• Login
  • Register
Minggu, 11 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Sastra

Tidak Ada Cinta bagi Arivia

Ia senang dicintai. Hanya saja keterbatasan yang hadir dari masa lalunya menanamkan bahwa tak ada cinta bagi Arivia.

Shella Carissa Shella Carissa
11/05/2025
in Sastra
0
Tidak Ada Cinta

Tidak Ada Cinta

369
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – “Malam adalah sahabat umat yang berperan membawa kedamaian dan keharibaan yang mengagumkan, Qais. Ia mengirimkan semilir rindu pada sepasang kekasih dengan keheningan. Atmosfer menghiasinya dengan hujan. Tapi aku senang karena dengan itu air mataku tersamarkan.”

Lemari buku yang baru Arivia pesan akhirnya tiba. Sepagi itu ia sudah menyusun buku-bukunya di dalam lemari yang kayunya masih harum tersebut. Arivia menyentuh permukaannya dengan lembut, seperti menyentuh selembar harapan yang utuh. Tangannya gemetar, bukan karena dingin, tapi karena ada rindu yang tiba-tiba tumpah. Rindu akan hari-hari yang telah ia lewati bersama buku-buku dalam kardus, tersudut di rumah kosannya.

Kotak-kotak kardus yang semula berserakan di sudut tempat sembahyang kini dibuka satu per-satu. Buku-buku yang telah menemaninya sejak madrasah hingga kuliah mulai berjejer rapi. Beberapa kitab kuning saat masa mondok pun disisipkan. Meski kitab-kitab turats itu tak begitu banyak lantaran ia hanya mesantren selama tiga tahun, setidaknya ia lebih beruntung dari Bapaknya.

Arivia dan Keluarganya

Bapak pernah bercerita bahwa dulu bapak sangat ingin mesantren. Namun lantaran terlahir sebagai anak yatim yang hidup dalam kekurangan, keinginan itu harus ia kubur dalam-dalam. Tapi entah bagaimana ceritanya kemudian Bapak berhasil mondok meski hanya 3 bulan. Ia lebih dari bersyukur tatkala anak sulungnya berhasil dibujuk untuk mesantren. Maka saat Arivia_sebagai anak sulung_bersedia mesantren, wajah tua itu berseri seolah hidupnya telah lunas.

Namun kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Tidak ada cinta bagi Arivia. Rumah tangga orang tuanya karam di tengah gelombang pertengkaran, yang puncaknya terjadi saat ia pulang untuk liburan semester setelah kelulusan tsanawiyah. Ia masih terlalu muda untuk memahami, namun perlahan mengerti: semuanya pecah karena perkara ekonomi.

Baca Juga:

Ibu, Aku, dan Putriku: Generasi Pekerja Rumah Tangga

Jangan Nekat! Pentingnya Memilih Pasangan Hidup yang Tepat bagi Perempuan

Separuh Mahar untuk Istri? Ini Bukan Soal Diskon, Tapi Fikih

Semua Adalah Buruh dan Hamba: Refleksi Hari Buruh dalam Perspektif Mubadalah

Setahun berlalu, ibunya tiba-tiba menikah lagi. Tidak ada cinta bagi Arivia. Sejak itu, rumah menjadi ladang amarah. Kekerasan lahir di balik pintu, tangis menjadi pengantar tidur. Sampai pada akhirnya ibunya wafat, adik satu-satunya memilih tinggal bersama bibi mereka. Arivia ditinggalkan sendiri. Sebatangkara.

Sejak saat itu Arivia menjadi gadis pemurung. Ia terbiasa dengan kesunyian. Sunyi yang tidak hanya menyakitkan, tapi juga sunyi yang memberi ruang bagi imajinasi tumbuh seperti bunga liar di sela retakan tembok. Di rumah kayu yang berdiri rapuh di pinggir kota di mana ia ikut tinggal bersama neneknya, Arivia mengenal buku—bukan sebagai hiburan, melainkan sebagai pelarian.

Arivia dan Hobinya

Dalam sunyi halaman, ia menemukan suara. Dalam kisah, ia menjumpai hidup yang lebih hidup. Ia hafal aroma kertas yang lapuk, tahu rasa gembira saat menemukan metafora yang menggetarkan dada, dan diam-diam mencintai titik-titik yang menyudahi kalimat, karena ia tahu: setiap akhir menyimpan permulaan baru. Maka semenjak itu Arivia sudah jatuh cinta pada dunia yang tak bisa disentuh tangan—dunia yang hidup di balik lembar-lembar kertas tua.

Tahun-tahun berlalu. Ia terus membaca, seperti orang kehausan. Ia menulis, menghapus, menulis lagi, mencari irama kalimat yang paling jujur. Dari antologi hingga puisi, akhirnya ia bisa menciptakan kisah dan tokohnya sendiri.

“Di buku aku bisa jadi siapa saja,” lirihnya.

Waktu berjalan dan Arivia benar-benar tumbuh menjadi gadis dengan tatapan dalam dan suara yang pelan. Perlahan tulisannya semakin banyak, semakin matang, namun luapan itu seperti menambal luka yang tak seakan tak pernah sembuh. Hanya saja luka tak selalu harus sembuh, asal ia bisa tumbuh bersamanya.

Arivia dan Kisah Kuliahnya

Lambat laun ia menyadari bahwa tak seharusnya ia menjadi serpihan yang hanyut dalam kedalaman buku dan cerita semata. Ia mulai berpikir tentang hidupnya. Tinggal bersama nenek yang renta, ia menyelesaikan Aliyah dengan langkah tertatih.

Setelah lulus, ia melangkah ke dunia kampus swasta, tak muluk-muluk ingin tembus kampus ternama, sebab ia sadar dengan kemampuannya. Dengan segala keterbatasan, ia berjuang, berjualan kue, menjadi reseller, menjaga toko dan fotokopi, juga berusaha mengirim tulisan ke buletin kampus meski hanya dengan honor tak seberapa.

Siapa sangka jika di tengah perjalanan itu ia mulai mengais-ngais cinta.

Kala itu ia mengenalkan diri sebagai Bara. Matanya yang teduh, ucapannya yang lembut, dan langkahnya yang selalu membawa arah, hadir seperti embun pertama setelah kemarau panjang. Di saat dunia melihat Arivia sebagai gadis yatim piatu yang hanya hidup dari sisa belas kasihan dunia, Bara datang dan berkata, “Kamu pantas dicintai, Arivia.”

Sayangnya, Arivia tak pernah tahu bagaimana seharusnya cinta itu terasa. Kehilangan bapak dan ibu sejak kecil membuatnya memegang dunia dengan satu tangan, sementara tangan lainnya sibuk menutup luka yang tak kunjung sembuh. Maka ketika Bara hadir, ia mulai mempercayai laki-laki itu sepenuhnya.

Hingga suatu hari, Bara pergi tanpa jejak. Hanya kenangan yang tertinggal di dinding hati yang mulai retak. Lagi-lagi, Arivia harus merasakan kehilangan, kali ini bukan karena kematian, tetapi karena cinta yang tak pernah nyata.

“Gadis dengan latar belakang sepertimu, hampir semuanya bisa ditebak.”

Arivia tertohok, sadar bahwa ia hanya dipermainkan.

Laki-laki lain pernah hadir sebagai cahaya kecil di lorong yang lama gelap. Senyumnya tak pernah menyudutkan, matanya tak pernah menilai. Mereka hampir melanjutkan ke tahap yang lebih matang. Tapi lagi-lagi sayang, orang tuanya menuntut sesuatu dari Arivia yang telah lama hilang.

“Keluarga kami butuh kepastian asal-usul. Aku ingin mantu yang punya kar, bukan bayang-bayang. Sebab asal-usul adalah tiang. Tiang penyangga kehormatan,” lanjutnya. Telak menohok Arivia.

Arivia dan Karirnya

Jelas ia terjatuh dan kehilangan arah. Tapi lagi-lagi dia harus kembali tabah. Meski semuanya melekat dengan duri tajam yang membekas, kesibukan menjelang skripsian di kampus mengalihkannya. Dia berusaha fokus, meski lagi-lagi, dengan hati yang hampa.

Hingga hari kelulusannya tiba, neneknya masih sempat menyaksikan. Tapi tak lama, sang nenek pergi. Keheningan suasana rumah selepas kepergian sang nenek seolah menyampaikan bahwa tugas Neneknya untuk menemani telah selesai. Maka, Arvia berpikir panjang kemana ia membawa arah hidupnya setelah ini.

Sempat terbesit untuk mencari Bapaknya. Namun kabar terdengar jika Bapaknya merantau di negeri jiran. Tempat yang saat ini belum dapat ia kejar.

Akhirnya pilihan jatuh untuk merantau ke kota kecamatan. Rumah neneknya ia jual, uangnya untuk biasa hidup di kosan sederhana sambil memikirkan langkah berikutnya. Dan ajakan temannya untuk menjadi aktifis diterimanya dengan gembira. Mungkin di sini, ia bisa berbagi dengan sesama orang-orang yang tak seberuntung dirinya.

Di sana ia mengajar anak-anak jalanan. Pertengahan tahun menjadi aktivis, kawan kampusnya menawarkan Arivia untuk bergabung menjadi salah satu anggota Jurnalistik. Ia menceritakan rencana awal, yaitu membangun website Kampus dan Independen. Tanpa pikir panjang ia menyetujui. Mereka mengadakan rapat di sebuah kafe yang ramah pembaca dan penulis: Kafe Kahwah.

Arivia dan Kafe Kahwah

Di kafe itu Arivia mulai mengembangkan bakatnya dengan menjadi kontributor aktif. Ia memilih nama penanya: Kertas Usang. Terdengar lusuh dan kuno, namun menyimpan banyak sejarah. Mirip-mirip seperti hidup dan dirinya.

Sembari menjadi aktifis, menulis, ia juga mendaftar pada Yayasan Amal. Bekerja di banyak bidang bukan karena ia serakah, ia hanya ingin mencoba melupakan lukanya dengan kesibukan dan belajar banyak hal. Berkat itu pula ia dapat pergi kauh sekedar melupakan sejenak bahwa ia pernah terperangkap pada luka yang akan ia bawa sampai tua.

Beruntungnya, rajin mengirim tulisan di Kafe itu, sang pemilik kafe menawarinya untuk menerbitkan kumpulan cerpennya menjadi antologi. Tentu ia menyambutnya dengan gembira. Mereka sepakat. Kontrak dibuat.

Tahun demi tahun ia rajin menerbitkan buku-bukunya. Dalam rentang itu, 8 buku sudah ia terbitkan.

Suatu hari dalam rapat bulanan anggota Jurnalistik Alumni Kampus, seorang kawan bercerita tentang sebuah lembaga pondok pesantren yang tengah membangun website kecil-kecilan. Berhubung mereka pemula, mereka mengatakan bahwa butuh seseorang berpengalaman yang bisa membantu mereka.

“Aku pun pemula,”

“Kalau begitu, aku akan membantu mengirim satu tulisan untuk menaikkan brandingnya. Tema apa saja yang ditetapkan di website itu?”

Temannya itu senang. Namun ia baru dihubungi dua bulan kemudian saat ternyata website itu sudah mulai berjalan dan mulai menerima kontributor dari luar. Maka tak lama, ia mengirim salah satu cerpennya.

Arivia dan Ali

Baru mengirim satu cerpen ia sudah diminta menemui salah satu perwakilan pemilik pesantren. Mereka sepakat bertemu di Kafe Kahwah. Di sana ia berkenalan dengan seorang Gus Muda bernama Ali.

Siapa sangka jika Gus Muda itu memuji tulisannya dan berkata jujur bahwa ia merasakan tokoh-tokohnya seperti hidup dengan jiwa yang kekal dalam kekalutan dan harapan.

Arivia tersanjung. Ia senang jika tulisannya, yang lahir dari kesunyian, ternyata bisa mengetuk pintu hati orang lain.

Hari-hari berlalu semenjak itu. Mereka lebih sering bertemu, terlebih saat kontrak kerjasama dengan Pesantren dibuat dan ia menjadi narasumber di pondok Gus Ali.

Siapa sangka mereka saling menyimpan suka. Meski Arivia tak begitu kentara, Ali dengan berani mulai mengiriminya kata demi kata.

Arivia dan Puisi dari Ali

Waktu Sahur

Terkadang kita seperti waktu sahur

Yang meskipun enggan

Tapi saling membutuhkan

 

Dan demi waktu subuh yang akan tiba

Aku tak mau berlindung dari alarmmu

Yang membangunkanku lewat panggilan whatsapp

 

Tak ada sihir antara kau dan aku

Sampai imsak bergeming pun

Izrail tak akan tiupkan terompet

Untuk memusnahkan pesanmu

 

Pawai sahur telah berbunyi dan ikut bernyanyi

Merayakan sahur pertama kita

Tak ku tolak meski kau tiupkan pengasihan pada buhul-buhulku dengan aji kasih

Dan tak kusangkal meski itu Qulhu, Binnas dan Falak sebagai penawar yang murni

 

Simbiosis antara kita

Seperti persahabatan Iman dan Islam

Meski semangkuk mie milikku

Dan rendang menu sahurmu

 

Sebentar lagi

Tirai hitam menyingkap fajar

Menyingsing imsaknya agar terpancar

Membasahi wajah dari air wudhu shubuhku

Seraya itu aku berdoa

Agar Tuhan lekas menyatukan sahur kita

Arivia tersenyum simpul. Puisi yang gus muda kirimkan itu seperti untaian kata yang terlahir dengan terpaksa. Kata-katanya kaku, seakan berusaha mengayun, namun terperangkap dalam pencocokan yang seolah dipaksakan. Meski ada usaha untuk bersandar satu sama lain, puisi itu tak bisa menyentuh dalam-dalam. Hanya cukup memikat mata, tetapi tak mampu melukai hati. Walau begitu, masih ada romansa yang tak bisa sepenuhnya terhapuskan.

Arivia dan Cinta Ali

Awalnya, memang hanya puisi, kata-kata yang terangkai indah, hingga cerpen-cerpen perdananya. Namun seiring waktu, Ali mulai mengirimkan lebih banyak benda: kerudung, gamis, tas, selendang, sepatu, hingga buku-buku. Tiap kiriman datang tanpa kata-kata, seperti aliran sunyi yang mengalir begitu saja, tanpa mengharapkan perhatian lebih.

Tidak ada yang tahu tentang pemberian-pemberian itu. Interaksi mereka begitu hening, seakan setiap hadiah adalah bentuk pengakuan yang tak perlu disuarakan. Dan nyatanya Arivia sibuk dengan persiapan buku barunya, hampir tak peduli. Namun, Ali tak kenal lelah. Kiriman terbaru—sebuah kalung emas—menggugah hatinya. Tetapi, setelah itu, Ali menghilang, seperti bayangan yang tiba-tiba menguap. Arivia mulai penasaran, dan pertanyaan tentang Gus Muda itu mulai terukir dalam hati.

“Abahnya sedang mencarikan Gus itu seorang gadis,” kata seorang teman, tanpa nada.

Arivia terhenyak. Selama ini, ia menganggap Gus Muda itu hanya seperti pria lainnya—yang datang untuk memancing banyak wanita, namun hanya untuk memainkan mereka seperti daun yang terbawa angin. Namun temannya melanjutkan, “Itu kehendak Abahnya. Ali tak tahu apa-apa.”

“Tahu apa?” tanya Arivia, nada suaranya tajam hampir seperti cibiran, menuntut penuh keraguan.

“Sebenarnya, aku kasihan dengan Ali,” temannya menjawab sambil menerawang, mengingat sesuatu yang mendalam. “Umminya meninggal.”

Arivia dan Masa Kecil Ali

Arivia mendengarkan dengan saksama, meresapi kata-kata itu. Cerita tentang Ummi Hafsah, yang dulu begitu cemerlang dan penuh ambisi untuk bebas, berkelana ke dunia luar, kini meninggalkan jejak yang dalam di hati Ali. Ternyata, di balik sikap Gus Muda yang tampak kukuh itu, tersimpan luka yang tak banyak orang ketahui.

“Saat Ali kecil Ibunya mendambakan kebebasan jauh dari belenggu tugasnya sebagai penerus pesantren.. Ia adalah perempuan cerdas yang bisa mendapat panggung publik dengan mudah. Namun tanggungjawab sebagai penerus pesantren mengunci langkah itu,” lanjut temannya.

“Setelah menyelesaikan urusan keluarga, ia memutuskan untuk mengejar undangan seminar dan menelusuri dunia luar, berbicara tentang wanita-wanita hebat yang mampu berkiprah. Namun tanpa sadar, ia mulai melupakan yang lebih penting: keluarga, anak-anak, suami—bahkan kesehatannya. Sampai akhirnya, ia jatuh sakit, diabetes yang merenggut nyawanya.”

Ali kecil tidak terurus. Itu kesimpulan yang ia dapat. Ali kecil haus akan perhatian Ibunya hingga mencari perhatian dari wanita-wanita lain yang ia suka.

Begitukah lukamu, Gus?

Arivia menunduk, matanya mulai kabur oleh beningnya air mata yang tak tampak. Betapa ia kini mulai memahami luka di balik wajah Gus Muda yang selalu tampak tenang. Gus Muda ini, yang sering kali ia pertanyakan tindakannya, ternyata memiliki cerita yang tak banyak terungkap.

Arivia dan Kegamangannya

Meski dulu ia bertanya-tanya mengapa pria itu terus berusaha, kini ia mulai merangkai praduga. Ia menyimpan getir dengan keturunan pesantren yang bisa saja mendamba dunia luar dalam jiwa mereka. Sebisa mungkin tidak mengalami kejadian yang sama dalam rumah tangganya.

Ia tak tahu betapa sulitnya bagi seorang lelaki untuk menggabungkan dunia pesantren yang tertutup dengan harapan untuk terbang keluar, menggapai impian-impian yang lebih besar. Arivia, dengan segala perjalanan dan perjuangannya, tahu betul betapa kerasnya usaha untuk meraih kebebasan.

Ia sudah bertahun-tahun menata hidupnya, membangun sayap yang patah menjadi utuh, dan kini—di ambang pintu untuk menerbangkan diri ke langit yang lebih luas—ia harus siap menghadapi kenyataan pahit bahwa ia tak akan menjadi bagian dari dunia yang diinginkan Gus Muda itu.

Apa yang bisa Gus Muda janjikan? Jika ia saja masih bergantung pada keluarganya, berharap pada aturan yang sudah terlalu lama mengekangnya? Tentu saja, Arivia tidak akan menyerah. Ia tak ingin kehilangan dirinya sendiri. Ia sudah cukup berjuang untuk menjadi seperti sekarang ini. Di zaman di mana perempuan bisa menjadi siapa saja bahkan seorang istri Gus sekalipun, ia memilih untuk tetap menjadi dirinya sendiri, berjalan dengan jejaknya sendiri.

Arivia dan Pilihannya

Dan pagi ini, ketika lemari bukunya berdiri kokoh, Arivia memandangi rak yang telah penuh oleh buku-buku kenangan. Di situ tersimpan jejak perjuangan, luka, cinta, dan harapan. Dari kitab-kitab pesantren hingga buku teori jurnalistik—semuanya bagian dari perjalanan panjang menuju dirinya yang kini.

Di antara hela napas dan wangi kayu lemari baru, Arivia tahu: ia telah sampai di tempat yang dulu hanya ia bayangkan dalam sunyi.

Kini, semuanya ada di sini. Dalam bentuk kata-kata, dan kenangan. Arivia tersenyum. Untuk pertama kalinya meski ia tahu, meski tak punya siapa-siapa, ia tak pernah benar-benar sendiri. Karena ia punya perjalanan. Dan perjalanan itu—adalah rumah yang ia bangun sendiri.

Ia belajar untuk melupakan Gus Muda itu, sebelum Gus Muda itu perlahan melupakan dan meninggalkannya. Meninggalkan kisah yang tak pernah sempat terungkap. Mudah baginya untuk menerima kenyataan ini, sebab mimpinya yang lain dan perjuangannya untuk melanjutkan kuliah S2 di luar negeri telah terwujud.

Namun, dua minggu sebelum keberangkatannya, Gus itu mengabarinya kembali dan meminta bertemu. “Sudah lama kita tidak berkabar. Semoga Allah selalu menyertaimu, Arivia,” kalimat pembukanya begitu ringkas, namun terasa dalam.

Arivia dan Kepergiannya

Mereka berhadapan. Arivia tahu, ada maksud yang lebih dalam di balik kata-kata Gus Muda itu.

“Aku ada maksud denganmu…”

Ia terhenyak. Tak menyangka akan secepat ini.

Arivia tahu tingkahnya tidak sopan dan kurang ajar. Namun ia sudah membulatkan tekad. Ia harus fokus dengan keberangkatannya. Ia harus menyiapkan segalanya dengan matang. Menuruti permintaan Gus itu hanya akan membuyar semua mimpi dan perjuangannya.

“Maaf, Gus…”

Maaf, Gus. Jalan kita terlalu sulit dan timpang.

Ia senang dicintai. Hanya saja keterbatasan yang hadir dari masa lalunya menanamkan bahwa tak ada cinta bagi Arivia. Ia juga tidak naif bahwa dia ingin bangunan yang hampir kokoh itu runtuh begitu saja. Ia sudah membulatkan tekad dan menentukan arah.

Langkahnya mantap. Tanpa menengok lagi ke belakang sebab jejak hidupnya kali ini jangan sampai terluka lagi karena harapan-harapan semu dan tak terduga.

“Senja Memanggil Layla, Qais Menyanyikan Duka.” Dan seperti yang terduga. Ali tak akan sempat membacanya. Lebih dulu meratapi kepergiannya. []

Tags: Asmaracerita pendekJodohlaylaqaisRelasiTidak Ada Cinta
Shella Carissa

Shella Carissa

Masih menempuh pendidikan Agama di Pondok Kebon Jambu Al-Islamy dan Sarjana Ma'had Aly Kebon Jambu. Penikmat musik inggris. Menyukai kajian feminis, politik, filsafat dan yang paling utama ngaji nahwu-shorof, terkhusus ngaji al-Qur'an. Heu.

Terkait Posts

Pekerja Rumah Tangga

Ibu, Aku, dan Putriku: Generasi Pekerja Rumah Tangga

11 Mei 2025
Tak Ada Cinta

Tidak Ada Cinta Bagi Ali

4 Mei 2025
Kartini Tanpa Kebaya

Kartini Tanpa Kebaya

27 April 2025
Hujan

Laki-laki yang Menjelma Hujan

13 April 2025
Negara tanpa Ibu

Negara tanpa Ibu

23 Maret 2025
Kisah Adiba

Kisah Adiba, tentang Perempuan dan Pengasuhan

9 Maret 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Hari Raya Waisak

    Kontekstualisasi Ajaran Islam terhadap Hari Raya Waisak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bekerja adalah Ibadah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam Memuliakan Perempuan Belajar dari Pemikiran Neng Dara Affiah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan Bekerja, Mengapa Tidak?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Merebut Tafsir: Membaca Kartini dalam Konteks Politik Etis

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Ibu, Aku, dan Putriku: Generasi Pekerja Rumah Tangga
  • Tidak Ada Cinta bagi Arivia
  • Menyusui adalah Pekerjaan Mulia
  • Kontekstualisasi Ajaran Islam terhadap Hari Raya Waisak
  • Bekerja adalah Ibadah

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version