• Login
  • Register
Rabu, 2 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Kesetaraan Pendidikan dalam Islam

Karimah Iffia Rahman Karimah Iffia Rahman
10/10/2019
in Publik
0
sekat, ilmu

Pengajian Shubuh Santri Masjid al-Mahallie

33
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Pendidikan adalah hak dasar bagi setiap individu baik laki-laki maupun perempuan yang diberikan dalam rangka menumbuhkembangkan jasmani, akal fikiran, dan budi pekertinya dengan dinamis dan sehat agar menjadi warga yang baik dan mampu melaksanakan tugas umum maupun khusus. Bagaimana maksud kesetaraan pendidikan dalam Islam?

Dalam pandangan Islam, pendidikan merupakan salah satu upaya penyelamatan api neraka sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an Surah At-Tahrim ayat 6 yang artinya:

 “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.

Disebutkan dalam hadist Nabi Muhammad SAW bahwa pendidikan adalah kewajiban orang tua dan merupakan hak anak sebagaimana Rasulullah SAW bersabda : “Hak anak terhadap orang tua adalah memberinya nama yang baik, akhlak yang mulia, mengajarinya baca tulis, berenang dan memanah. Dan tidak memberinya konsumsi (rejeki) kecuali yang baik dan menikahkannya apabila telah dewasa”. Selain itu Rasulullah SAW bersabda, “Semua manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka orangtuanya lah yang akan menjadikan anak itu menjadi Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi” (HR. Bukhori).

Besar dalam keluarga yang menjunjung tinggi dunia islam dan pesantren, membuat saya dan 5 (lima) saudara saya harus mengikuti ajaran yang dianut oleh kedua orangtua kami. Satu per satu memasuki dunia pesantren ketika masanya tiba. Orangtua kami memilihkan pesantren yang konsentrasinya lebih mengutamakan mendalami ilmu al-Qur’an. Selepas usai masa pendidikan baik formal maupun non-formal, diharapkan dengan pendidikan tersebut kami memiliki kompetensi untuk memiliki peran yang jelas dalam berbagai lapangan kehidupan sesuai dengan bidang yang telah diraih. Terlebih dibelahan bumi mana pun tentu masyarakat meminta pengabdian atas ilmu apapun yang telah tercapai.

Baca Juga:

Demianus si ‘Manusia Pembalut’ dan Perlawanan terhadap Tabu Menstruasi

Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan

Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

Begitu pula yang saya rasakan setelah menyelesaikan studi di kampus dan di pondok pesantren, yang mana saat itu, pengajian dan majelis ta’lim masih eksis meramaikan masjid di lingkungan sekitar rumah.

Meski saya perempuan, namun pengurus masjid menawarkan kesempatan mengajar ilmu al-Qur’an yang selama ini saya geluti untuk diamalkan kepada jama’ah masjid baik kaum bapak-bapak maupun ibu-ibu. Saat itu yang saya fikirkan hanya tentang memanfaatkan ilmu. Saya mencoba untuk mencari jadwal disela-sela aktivitas bekerja yang rutin dilaksanakan setiap minggunya. Jadwal yang tersedia hanya bisa mengisi pengajian kaum bapak-bapak di subuh hari. Saya sempat berfikir lama.

Alasannya karena tentu sama seperti di beberapa tempat yang mana masih banyak masyarakat dengan paradigmanya terbilang kolot seperti perempuan hanya mengurus rumah tangga, tabu bagi perempuan mengajarkan kaum adam, dan sejenisnya. Apalagi saat itu kelak yang akan diajarkan adalah ilmu al-Qur’an. Bukan sesuatu yang main-main. Akhirnya saya memberanikan diri sowan atau meminta petunjuk kepada salah seorang pengasuh Pondok Pesantren yang mana di Pesantren tersebut lah saya dididik.

Kesetaraan Pendidikan dalam Islam

Menariknya dari hasil sowan kali itu, jawaban Pakyai sungguh mengingatkan saya, bahwa betapa Islam mengajarkan tentang sebuah kesetaraan, yang membedakan setiap makhluk hanyalah tingkat ketakwaannya. Islam tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan. Sebagai penganut agama Islam, bahkan di dalam al-Qur’an, perempuan dan laki-laki sama-sama diperintahkan untuk saling tolong-menolong di dalam kebaikan dan menjauhi segala sesuatu yang buruk. Sama halnya dalam menuntut ilmu. Islam menyerukan bahwa memperoleh pendidikan harus sejak dini hingga liang lahat, menuntut ilmu bukanlah hak sebagian kaum, siapapun berhak mendapatkan kebaikan dan kemuliaan ilmu, baik pengajar maupun yang diajar.

Tiada sekat dalam menyampaikan ilmu, siapapun berhak. Wejangan Pakyai mengingatkan akan kondisi ketika berada di lingkungan pondok pesantren. Meski sistem pembagian kelas dipisah antara kelas khusus putra maupun sebaliknya, yakni satu kelas berisi para siswi, atau satu kelas berisi para siswa dalam rentang waktu kegiatan belajar mengajar. Namun pengajar tetaplah seorang guru yang kompeten di bidangnya, baik guru laki-laki maupun guru perempuan yang mana seorang Ibu guru tetap diperbolehkan mengajar di kelas putra atau Bapak guru mengajar di kelas putri.

Poin tersebut mengajarkan saya bahwa saat keadaan darurat atau bertemu dengan keterbatasan fasilitas, yang terpenting dalam hal didik-mendidik adalah esensinya. Dimana seorang guru mampu memberikan bimbingan, pendampingan, pengarahan, pelatihan, dan mengevaluasi untuk menetapkan kebijakan yang akan diterapkan dalam proses pembelajaran. Selain itu dari segi sikap, seorang guru harus tegas, bijaksana, penuh perhatian dan kasih sayang, disiplin, bertanggung jawab, rela membantu, berkorban, dan memberikan keteladanan.

Mendapatkan pencerahan tersebut, akhirnya saya memberanikan diri untuk mengamalkan ilmu yang saya dapat. Saya mulai mengajar di kelompok jama’ah bapak-bapak setiap ba’da Shubuh setiap hari Kamis dan Jum’at. Banyak pro dan kontra tentunya, tetapi diniati ibadah memanfaatkan ilmu, semua itu saya anggap angin lalu ketika hasil dari keyakinan saya mulai terlihat. Setiap menjelang sholat atau sebelum mengaji, kaum bapak yang mengikuti pengajian di kelas saya mulai mengumandangkan amalan sholawat, asmaul husna, maupun nadzom-nadzom yang saya dapat selama di pondok pesantren. Semua ilmu itu kini mengumandang dari pengeras suara masjid dan terdengar dari sudut-sudut gang sekitar.[]

Karimah Iffia Rahman

Karimah Iffia Rahman

Alumni Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta dan Kebijakan Publik SGPP Indonesia. Karya pertamanya yang dibukukan ada pada antologi Menyongsong Society 5.0 dan telah menulis lebih dari 5 buku antologi. Founder Ibuku Content Creator (ICC) dan menulis di Iffiarahman.com. Terbuka untuk menerima kerja sama dan korespondensi melalui iffiarahman@gmail.com.

Terkait Posts

Menstruasi

Demianus si ‘Manusia Pembalut’ dan Perlawanan terhadap Tabu Menstruasi

2 Juli 2025
Gaji Pejabat

Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

1 Juli 2025
Pacaran

Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

30 Juni 2025
Pisangan Ciputat

Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

30 Juni 2025
Kesetaraan Disabilitas

Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

30 Juni 2025
Feminisme di Indonesia

Benarkah Feminisme di Indonesia Berasal dari Barat dan Bertentangan dengan Islam?

28 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Anak Difabel

    Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Demianus si ‘Manusia Pembalut’ dan Perlawanan terhadap Tabu Menstruasi
  • Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?
  • Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan
  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?
  • Fikih yang Kerap Merugikan Perempuan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID