimalis Dimulai dari Meminimalisir Pakaian
  • Kisah Anak Perempuan yang Nabi Muhammad Saw Hormati

Komentar Terbaru

  • Refleksi Menulis: Upaya Pembebasan Diri Menciptakan Keadilan pada Cara Paling Sederhana Meneladani Gus Dur: Menulis dan Menyukai Sepakbola
  • 5 Konsep Pemakaman Muslim Indonesia pada Cerita Singkat Kartini Kendeng dan Pelestarian Lingkungan
  • Ulama Perempuan dan Gerak Kesetaraan Antar-umat Beragama pada Relasi Mubadalah: Muslim dengan Umat Berbeda Agama Part I
  • Urgensi Pencegahan Ekstrimisme Budaya Momshaming - Mubadalah pada RAN PE dan Penanggulangan Ekstrimisme di Masa Pandemi
  • Antara Ungkapan Perancis La Femme Fatale dan Mubadalah - Mubadalah pada Dialog Filsafat: Al-Makmun dan Aristoteles
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist